Tinta Media - Tuduhan teroris berbau khilafah yang ditulis Romli Atmasasmita dalam artikel berjudul "Menyikapi Gerakan Khilafah dan Radikalisme di Indonesia", yang diterbitkan di SINDOnews.com pada Selasa, 07Juni 2022 dibantah oleh Advokat dan Ketua Umum KPAU, Ahmad Khozinudin, S.H.
"Tidak ada satupun pertimbangan atau amar putusan yang menyatakan HTI sebagai Organisasi Massa terlarang atau setidaknya menyatakan Khilafah sebagai ajaran terlarang," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (7/6/2022).
Ahmad melanjutkan, Romli menjadikan peristiwa konvoi motor yang hanya segelintir orang, membawa poster Khilafah sebagai titik awal pembahasan. Menarik ke sejumlah sel terorisme, gerakan terorisme, NII, ISIS, hingga soal Perppu Ormas dan pencabutan BHP HTI. "Romli berusaha menarik putusan adminstratif Pengadilan Tata Usaha Negara yang mencabut BHP HTI dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, sebagai jembatan penghubung terorisme dan Khilafah, dengan menambahkan bumbu sejumlah pasal makar dalam KUHP," ungkapnya.
Ahmad memaparkan, terkait upaya Romli yang memaksa menghubungkan Putusan PTUN Jakarta dan UU Ormas dengan narasi kejahatan Terorisme, termasuk penulis juga ingin menegaskan hubungannya dengan putusan MK yang menolak Yudisial Review UU Ormas, perlu kembali ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Putusan PTUN Jakarta adalah putusan sengketa administratif, bukan peradilan pidana. Majelis Hakim PTUN Jakarta memang telah memutus Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan Ormas Islam HTI, dimana Pengadilan menolak gugatan HTI melalui putusan 211/G/2017/PTUN.JKT. Pengadilan menguatkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN/beshicking) yang dikeluarkan Pemerintah.
"Selanjutnya, Majelis tingkat Banding dan Kasasi menguatkan amar putusan PTUN Jakarta melalui putusan Kasasi Nomor 27K/TUN/2019 tanggal 14 Februari 2019," jelasnya.
Namun perlu untuk diketahui, lanjut Ahmad, bahwa Objek Sengketa A Quo adalah sengketa Administratif berupa Gugatan Pembatalan Surat Keputusan Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017.
"Selanjutnya, amar putusan Majelis Hakim hanya menolak Gugatan HTI dan menguatkan KTUN objek sengketa berupa Surat Keputusan Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017," tambahnya.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XVI/2018 yang menolak permohonan pembatalan UU Ormas (UU No 16/2017 Tentang Penetapan Perppu No 2/2017 tentang Perubahan UU No 17/2013 tentang Ormas menjadi UU), "Didalamnya juga tidak ada satupun pertimbangan dan atau amar putusan yang menyatakan Khilafah sebagai ajaran terlarang," tukasnya.
"Oleh karenanya, berdasarkan asas legalitas seluruh umat Islam memiliki hak konstitusional untuk menjalankan aktivitas dakwah dan menyebarkan ajaran Islam Khilafah. Karena Khilafah tidak pernah dinyatakan terlarang," tegasnya.
Ketiga, dasar konstitusi yang menjadi basis hak konstitusional untuk mendakwahkan ajaran Islam Khilafah adalah ketentuan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan : 1)Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan 2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
"Sepanjang Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka setiap ajaran tuhan yang termanifestasi dalam ajaran agama, termasuk ajaran Islam Khilafah tidak boleh dilarang. Kecuali, Indonesia mendeklarasikan diri sebagai Negara komunis yang menganggap agama adalah candu bagi kehidupan," bebernya.
Ahmad pun menilai, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menjalankan kewajiban mendakwahkan ajaran Islam Khilafah adalah ibadat bagi umat Islam, dimana yang menjalankan mendapat pahala dan yang meninggalkan mendapatkan dosa.
"Karena itu, dakwah Khilafah tidak dapat dilarang. Kecuali, Indonesia mendeklarasikan diri sebagai Negara komunis yang menganggap agama adalah candu bagi kehidupan," tegasnya.
Keempat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan jihad dan Khilafah adalah ajaran Islam. MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam.
"Karena itu, MUI merekomendasikan agar masyarakat dan pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah," ujarnya.
"Hal yang diharamkan dalam hukum pidana adalah melakukan analogi. Sayangnya, Romli melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi makna terorisme agar menjangkau ajaran Islam Khilafah melalui penalaran yang bersifat analogi," jelasnya.
