Yang Tertinggal di Momen Lebaran: 'Silaturahmi' Politik - Tinta Media

Senin, 06 Juni 2022

Yang Tertinggal di Momen Lebaran: 'Silaturahmi' Politik


Tinta Media - Allah Swt. telah memerintahkan kepada umat Islam untuk melakukan silaturahmi karena dapat mengokohkan ukhuwah Islamiyah antar keluarga, bahkan dengan sesama muslim.

Sudah menjadi tradisi masyarakat di negeri ini, jika momen lebaran dimanfaatkan untuk saling bersilaturahmi. Demikian juga yang dilakukan oleh para pejabat publik. Mereka saling berkunjung dalam rangka silaturahmi. Meski mereka tidak mengakui bahwa kegiatan tersebut mengandung unsur politik, tetapi sangat nampak simbol-simbol yang mengarah pada nuansa pemilu.

Sebagaimana yang kita ketahui, pemilu akan diselenggarakan kurang lebih dua tahun lagi, yaitu tahun 2024. Namun, manuver-manuver politik sudah mulai dilancarkan. Bahkan, ada yang sudah mencuri hati rakyat dengan menyediakan mudik gratis, membagi-bagikan minyak goreng secara gratis di saat harganya meroket setelah sebelumnya langka.

Koalisi antar partai pun tak malu-malu lagi. Hal ini menjadi penanda bahwa pintu menuju pilpres sudah terbuka. Melihat fakta tersebut, semua pihak baik pengamat, tokoh masyarakat, dan media justru mendukung perilaku para pejabat dan politisi tanpa mempedulikan pengabdian tugas utama mereka, yaitu melayani dan memenuhi hajat rakyat.

Dalam sistem demokrasi, perilaku politisi dan pejabat lebih diprioritaskan untuk meraih atau mempertahankan kursi daripada melayani dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan rakyat. Dalam sistem yang rusak ini, sudah menjadi hal yang lumrah terjadi koalisi partai, dalam usaha menaikan elektabilitas. 

Mengapa demikian? Karena untuk menjadi seorang pemimpin di sistem demokrasi, cukup dengan cara meraup suara sebanyak mungkin. Dengan cara tersebut, seseorang bisa duduk di kursi jabatan. Oleh karena itu, peelu dilakukan pencitraan dengan berbagai cara, yang tentu saja hal seperti itu membutuhkan modal yang sangat bombastis. Modal tersebut dapat berupa suntikan dana dari para konglomerat (kapitalis) atau jual beli jabatan. 

Mahar politik sangat fantastis untuk menyunting penguasa yang menjadi pilihan. Namun, bukan pilihan rakyat, melainkan pilihan para korporat, yaitu pengusaha pemilik modal yang berperan di balik panggung kekuasaan, yang berperan sebagai sebagai pengendali.

Pada akhirnya, KKN menjadi hal yang pasti terjadi, sebagai konsekuensi dari mahar politik tersebut. Ditambah lagi dengan semakin kuatnya potensi swasta (baik lokal maupun asing dan aseng) yang mencengkaram kedaulatan negeri ini.

Berbeda dengam sistem Islam, yaitu khilafah, yang aktivitas politiknya adalah dalam rangka melayani dan memenuhi hajat hidup rakyat. Jabatan dan kekuasaan menjadi sarana pelaksana diterapkannya hukum Islam secara kaffah (totalitas), sebagai bentuk ketakwaan masyarakat, demi meraih keridaan Allah Swt. sehingga jauh dari kepentingan pribadi atau golongan, termasuk kepentingan korporat. Pemimpin yang dihasilkan dalam Islam adalah pemimpin yang amanah dan berjiwa periayah.

Nabi saw. bersabda dalam sebuah hadisnya, yang berbunyi:

"Sesungguhnya seorang Imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikan pelindung. Maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah azza wa jala dan berlaku adil, baginya mendapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, maka ia harus bertanggung jawab atasnya."
(HR.al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad)

Sistem politik Islam tidak berbiaya mahal seperti sistem politik saat ini, sehingga membuka peluang masuknya pengaruh para korperat. Calon pemimpin atau khalifah di dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang sesuai syariat, tidak melalui pencitraan. Ia dipilih dalam waktu yang amat singkat, maksimal tiga hari, sehingga otomatis tidak memakan waktu lama dan anggaran yang besar.

Seorang khalifah akan tetap menjadi kepala negara selama tidak melanggar hukum-hukum syariat dan masih memenuhi syarat sah sebagai seorang khalifah. Publik tidak perlu khawatir jikalau khalifah akan menjadi seorang yang diktator. Hal ini karena di dalam Islam terdapat aktivitas mengoresi penguasa yang diwajibkan kepada rakyat, demi menjaga berjalannya kehidupan Islam melalui penerapan Islam kaffah.

Rakyat diberikan ruang untuk mengoreksi kebijakan penguasa yang keliru, baik melalui majelis umat, organisasi atau partai politik, atau bahkan langsung secara individu. Jika penguasa tetap melakukan kezaliman, maka ada mahkamah mazalim yang akan bertindak untuk membuktikan kezaliman yang terjadi, hingga menjatuhkan pemecatan khalifah tersebut jika terbukti bertindak zalim, tetapi tidak mau mencabut kebijakan yang zalim tersebut. Inilah mekanisme syariat Islam dalam menjaga penerapan Islam kaffah demi berjalannya ri'ayah (pengaturan) urusan umat secara sempurna

Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Iin Haprianti
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :