Tinta Media - Mudir Ma'had Khodimus Sunnah, Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) menjelaskan lima hal seputar perbedaan penetapan awal Dzulhijjah.
"Pertama, perbedaan penentuan Idul Adha adalah wilayah khilafiyah," ungkapnya di akun telegram pribadinya, Kamis ( 30/6/2022).
Sependek yang ia tahu, tidak ada kesepakatan ulama (ijmak) dalam penentuan awal Dzulhijjah. "Jadi dalam masalah khilafiyah jangan memutlakkan dan jangan sampai saling mengolok-olok. Fokus pada argumentasi saja," nasehatnya.
"Kedua, para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits rukyat Amir Mekah," ungkapnya.
Ia menukil perkataan Husain bin Al-Harits yang mengatakan bahwa sesungguhnya Amir Mekah pernah berkhutbah dan menyampaikan, ‘’Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.’’ (HR. Abu Dawud No. 2338).
"Rasul meminta Amir Mekah untuk rukyat hilal Dzulhijjah dalam rangka pelaksanaan ibadah haji," tandasnya.
Menurutnya, disinilah para ulama berbeda pendapat apakah hadits tersebut menjadi standar penetapan awal Dzulhijjah untuk seluruh negeri atau hanya terkait pelaksanaan ibadah haji.
"Ketiga, justru para ulama madzhab menjadikan hadits rukyat Amir Mekah sebagai dalil dalam persaksian hilal. Hal tersebut, bisa kita lihat dalam kitab Ma'rifah as-Sunan wa al-Atsar karya Imam al-Baihaqi," jelasnya.
YRT menilai, ketika hadits tersebut dijadikan dalil dalam penetapan awal Dzulhijjah untuk seluruh negeri, maka itu termasuk terobosan ijtihad yang sangat menarik.
"Keempat, sebenarnya ada hadits lain yang menjelaskan tentang rukyat bulan Dzulhijjah secara umum," paparnya sambil membacakan hadits riwayat Muslim nomor 1977,
"Rasul bersabda: ‘’Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian ingin berqurban, maka hendaknya ia menjaga rambut dan kukunya (untuk tidak dipotong hingga hari Qurban).’’
Hadits ini dinilainya bersifat umum tentang penetapan awal bulan Dzulhijjah berdasarkan rukyat, tanpa menyebutkan rukyat siapa. "Artinya, jika terdapat dalil khusus, maka yang diamalkan adalah dalil khusus. Namun ada tidaknya dalil khusus, para ulama berbeda pendapat," tandasnya.
"Kelima, jadi pangkal diskusinya sebenarnya adalah, pertama, tidak ada ijmak ulama tentang penentuan awal Dzulhijjah, maka perkara yang khilafiyah harus disikapi secara bijak, dan tidak dimutlakkan," pintanya.
"Kedua, hadits rukyat Amir Mekah sendiri oleh para ulama madzhab tidak dijadikan dalil penentuan awal Dzulhijjah," tambahnya.
Menurut YRT, para ulama justru menjadikan hadits tersebut sebagai dalil dalam masalah persaksian hilal, bukan penentuan awal Dzulhijjah. "Bisa dicek di kitab Ma'rifatus Sunan wal Atsar," tuturnya meyakinkan.
"Ketiga, menjadikan hadits rukyat Amir Mekah sebagai dalil penetapan Dzulhijjah untuk seluruh negeri terkesan sebagai ijtihad "baru" (tajdid), namun in sya Allah lebih kokoh dan menentramkan," simpulnya.
Ia memberikan empat argumen bagi kesimpulannya tersebut.
"Kesatu, mendahulukan nash meski mafhum daripada qiyas. Kedua, terwujudnya kesatuan dengan manasik haji. Ketiga, mengutamakan kesatuan umat Islam. Keempat, perbedaan yang sekarang terjadi lebih pada aspek politik keberadaan negara bangsa (nation state), bukan masalah fikih semata," pungkasnya.[] Irianti Aminatun