Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menyatakan bangsa ini telah mengkhianati amanat para pendiri bangsa saat tidak menerapkan syariat Islam.
“Justru bangsa ini telah mengkhianati amanat para pendiri bangsa saat tidak menerapkan syariat Islam,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (23/6/2022).
Ia mengkritisi pernyataan Wakil Presiden RI Ma'ruf Amien yang kembali latah menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah final sesuai dengan kesepakatan nasional dan paham Khilafah telah menyalahi kesepakatan.
“Bagi Pak Ma'ruf Amien Indonesia sudah ada kesepakatan nasional bahwa negara kita Republik. NKRI sudah final. Adanya Khilafah itu menyalahi kesepakatan nasional yang sudah menjadi landasan struktural,” kritiknya.
Menurutnya yang disepakati oleh 9 para pendahulu, bapak bangsa adalah kesepakatan yang memuat komitmen penerapan syariat Islam dalam piagam Jakarta.
“Sebelum bicara kesepakatan dan pengkhianatan dan pengkhianatan sebaiknya Pak Ma'ruf membaca ulang sejarah bangsa ini. Agar tidak mengesampingkan komitmen penerapan syariat Islam yang telah disepakati para pendahulu yang berjuang memerdekakan negeri ini,” ujarnya.
Ia memaparkan tentang kesepakatan-kesepakatan para pendiri bangsa. Merujuk sejarah, para pendiri bangsa pada tanggal 22 Juni 1945 telah bersepakat pada Piagam Jakarta yang salah satu bibirnya adalah komitmen untuk menjalankan syariat Islam.
“Khilafah adalah bagian dari syariat Islam, lantas dimana kesepakatan yang diselisihi? Kalau merujuk peristiwa 18 Agustus 1945 atau kembali pada 1 Juni 1945, keduanya bukan kesepakatan,” tegasnya.
Ia melanjutkan bahwa di kedua peristiwa tersebut merupakan ide dan keputusan sepihak dari Soekarno, bukan kesepakatan para pendiri bangsa.
“Ide 1 Juni 1945 adalah idenya Soekarno, bukan kesepakatan. Ide 18 Agustus 1945 adalah pengkhianatan sepihak Soekarno yang menganulir butir kesepakatan atas penerapan syariat Islam yang disepakati para pendiri bangsa dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945,” paparnya.
Ia menambahkan rujukan lebih jauh yakni kesepakatan para sahabat Radhiyallahu Anhu pasca wafatnya Rasulullah Saw.
“Mereka bersepakat pada Khilafah dan menjalankan syariat Islam. Bukan sistem Republik dan menerapkan sekularisme. Kesepakatan ini ditaati generasi setelahnya, yakni diikuti oleh para Khalifah selanjutnya hingga 13 abad lamanya,” imbuhnya.
Ia menyikapi perburuan dan penangkapan Ja’maah Khilafatul Muslimin yang dijadikan sandaran legitimasi. Upaya mendiskreditkan (baca memojokkan) ajaran Islam Khilafah belum berhenti.
“Khilafatul Muslimin dan ajaran Islam Khilafah dijadikan satu paket entitas yang dinarasikan berbahaya dan mengancam negara,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa Khilafatul Muslimin adalah entitas Jama’ah, sementara Khilafah adalah ajaran Islam.
“Khilafah adalah ajaran Islam yang merupakan kepemimpinan umum kaum muslimin di dunia untuk menerapkan syariah Islam secara kafah (menyeluruh) dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru alam,” ungkapnya.
Maka ia mempertanyakan, dimana letak kesepakatan yang diselisihi dan mengapa sekarang yang ingin menerapkan syariat Islam dan menjalankan ajaran Islam Khilafah dituduh menyelisihi kesepakatan.
“Kenapa sekarang yang ingin menerapkan syariat Islam , ingin menjalankan ajaran Islam Khilafah dituduh menyelisihi kesepakatan?” tanyanya.
Kembali ia menanyakan cengkeraman ideologi kapitalisme liberal di negeri ini.
“Apakah para pendahulu yang telah berjuang memerdekakan bangsa ini dengan pekikan takbir dan semangat jihad, rela negeri ini dicengkeram ideologi kapitalisme liberal?
“Bagaimana dengan ideologi kapitalisme liberal yang diterapkan di negeri ini. Apakah itu kesepakatan bangsa?” pungkasnya. [] Ageng Kartika
“Justru bangsa ini telah mengkhianati amanat para pendiri bangsa saat tidak menerapkan syariat Islam,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (23/6/2022).
Ia mengkritisi pernyataan Wakil Presiden RI Ma'ruf Amien yang kembali latah menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah final sesuai dengan kesepakatan nasional dan paham Khilafah telah menyalahi kesepakatan.
“Bagi Pak Ma'ruf Amien Indonesia sudah ada kesepakatan nasional bahwa negara kita Republik. NKRI sudah final. Adanya Khilafah itu menyalahi kesepakatan nasional yang sudah menjadi landasan struktural,” kritiknya.
Menurutnya yang disepakati oleh 9 para pendahulu, bapak bangsa adalah kesepakatan yang memuat komitmen penerapan syariat Islam dalam piagam Jakarta.
“Sebelum bicara kesepakatan dan pengkhianatan dan pengkhianatan sebaiknya Pak Ma'ruf membaca ulang sejarah bangsa ini. Agar tidak mengesampingkan komitmen penerapan syariat Islam yang telah disepakati para pendahulu yang berjuang memerdekakan negeri ini,” ujarnya.
Ia memaparkan tentang kesepakatan-kesepakatan para pendiri bangsa. Merujuk sejarah, para pendiri bangsa pada tanggal 22 Juni 1945 telah bersepakat pada Piagam Jakarta yang salah satu bibirnya adalah komitmen untuk menjalankan syariat Islam.
“Khilafah adalah bagian dari syariat Islam, lantas dimana kesepakatan yang diselisihi? Kalau merujuk peristiwa 18 Agustus 1945 atau kembali pada 1 Juni 1945, keduanya bukan kesepakatan,” tegasnya.
Ia melanjutkan bahwa di kedua peristiwa tersebut merupakan ide dan keputusan sepihak dari Soekarno, bukan kesepakatan para pendiri bangsa.
“Ide 1 Juni 1945 adalah idenya Soekarno, bukan kesepakatan. Ide 18 Agustus 1945 adalah pengkhianatan sepihak Soekarno yang menganulir butir kesepakatan atas penerapan syariat Islam yang disepakati para pendiri bangsa dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945,” paparnya.
Ia menambahkan rujukan lebih jauh yakni kesepakatan para sahabat Radhiyallahu Anhu pasca wafatnya Rasulullah Saw.
“Mereka bersepakat pada Khilafah dan menjalankan syariat Islam. Bukan sistem Republik dan menerapkan sekularisme. Kesepakatan ini ditaati generasi setelahnya, yakni diikuti oleh para Khalifah selanjutnya hingga 13 abad lamanya,” imbuhnya.
Ia menyikapi perburuan dan penangkapan Ja’maah Khilafatul Muslimin yang dijadikan sandaran legitimasi. Upaya mendiskreditkan (baca memojokkan) ajaran Islam Khilafah belum berhenti.
“Khilafatul Muslimin dan ajaran Islam Khilafah dijadikan satu paket entitas yang dinarasikan berbahaya dan mengancam negara,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa Khilafatul Muslimin adalah entitas Jama’ah, sementara Khilafah adalah ajaran Islam.
“Khilafah adalah ajaran Islam yang merupakan kepemimpinan umum kaum muslimin di dunia untuk menerapkan syariah Islam secara kafah (menyeluruh) dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru alam,” ungkapnya.
Maka ia mempertanyakan, dimana letak kesepakatan yang diselisihi dan mengapa sekarang yang ingin menerapkan syariat Islam dan menjalankan ajaran Islam Khilafah dituduh menyelisihi kesepakatan.
“Kenapa sekarang yang ingin menerapkan syariat Islam , ingin menjalankan ajaran Islam Khilafah dituduh menyelisihi kesepakatan?” tanyanya.
Kembali ia menanyakan cengkeraman ideologi kapitalisme liberal di negeri ini.
“Apakah para pendahulu yang telah berjuang memerdekakan bangsa ini dengan pekikan takbir dan semangat jihad, rela negeri ini dicengkeram ideologi kapitalisme liberal?
“Bagaimana dengan ideologi kapitalisme liberal yang diterapkan di negeri ini. Apakah itu kesepakatan bangsa?” pungkasnya. [] Ageng Kartika