Tinta Media - Penghinaan terhadap Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam oleh dua politisi India yang merupakan juru bicara Partai Bharatiya Janata (BJP) memicu gelombang unjuk rasa di negaranya hingga jatuh korban jiwa.
Berdasarkan laporan Al Jazeera, dua orang remaja bernama Mudasir (14) dan Sahil Ansari (19) tewas saat berunjuk rasa di Ranchi, ibu kota negara bagian Jharkhand Timur. Menurut keterangan pihak keluarga, mereka ditembak oleh polisi dan tewas setelah dilarikan ke Institut Ilmu Kedokteran Rajendra. Masih ada puluhan pengunjuk rasa lain yang terluka dalam aksi memprotes penghinaan terhadap Nabi. Polisi pun membenarkan, pihaknya terpaksa melempar tembakan untuk menghentikan kerusuhan yang ditimbulkan oleh para demonstran.
Sementara itu, Perdana Menteri Narendra Modi juga menghadapi berbagai reaksi keras dari umat Islam, baik dalam ataupun luar negeri. Tekanan hingga seruan boikot produk India menggema dari beberapa negara Timur Tengah. BJP akhirnya menangguhkan juru bicaranya, Nupur Sharma dan mengusir jubir lain, Naveen Jindal karena tweet anti-Islam. Partai Nasionalis Hindu juga mengatakan bahwa pernyataan mereka berdua tidak mencerminkan posisi pemerintah dan dibuat oleh “elemen pinggiran". (CNBC Indonesia, 13/6/2022)
Penghinaan terhadap Islam, terutama terhadap Nabi shalallahu alaihi wasallam lagi-lagi terulang. Wajar setiap terjadi hal seperti ini, reaksi umat Islam begitu keras hingga menimbulkan aksi protes dari berbagai negara di belahan dunia, apalagi pelakunya merupakan tokoh penting sebuah negara. Tentu hal ini juga memicu kemarahan besar dari pemimpin negeri-negeri muslim, meskipun sikap mereka beragam, ada yang sekadar mengecam ada juga yang serentak menyerukan boikot.
Namun, seperti yang sudah-sudah, sekeras apa pun reaksi umat Islam dan pemimpin negeri muslim, nyatanya tidak mampu menghentikan penghinaan serupa terjadi di kemudian hari. Sekarang kasus ini tengah menjadi sorotan dunia hingga pemerintah India terpaksa menindak pelaku penghinaan. Setelah isu mereda, semua akan kembali normal dan tidak ada jaminan kejadian yang sama tidak terulang. Sebab, tindakan mereka bukan karena peduli pada perasaan umat Islam yang tersakiti karena Nabinya dihina, tetapi untuk menjaga kepentingan politik negaranya saja.
Bahkan, pemimpin negeri muslim seperti Indonesia hanya bisa melontarkan kecaman tanpa berani melakukan seruan boikot seperti negara muslim lainnya. Alasannya, tentu untuk menjaga hubungan politik kedua negara atas dasar manfaat dan keuntungan kedua belah pihak. Ini mengingat Indonesia masih membutuhkan berbagai barang impor dari negeri Bolliwood tersebut. Masing-masing negara akan bertindak sesuai kondisi negara mereka dalam hal ekonomi, kekuatan politik, dan lainnya sebagai bahan pertimbangan. Negara muslim yang memiliki power bisa bersuara lebih keras, sedang negara yang posisinya lemah di mata dunia tidak berani berbuat lebih.
Beginilah kondisi umat Islam saat ini yang sedang terpecah-pecah, tanpa adanya satu kekuatan utuh untuk membela agamanya. Masing-masing negara terikat dengan batas-batas teritorial dan juga kepentingan politis. Padahal, dalam sebuah hadis, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyebutkan bahwa umat Islam bagaikan satu tubuh. Apabila satu bagian merasa sakit, bagian lainnya juga merasakan sakit. Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Artinya, bahwa seharusnya seluruh umat Islam bersatu menjadi satu ikatan, baru bisa membuat bangsa-bangsa lain segan.
Berulangnya kasus penghinaan terhadap Nabi, baik dilakukan individu, kelompok, atau petinggi sebuah negara membuktikan kondisi umat yang lemah. Sebab, sejak runtuhnya sistem iman tauhid yang bernama Khilafah di Turki, tahun 1924, umat Islam tak lagi memiliki pemimpin yang menjadi perisai, tak lagi mempunyai bangunan permanen tempat mereka bernaung dan berlindung. Umat tak lagi menjadikan iman tauhid sebagai pedoman dalam sistem kehidupan bernegara. Bagaikan anak ayam kehilangan induknya, umat pun hidup terpisah-pisah dan mengikuti sistem yang dipaksakan Barat, yakni kapitalis-sekuler.
Maka, wajar jika bangsa-bangsa Barat memandang remeh kekuatan Islam. Tidak ada rasa takut dan segan bagi Barat ketika melakukan penghinaan terhadap Islam, melakukan penganiayaan atau genosida, atau merampas kekayaan alam negeri muslim. Sebab, mereka tahu bahwa yang bisa dilakukan oleh umat Islam dan pemimpin-pemimpinnya hanyalah berteriak dengan kecaman atau boikot yang tidak akan berlangsung lama.
Mungkin inilah kondisi yang pernah digambarkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, bahwasanya umat Islam banyak dari segi jumlah, tetapi tidak berbobot, ringan laksana buih di lautan.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti halnya orang-orang menyerbu makanan di atas piring,” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya jumlah kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn,” Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).
Sebagian besar umat Islam, termasuk pemimpin negerinya lebih memilih tinggal di zona nyaman untuk menghindari bahaya akibat membela agama dan saudara muslim yang teraniaya. Yang bisa dilakukan hanyalah mengecam dari kejauhan, memberi bantuan logistik, atau minimal mendoakan. Maka, tidak ada solusi nyata yang benar-benar bisa menghentikan penghinaan terhadap Islam, juga kesewenang-wenangan pada kaum muslimin di berbagai negara, kecuali dengan bangkitnya kesadaran umat di seluruh dunia untuk kembali bersatu dalam satu perasaan, pemikiran, dan tujuan melanjutkan kehidupan Islam.
Penghinaan terhadap Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sama halnya dengan menghina Islam. Hal itu termasuk kejahatan besar. Para ulama sepakat bahwa hukuman bagi pelaku adalah dibunuh, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal,
“Barang siapa mencaci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melecehkannya – baik dia seorang muslim ataupun orang kafir – maka dia wajib dibunuh. Saya berpandangan bahwa dia langsung dibunuh dan tidak perlu diminta untuk bertaubat lebih dahulu.”
Hanya saja, saat ini tidak ada satu pun pemimpin muslim yang berani menjatuhkan hukuman mati terhadap penghina Nabi. Karenanya, umat harus kembali pada sistem kepemimpinan Islam yang benar-benar menerapkan hukum-hukum Allah dalam pemerintahan. Dengan begitu, tidak akan ada lagi orang yang berani menghina agama Islam, termasuk dari negara lain. Negara Islam akan dengan tegas memutus hubungan, bahkan memerangi negara yang melakukan penghinaan terhadap Islam. Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Dini Azra
Sahabat Tinta Media