Tinta Media - Peneliti Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan mengatakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menunjukkan gejala otoritarianisme rezim.
“RKUHP ini jelas-jelas menunjukkan gejala otoritarianisme dari rezim ini,” tuturnya dalam Program Kabar Petang: RKUHP Harus Ditolak? Kamis (23/6/2022) di kanal Youtube Khilafah News.
Ia mengungkapkan otoritarianisme rezim ini ditunjukkan dengan tertutupnya pembahasan RKUHP dan tidak terbukanya kepada publik draf terakhir dari RKUHP.
“Kita lihat pembahasan RKUHP yang tertutup, kemudian tidak terbuka kepada publik draf terakhir dari RKUHP ini. Sebuah rancangan undang-undang sebenarnya yang menjadi objek dikenakan pengaturan undang-undang itu adalah masyarakat,” ungkapnya.
Baginya, masyarakat harus mengetahui pasal-pasal yang bisa menjerat dan mengancam mereka. Tertutupnya pembahasan RKUHP ini memperlihatkan tidak ada ruang untuk memberikan koreksi kepada pemerintah.
“Masyarakat berhak tahu apa yang mungkin akan mengancam, menjerat, dan menghukum mereka. Masyarakat juga berhak mengetahui cara pembuatannya, perumusannya, dan pengesahannya. Tertutupnya pembahasan RKUHP ini memperlihatkan tidak ada ruang untuk kita memberikan koreksi kepada pemerintah karena dilakukan dengan sembunyi-sembunyi yang menjadi ciri khas dari rezim ini,” ujarnya.
Ia mempertanyakan, klaim pemerintah telah membahas 14 isu krusial pada sidang tanggal 25 Mei 2022 lalu dan telah disepakati oleh DPR tetapi draf lengkapnya belum pernah sampai ke publik. Dan tidak ada proses konsultasi dengan publik dan lainnya.
“Ini yang menjadi tanda tanya, kenapa harus ditutupi? Padahal jelas dalam perumusan sebuah undang-undang harus ada konsultasi publik, pembahasan dengan publik, ada proses konsultasi dengan stakeholders,” tanyanya.
“Sebenarnya pemerintah konsultasi dengan siapa? Apakah cukup dengan DPR yang katanya sudah merupakan representasi dari masyarakat, wakil dari rakyat. Kemudian tidak melakukan proses konsultasi-konsultasi yang lainnya,” lanjutnya.
Ia memperkirakan, RKUHP ini belum sepenuhnya diakomodir oleh pemerintah disebabkan adanya intensi-intensi untuk meredam kritik publik kepada pemerintah.
“Saya kira apa yang hari ini kita lihat termasuk rapat tanggal 25 Mei 2022 itu, yang menjadi concern dari masyarakat sipil dan dari berbagai aktivis itu belum sepenuhnya diakomodir oleh pemerintah,” ujarnya.
Melihat apa yang akan dilakukan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sedang bersiap-siap mengesahkan RKUHP, menurutnya, hal ini tidak lepas dari proses yang terjadi 3 tahun silam tepatnya tahun 2019 lalu. Hal ini disebabkan ada sejumlah pasal kontroversial dan menjadi sorotan tajam dari masyarakat sipil yang disuarakan kepada pemerintah dan DPR.
“Tahun 2019 itu sebenarnya RKUHP ini hampir diketok, sampai kemudian timbul gelombang penolakan yang sangat luas di masyarakat. Akhirnya diputuskan untuk menunda pengesahan RKUHP,” tuturnya.
Ia membeberkan dengan melihat pasal-pasal di dalamnya, menunjukkan pemerintah menderita fobia yang akut terhadap kritik.
“Banyak pasal yang kita lihat, ada pasal tentang penghinaan presiden (pasal 218), penghinaan kepada pemerintah (pasal 240), penghinaan terhadap kekuasaan umat yaitu lembaga negara (pasal 353-354). Ini menunjukkan pemerintah ini menderita fobia yang akut terhadap kritik,” bebernya.
Menurutnya, sebagai pejabat publik harus tidak anti kritik, membuka hati dan telinga lebar-lebar. Karena kritik itu obat.
“Seharusnya pejabat negara tidak anti kritik karena sesungguhnya kritik itu obat. Pemerintah dalam menyerap aspirasi itu belum mendengarkan aspirasi-aspirasi dari berbagai kelompok sehingga ada kritik,” tuturnya.
“Harusnya kritik dibuka untuk seluruh pihak, seluruh masyarakat. Kebebasan menyatakan pendapat dijamin oleh UUD 1945,” imbuhnya.
Ia mengatakan diselipkannya pasal-pasal tersebut di dalam RKUHP akan membahayakan kebebasan publik, kebebasan menyatakan pendapat termasuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.
“Pemerintah di dalam pasal-pasal itu sudah jelas menunggu ancaman pidana penjara 3,5 tahun misalnya atau 4,5 tahun kalau dilakukan melalui media sosial. Saya kira ini yang patut kita khawatirkan karena pintu-pintu untuk memberikan kritik tidak dibuka maka itu ikut memberikan cek kosong kita kepada rezim,” katanya.
Fajar menilai, kezaliman akan berjalan tanpa ada kontrol dan konsep trias politika yang diciptakan founding father dari sistem demokrasi itu sesungguhnya hanya ilusi.
“Karena kita buktikan di negeri ini justru tiga kekuasaan itu, eksekutif, legislatif, dan yudikatif, melakukan konsolidasi kekuasaan, seharusnya bisa melakukan check balance, yang terjadi hari ini adalah mereka bersepakat di dalam upaya untuk melanggengkan kekuasaan,” pungkasnya. [] Ageng Kartika