Ahmad mempertanyakan, Kalau tak ada pasal yang melarang Khilafah, kenapa dipaksakan? Kalau tak bisa mempidana Khilafah, kenapa begitu ngotot dan bersemangat? Sedangkan urusan LGBT yang jelas merusak moral bangsa, Romli tak pernah mengeluarkan satupun ulasan secara pidana. "Bagaimana bisa menjangkau dan mempidana pelaku LGBT?" pungkasnya.[] Willy Waliah
"Tidak ada satupun pertimbangan atau amar putusan yang menyatakan HTI sebagai Organisasi Massa terlarang atau setidaknya menyatakan Khilafah sebagai ajaran terlarang," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (7/6/2022).
Ahmad melanjutkan, Romli menjadikan peristiwa konvoi motor yang hanya segelintir orang, membawa poster Khilafah sebagai titik awal pembahasan. Menarik ke sejumlah sel terorisme, gerakan terorisme, NII, ISIS, hingga soal Perppu Ormas dan pencabutan BHP HTI. "Romli berusaha menarik putusan adminstratif Pengadilan Tata Usaha Negara yang mencabut BHP HTI dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, sebagai jembatan penghubung terorisme dan Khilafah, dengan menambahkan bumbu sejumlah pasal makar dalam KUHP," ungkapnya.
Ahmad memaparkan, terkait upaya Romli yang memaksa menghubungkan Putusan PTUN Jakarta dan UU Ormas dengan narasi kejahatan Terorisme, termasuk penulis juga ingin menegaskan hubungannya dengan putusan MK yang menolak Yudisial Review UU Ormas, perlu kembali ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Putusan PTUN Jakarta adalah putusan sengketa administratif, bukan peradilan pidana. Majelis Hakim PTUN Jakarta memang telah memutus Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan Ormas Islam HTI, dimana Pengadilan menolak gugatan HTI melalui putusan 211/G/2017/PTUN.JKT. Pengadilan menguatkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN/beshicking) yang dikeluarkan Pemerintah.
"Selanjutnya, Majelis tingkat Banding dan Kasasi menguatkan amar putusan PTUN Jakarta melalui putusan Kasasi Nomor 27K/TUN/2019 tanggal 14 Februari 2019," jelasnya.
Namun perlu untuk diketahui, lanjut Ahmad, bahwa Objek Sengketa A Quo adalah sengketa Administratif berupa Gugatan Pembatalan Surat Keputusan Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017.
"Selanjutnya, amar putusan Majelis Hakim hanya menolak Gugatan HTI dan menguatkan KTUN objek sengketa berupa Surat Keputusan Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017," tambahnya.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XVI/2018 yang menolak permohonan pembatalan UU Ormas (UU No 16/2017 Tentang Penetapan Perppu No 2/2017 tentang Perubahan UU No 17/2013 tentang Ormas menjadi UU), "Didalamnya juga tidak ada satupun pertimbangan dan atau amar putusan yang menyatakan Khilafah sebagai ajaran terlarang," tukasnya.
"Oleh karenanya, berdasarkan asas legalitas seluruh umat Islam memiliki hak konstitusional untuk menjalankan aktivitas dakwah dan menyebarkan ajaran Islam Khilafah. Karena Khilafah tidak pernah dinyatakan terlarang," tegasnya.
Ketiga, dasar konstitusi yang menjadi basis hak konstitusional untuk mendakwahkan ajaran Islam Khilafah adalah ketentuan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan : 1)Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan 2)Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
"Sepanjang Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka setiap ajaran tuhan yang termanifestasi dalam ajaran agama, termasuk ajaran Islam Khilafah tidak boleh dilarang. Kecuali, Indonesia mendeklarasikan diri sebagai Negara komunis yang menganggap agama adalah candu bagi kehidupan," bebernya.
Ahmad pun menilai, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menjalankan kewajiban mendakwahkan ajaran Islam Khilafah adalah ibadat bagi umat Islam, dimana yang menjalankan mendapat pahala dan yang meninggalkan mendapatkan dosa.
"Karena itu, dakwah Khilafah tidak dapat dilarang. Kecuali, Indonesia mendeklarasikan diri sebagai Negara komunis yang menganggap agama adalah candu bagi kehidupan," tegasnya.
Keempat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan jihad dan Khilafah adalah ajaran Islam. MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam.
"Karena itu, MUI merekomendasikan agar masyarakat dan pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah," ujarnya.
"Hal yang diharamkan dalam hukum pidana adalah melakukan analogi. Sayangnya, Romli melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi makna terorisme agar menjangkau ajaran Islam Khilafah melalui penalaran yang bersifat analogi," jelasnya.
Ahmad mempertanyakan, Kalau tak ada pasal yang melarang Khilafah, kenapa dipaksakan? Kalau tak bisa mempidana Khilafah, kenapa begitu ngotot dan bersemangat? Sedangkan urusan LGBT yang jelas merusak moral bangsa, Romli tak pernah mengeluarkan satupun ulasan secara pidana. "Bagaimana bisa menjangkau dan mempidana pelaku LGBT?" pungkasnya.[] Willy Waliah