Tinta Media - Ketua Umum HR5 Center Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. menilai paradigma positivisme hukum lebih melindungi kepentingan golongan tertentu.
“Paradigma positivisme hukum lebih melindungi kepentingan dan kebebasan individu dan golongan tertentu daripada melindungi kepentingan masyarakat banyak. Kebenaran dan keadilan sulit diwujudkan,” tuturnya pada Tinta Media, Selasa (31/5/2022).
Abdul Chair menjelaskan, bekerjanya sistem hukum yang berlaku saat ini masih menganut ajaran positivisme hukum (legisme). Hukum semata-mata diidentikan dengan undang-undang, padahal tidak demikian. Keberlakuannya menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum itu sendiri. Demi kepastian, maka keadilan dikorbankan.
Terlebih lagi lanjutnya, dengan menguatnya liberalisasi ekonomi telah melahirkan transplantasi hukum liberal. Hukum liberal lebih berpihak pada kelas ekonomi tertentu dan elite politik pemegang otoritas.
“Dengan demikian penegakan hukum berbasiskan positivistik tidak akan mampu merealisasikan eksistensi hukum, yakni melindungi, mengayomi, memberikan rasa keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umum. Putusan pengadilan dirasakan berseberangan dengan nilai-nilai hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat,” simpulnya.
Menurutnya, putusan hakim tidak hanya mendasarkan pada teks undang-undang, namun juga nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. “Hal ini disebutkan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” jelasnya.
Ketentuan tersebut lanjutnya, menjadi landasan bagi hakim untuk tidak hanya menemukan keadilan formal, namun juga mencipatakan keadilan substansial. Hakim harus terbebas dari positivisme hukum agar mampu mewujudkan keadilan sebagaimana diharapkan.
Abdul Chair menilai, Hakim yang berhaluan positivistik-legalistik sangat mudah dikondisikan oleh para aktor ‘industri hukum’ dan makelar perkara. Demikian mudah dilakukan rekayasa dalam membentuk putusan. Hakim hanya mengorganisir hukum positif yang kemudian dicocokan dengan fakta. Semua fakta ditampung dalam norma, padahal fakta itu belumlah tentu sebagai perbuatan melawan hukum.
“Interpretasi dalam silogisme bagaikan dalam sangkar besi (iron cage), karena jawaban (konklusi) secara diam-diam sebenarnya sudah tersedia dalam premis mayornya. Di sini terlihat pemenuhan fakta sebagai premis minor memang sudah diarahkan agar memenuhi premis mayor. Demikian itu menghasilkan konklusi yang sebenarnya memang sudah dipersiapkan,” imbuhnya.
Dalam penegakan keadilan substantif lanjutnya, dibutuhkan kecerdasan spiritual para hakim dalam menegakan keadilan. Hakim tidak serta merta menerapkan pasal tanpa menemukan makna yuridis dari peraturan yang bersangkutan.
Ia lalu menjelaskan penerapan hukum yang responsif sebagaimana diajukan Nonet dan Selznick, bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum selain harus kompeten dan adil, harus pula mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.
“Sudah sepatutnya bagi hakim untuk meninggalkan paradigma positivisme hukum. Hakim hendaknya menerapkan paradigma alternatif, yakni konstruktivisme agar putusan sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia,” harapnya.
Dalam paradigma konstruktivisme, jelasnya, hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan aturan hukum. Hukum adalah sesuatu yang sarat makna dan nilai. Hukum bukanlah suatu proses logis semata. Berkaitan dengan hal ini Homes mengatakan, “the life of law has not been logic: it has been experience.” Pengalaman akan memberi isi kepada teks hukum. “Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara seyogyanya berdasarkan keadaan, walaupun demikian itu bertolak belakang dari teks hukum,” himbaunya.
“Paradigma konstruktivisme dalam bekerjanya hukum pidana tidak hanya mendasarkan pada ajaran legalitas, namun juga nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Termasuk didalamnya ajaran agama,” terangnya.
Disini sifat melawan hukum lanjutnya, tidak semata-mata berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi harus pula dilihat dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan pidana dalam undang-undang, belum tentu termasuk perbuatan yang tercela dalam pandangan masyarakat dan ajaran agama. Begitupun suatu perbuatan yang tidak disebutkan dalam teks undang-undang, maka apabila perbuatan itu bertentangan dengan kebiasaan, kesusilaan dan ajaran agama, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Paradigma konstruktivisme menganjurkan pemihakan terhadap pihak yang paling lemah dalam hirarki struktur sosial masyarakat. Keberlakuannya mengakomodasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
“Konstruksi putusan pengadilan yang diharapkan haruslah mengandung nilai keadilan berketuhanan, keadilan berkemanusiaan (humanistik), keadilan yang demokratik, nasionalistik, dan berkeadilan sosial. Kandungan itu adalah aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang menjadi jiwa bangsa (volksgeist), bukan jiwa kapitalis maupun komunis,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun