Berkaca pada Sri Lanka, Masihkah Berharap Bantuan Luar Negeri? - Tinta Media

Selasa, 26 Juli 2022

Berkaca pada Sri Lanka, Masihkah Berharap Bantuan Luar Negeri?

Tinta Media - Perekonomian Sri Lanka dilanda krisis yang sangat serius dengan menanggung utang sebesar USD 51 miliar atau setara Rp757,1 triliun. Sri Lanka tidak mampu membayar bunga dari pinjamannya yang sebagian besar dikucurkan oleh Dana Moneter International (IMF). Mata uang Sri Lanka pun terperosok hingga 80 persen. Nilai tukar yang lemah menyebabkan biaya impor semakin mahal dan harga makanan melonjak mencapai 57 persen.

Bahkan, lebih parahnya, Sri Lanka kini tidak memiliki cukup uang untuk mengimpor bahan makanan, bahan bakar minyak, susu, gas LPG, hingga kertas toilet. 

Sejumlah kebijakan dalam negeri pun turut memperburuk kondisi ini. Salah satunya adalah penerapan pajak terbesar sepanjang sejarah. Hal ini menyebabkan banyak investor kesulitan membayar sekaligus meminjam dana dari bank. Belum lagi masalah korupsi yang semakin membuat rumit masalah ekonomi. Para pejabat negeri sibuk memperkaya diri sendiri, tetapi pada saat yang sama memperburuk perekonomian. 

Alhasil, di tengah keterpurukan ekonomi ini, rakyat menderita kelaparan, sementara penguasa hidup bermewah-mewah, hingga membuat kekacauan politik.

PBB memperkirakan sembilan dari setiap sepuluh keluarga di Sri Lanka akan kesulitan makan dalam sehari. Sedangkan sekitar 3 juta penduduk bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Untuk bisa keluar dari kondisi ini pemerintah Sri Lanka memberi hari libur ekstra selama tiga bulan hanya agar penduduknya bisa menanam makanannya sendiri.

Jika kita melihat dalam sejarah peradaban kapitalisme, ada beberapa negara yang pernah mengalami gagal utang, tiga diantaranya gagal bayar utang kepada Cina, yakni negara Zimbabwe, Nigeria, dan Pakistan.

Jika suatu negara mengalami gagal bayar utang, negara tersebut akan kehilangan kepercayaan dari investor. Akibatnya, pasar saham yang menjadi komponen penting dalam sistem ekonomi kapitalis akan mengalami kekacauan. Kemudian, semua lembaga keuangan akan mengalami kegagalan untuk melakukan antisipasi apa pun terhadap kondisi default yang bergerak seperti efek domino. 

Setelah itu, dampaknya akan terasa langsung ke masyarakat. Ini dimulai dari para pelaku bisnis atau pabrik-pabrik yang tidak lagi beroperasi. Akhirnya, kebutuhan barang di dalam negeri harus sepenuhnya impor dari luar negeri karena negara sangat mengandalkan impor untuk bertahan hidup. Ekspor pun terhenti dan masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka lagi. Maka, kondisi ini akan menghantarkan kepada terjadinya tindak kriminal ekstrem, seperti kerusuhan, penjarahan, dan tindak kekerasan.

Apa yang terjadi pada negara-negara yang gagal bayar utang adalah hanya sebagian contoh dari buruknya penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sebab, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik dari negara-negara kapitalis kepada negara-negara lain untuk memaksakan kebijakan politik ekonomi atau dengan kata lain melakukan penjajahan terhadap negara lain. 

Seperti halnya IMF, kata “membantu” yang dilontarkan sebenarnya adalah sebuah mantra yang mematikan. Sebab, ketika sebuah negara sudah terlibat dengan badan internasional kapitalis ini, mau tidak mau mereka harus mengikuti arahan dari IMF. Hal itu sama saja dengan bunuh diri.

Banyak negara di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia hancur akibat kebijakan pasar kapitalis IMF ini. Tak hanya itu, IMF akan mengubah negara-negara menjadi pecandu pinjaman. Program struktural IMF akan memiskinkan rakyat dan memotong pengeluaran pemerintah untuk biaya pendidikan dan kesehatan.

Arahan lainnya, negara peminjam harus meningkatkan ekspor SDA yang murah dan menjalankan mekanisme impor barang asing yang lebih banyak. Bahkan, manipulasi ekonomi IMF juga menghancurkan industri lokal. 

Semua arahan melalui program yang harus dijalankan negara peminjam hanya akan memperkaya negara kapitalis Barat. Sementara, negara-negara miskin ekonominya akan semakin hancur karena jerat utang yang terus berlanjut.

