Tinta Media - “Yang saya pahami khilafah itu bukan isme, bukan ideologi tetapi khilafah itu sistem pemerintahan yang dibingkai oleh ajaran Islam. Bukan ideologi seperti komunisme maupun kapitalisme,” ungkap Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki dalam acara Menyorot Para Pembenci Khilafah, Ahad (5/6/2022) di kanal UIY Official.
Namun dalam praktek di kehidupan bernegara, lanjutnya, menjadi aneh. Kata khilafah pernah ditambahi dengan isme, jadi khilafahisme yang disejajarkan dengan komunisme . Terutama ketika tahun 2020 kita hendak menyusun Haluan Ideologi Pancasila.
“Pada saat itu ada pro kontra kenapa TAP MPRS Nomor 25 tahun '66, tentang larangan penyebarluasan komunisme tidak dimasukkan menjadi politik hukum, terutama tidak disebutkan dalam konsideran Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila,” ungkapnya.
Prof. Suteki melanjutkan, setelah diprotes sana sini, pihak penyusun mengiyakan, akan dimasukkan ke dalam pertimbangan Rancangan Undang-Undang HIP tetapi ada syaratnya. Syaratnya ada ideologi lain yang harus juga dilarang yaitu khilafahisme. “Sekjen PDIP Pak Hasto Kristianto waktu itu mengatakan kita akan masukkan TAP MPRS Nomor 25 tahun ’66, asalkan khilafahisme juga dimasukkan sebagai ideologi terlarang,” kisahnya.
“Jadi memang ada upaya, atau kemauan rezim untuk menempatkan khilafah sebagai isme yang disamakan dengan komunisme. Ini jahatnya, sehingga nanti pengembang atau penganut atau pendakwah khilafah itu bisa jadi akan diklasifikasikan atau dikelompokkan sama dengan orang-orang yang mengembangkan atau menganut ideologi komunisme. Ini saya kira pandangan yang sangat absurd,” terangnya.
Terkait dengan konvoi yang membawa poster khilafah, Prof. Suteki mengatakan itu tidak melanggar hukum. “Ini kan negara hukum. Kita harus sadar betul bahwa perintah dan larangan itu mesti juga berdasar atas hukum yang sudah ditetapkan, bukan atas kemauan rezim yang sedang berkuasa,” argumennya.
“Jadi, menurut saya, sebagai sebuah dakwah, saya kira tidak ada bahaya atau bahayanya pun dapat di antisipasi oleh aparat penegak hukum. Selama itu hanya sebuah dakwah tanpa kekerasan, tanpa ada paksaan atau makar, maka tidak bisa dianggap berbahaya dan bahkan dikatakan sebagai mengancam NKRI sebagai negara kesepakatan,” nilainya.
Prof. Suteki merasa aneh kalau umat Islam asing dengan sistem pemerintahan Islam (khilafah) meski tidak membencinya. “Ini kan aneh sekali padahal MUI sudah menyatakan melalui fatwanya bahwa khilafah itu sebagai sistem pemerintahan dan itu bagian dari fiqih siyasah umat Islam,” herannya.
Prof. Suteki kembali menegaskan bahwa mendakwahkan khilafah tidak bertentangan dengan hukum dan memberikan dua alasan. “ Pertama, dari perspektif perundang-undangan tidak ada yang menempatkan atau menghukumi khilafah sebagai ideologi terlarang. Kedua, tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang dakwah tentang Khilafah,” argumennya.
Tidak konsisten
Prof. Suteki nilai terjadi ketidakkonsistenan penerapan Undang-Undang. “Kalau berdasar Pancasila, apalagi Undang-Undang Dasar 45 yang asli, sejak awal tidak setuju demokrasi ala barat yang kemudian melahirkan kapitalisme dan liberalisme,” ungkapnya.
“Begitu merdeka kita berpancasila dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tapi aliran liberal baik itu di politik maupun ekonomi sangat kental sekali. Itu bertentangan dengan Pancasila,” ungkapnya.
Ia memberikan contoh, mulai tahun 67 negeri ini punya Undang-Undang nomor 1 tahun 67 tentang penanaman modal asing. Penguasaan sumber daya alam yang mestinya dikuasai negara, dikelola oleh negara, kemudian ditafsirkan liberal. “Jadi katanya menguasai tidak harus memiliki. Kemudian pengelolaannya bisa diserahkan ke asing atau swasta,” terangnya.
Lalu apa peran negara untuk menghidupi atau untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya? “Sejak awal kita tidak konsisten. Kita negara Pancasila dengan Undang-Undang Dasar 45, tetapi yang kita ikuti liberal, baik politik maupun ekonomi,” tutupnya. [] Irianti Aminatun
Namun dalam praktek di kehidupan bernegara, lanjutnya, menjadi aneh. Kata khilafah pernah ditambahi dengan isme, jadi khilafahisme yang disejajarkan dengan komunisme . Terutama ketika tahun 2020 kita hendak menyusun Haluan Ideologi Pancasila.
“Pada saat itu ada pro kontra kenapa TAP MPRS Nomor 25 tahun '66, tentang larangan penyebarluasan komunisme tidak dimasukkan menjadi politik hukum, terutama tidak disebutkan dalam konsideran Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila,” ungkapnya.
Prof. Suteki melanjutkan, setelah diprotes sana sini, pihak penyusun mengiyakan, akan dimasukkan ke dalam pertimbangan Rancangan Undang-Undang HIP tetapi ada syaratnya. Syaratnya ada ideologi lain yang harus juga dilarang yaitu khilafahisme. “Sekjen PDIP Pak Hasto Kristianto waktu itu mengatakan kita akan masukkan TAP MPRS Nomor 25 tahun ’66, asalkan khilafahisme juga dimasukkan sebagai ideologi terlarang,” kisahnya.
“Jadi memang ada upaya, atau kemauan rezim untuk menempatkan khilafah sebagai isme yang disamakan dengan komunisme. Ini jahatnya, sehingga nanti pengembang atau penganut atau pendakwah khilafah itu bisa jadi akan diklasifikasikan atau dikelompokkan sama dengan orang-orang yang mengembangkan atau menganut ideologi komunisme. Ini saya kira pandangan yang sangat absurd,” terangnya.
Terkait dengan konvoi yang membawa poster khilafah, Prof. Suteki mengatakan itu tidak melanggar hukum. “Ini kan negara hukum. Kita harus sadar betul bahwa perintah dan larangan itu mesti juga berdasar atas hukum yang sudah ditetapkan, bukan atas kemauan rezim yang sedang berkuasa,” argumennya.
“Jadi, menurut saya, sebagai sebuah dakwah, saya kira tidak ada bahaya atau bahayanya pun dapat di antisipasi oleh aparat penegak hukum. Selama itu hanya sebuah dakwah tanpa kekerasan, tanpa ada paksaan atau makar, maka tidak bisa dianggap berbahaya dan bahkan dikatakan sebagai mengancam NKRI sebagai negara kesepakatan,” nilainya.
Prof. Suteki merasa aneh kalau umat Islam asing dengan sistem pemerintahan Islam (khilafah) meski tidak membencinya. “Ini kan aneh sekali padahal MUI sudah menyatakan melalui fatwanya bahwa khilafah itu sebagai sistem pemerintahan dan itu bagian dari fiqih siyasah umat Islam,” herannya.
Prof. Suteki kembali menegaskan bahwa mendakwahkan khilafah tidak bertentangan dengan hukum dan memberikan dua alasan. “ Pertama, dari perspektif perundang-undangan tidak ada yang menempatkan atau menghukumi khilafah sebagai ideologi terlarang. Kedua, tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang dakwah tentang Khilafah,” argumennya.
Tidak konsisten
Prof. Suteki nilai terjadi ketidakkonsistenan penerapan Undang-Undang. “Kalau berdasar Pancasila, apalagi Undang-Undang Dasar 45 yang asli, sejak awal tidak setuju demokrasi ala barat yang kemudian melahirkan kapitalisme dan liberalisme,” ungkapnya.
“Begitu merdeka kita berpancasila dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tapi aliran liberal baik itu di politik maupun ekonomi sangat kental sekali. Itu bertentangan dengan Pancasila,” ungkapnya.
Ia memberikan contoh, mulai tahun 67 negeri ini punya Undang-Undang nomor 1 tahun 67 tentang penanaman modal asing. Penguasaan sumber daya alam yang mestinya dikuasai negara, dikelola oleh negara, kemudian ditafsirkan liberal. “Jadi katanya menguasai tidak harus memiliki. Kemudian pengelolaannya bisa diserahkan ke asing atau swasta,” terangnya.
Lalu apa peran negara untuk menghidupi atau untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya? “Sejak awal kita tidak konsisten. Kita negara Pancasila dengan Undang-Undang Dasar 45, tetapi yang kita ikuti liberal, baik politik maupun ekonomi,” tutupnya. [] Irianti Aminatun