Seperi yang terjadi ketika presiden Soeharto memutuskan untuk mengikuti program International Monetary Fund (IMF) bulan Oktober 1997. Hal ini justru menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis yang lebih dalam. Semua itu harus dibayar dengan biaya sosial ekonomi krisis, yakni berupa kerusuhan sosial Mei 1998, terjadi peningkatan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya rekapitalisasi bank yang lebih dari Rp600 triliun, serta tambahan beban utang puluhan miliar dolar yang masih terasa hingga saat ini.

Semua itu masih berlanjut sampai hari ini. Salah satu buktinya adalah adanya UU Ciptakerja yang jelas-jelas merugikan rakyat, tetapi menguntungkan korporat yang diapresiasi oleh Thomas Helbing, Mission Chief IMF untuk Indonesia. 

Bukti lainnya yaitu dicabutnya subsidi satu persatu oleh penguasa dengan klaim agar tepat sasaran. Kemudian utang luar negeri pada akhir Mei 2022 tercatat sebesar USD 406,3 miliar atau Rp6.094,5 triliun.

Inilah efek pinjaman yang diberikan IMF kepada negara kreditur. Efek utang jangka pendek akan menghantam mata uang peminjam untuk menciptakan kekacauan di dalamnya. Sementara efek jangka panjangnya mereka mampu mengendalikan negara kreditur untuk memprivatisasi proyek publik, menaikkan harga barang-barang, menaikkan tarif pada beberapa bahan dan layanan (bahan bakar, air, dan listrik), maupun mewajibkan pajak baru.

Jadi, tujuan sebenarnya dalam memberikan utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Maka, kita bisa melihat bahwa negara-negara yang dijajah secara ekonomi tidak akan pernah bisa keluar dari bahaya ini. Negara yang berutang hanya memiliki dua pilihan, yaitu memiliki utang dan tunduk pada negara pemberi pinjaman atau tunduk menyerahkan kedaulatan kepada lembaga-lembaga penjajah internasional.

Dengan demikian, seharusnya kita tidak lagi peracaya kepada racun berbalut narasi manis seperti bantuan IMF. Hendaknya kita mengambil pelajaran dari apa yang terjadi pada Sri Lanka dan negara semisalnya. Sesungguhnya, sistem kapitalisme globallah yang telah menjadikan negara-negara tersebut bangkrut. 

Jika menghendaki kebaikan bagi negeri ini, maka kita harus meninggalkan sistem kapitalis global ini. Tidak ada pilihan dan jalan keluar lain selain melihat dan mengkaji sistem Islam sebagai jalan keluar dan turut bersama untuk mengembalikannya. 

Selain itu, kita harus membangun negara dengan pondasi dan bangunan yang kokoh, yaitu Islam sehingga membuat keuangan negara begitu tangguh. Kita juga tidak boleh terlibat dalam jeratan utang berbahaya yang dapat membuat bangkrut dan menyengsarakan masyarakat.

Adapun yang paling utama dalam sistem ekonomi Islam untuk menghindari negara dari default adalah:

Pertama, memastikan tidak terlibat dengan sistem riba dalam bentuk apa pun. Dengan itu, tertutup 100 persen kemungkinan tumpukan bunga utang seperti yang terjadi saat ini.

Kedua, negara tidak terlibat dengan pasar uang dan turunannya karena sangat rentan rusak dan memberi efek domino kerusakan pada perekonomian nasional.

Ketiga, negara harus memiliki prinsip berdaulat dan mandiri dalam pengelolaan kepemilikan. Dengan pembagian kepemilikan yang jelas dan implementasi yang tegas, maka hal ini akan menutup setiap celah ketidakterserapannya sumber pemasukan negara. Contohnya, tidak mengizinkan pengelolaan sumber daya alam sebagai aset publik kepada pihak swasta sehingga semua hasil dapat masuk pada kas negara untuk keperluan masyarakat.

Keempat, memastikan fungsi negara adalah selalu berada dalam jalur melakukan pelayanan kepada masyarakat, membuat pengawasan para pejabat publik strategis agar tidak ada yang bermain kebijakan yang bukan untuk fungsi pelayanan publik.
Tujuannya adalah untuk menghindari deal-deal korupsi model pengusaha-penguasa yang banyak membuat kerugian negara.

Kelima, sejak awal, negara harus secara tegas berlepas dari lembaga-lembaga internasional yang membawa agenda penjajahan seperti IMF, Wolrd Bank, dan sejenisnya. Negara harus menolak semua rekomendasi dan tidak tunduk kepada lembaga-lembaga tersebut. Hal ini dicapai melalui kemandirian kekuatan diplomasi dan militer negara yang siap mengawal.

Keenam, negara harus memegang prinsip efesiensi anggaran dengan audit yang ketat. Negara harus menjaga semua kebutuhan primer agar terus terpenuhi dan tidak banyak mengeluarkan anggaran untuk kebutuhan yang bersifat sekunder. Tentu saja semua ini hanya akan terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam Kaffah, yakni Khilafah Islamiyah.

Oleh: Gusti Nurhizaziah 
Aktivis Muslimah



Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :