Tinta Media - Saat ini kinerja institusi Polri dibawah kepemimpinan Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo benar-benar diuji, khususnya terkait harmonisasi hubungan institusi Polri dengan Umat Islam akan sangat bergantung dari kebijakan yang diambil Kapolri. Kapolri harus dapat menjangkau sikap batin dan suasana kebatinan umat Islam yang pasti akan sangat marah jika ajaran agamanya dilecehkan, dikriminalisasi dengan modus penegakan hukum.
Babak baru konvoi dan penangkapan pimpinan Jama'ah Khilafatul Muslimin telah sampai pada titik adanya niat jahat mengaktivasi ketentuan UU Ormas khususnya menggunakan Pasal 82 A jo Pasal 59 UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Periubahan UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, bahwa kelompok Jama'ah Khilafatul Musimin diduga mengajak masyarakat untuk mendukung ideologi khilafah untuk menggantikan Pancasila.
“Dimana Khilafatul Muslimin ini mengajak masyarakat untuk mendukung ideologi khilafah menggantikan ideologi Pancasila,” kata Ramadhan usai menghadiri kegiatan TNI Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (9/6/2022).
Menurut pemberitaan pewarta kompas online edisi 9 Juni 2022, kasus Jama'ah Khilafatul Muslimin ini selain dijerat dengan pasal hoax yakni Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, juga diterapkan pasal 82 A jo Pasal 59 UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Periubahan UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
Pasal 82 A UU Ormas diantaranya memuat ketentuan pasal 82 A ayat (3) yang menyatakan :
"Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam *Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.*
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 59 ayat (4) Ormas dilarang:
1. Menggunakan nama, lambing, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambing, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.
2. Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI.
*3. Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.*
_*Konklusinya diduga ada niat jahat kepolisian untuk mengkriminalisasi ajaran Islam Khilafah melalui narasi ajaran atau paham yang ingin mengganti ideologi pancasila, dengan mengaktivasi ketentuan pasal pasal 82 A jo Pasal 59 UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Periubahan UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.*_
Padahal, didalam UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, *tidak memuat satupun ketentuan norma pasal yang menyebutkan Khilafah adalah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.*
Merujuk ketentuan penjelasan pasal 59 ayat (4) UU Ormas, dijelaskan :
"ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945".
Penjelasan tentang ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme bertentangan dengan pancasila sejalan dengan isi TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme dan Leninisme.
Kalau kemudian pasal 82 A ayat (2) jo pasal 59 ayat (4) ini digunakan untuk menjangkau ajaran Islam Khilafah melalui pintu frasa 'paham lain', lalu disimpulkan ajaran Islam bertentangan dengan Pancasila dan kemudian Umat Islam yang mendakwahkannya diancam pidana penjara minimum lima tahun, dua puluh tahun hingga penjara seumur hidup, *jelas-jelas ini sama saja mengumumkan perang terbuka kepada umat Islam, mengganggu bahkan merusak harmoni hubungan institusi Polri dengan Umat Islam, disebabkan :*
*Pertama,* ajaran Islam Khilafah adalah berasal dari Wahyu, dari Alllah SWT yang dibawa Rasulullah Saw, sudah ada jauh sebelum Republik ini berdiri. Umat Islam akan membela ajaran Islam dengan segala daya dan upaya bahkan rela mati untuk membelanya.
Mengkriminalisasi ajaran Islam Khilafah sama saja mengajak perang umat Islam. Dan hal ini, jelas kontraproduktif dengan semangat institusi Polri yang memiliki misi melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat termasuk umat Islam didalamnya sebagai umat mayoritas di negeri ini.
*Kedua,* tidak ada satupun norma pasal didalam UU Ormas yang menyatakan ajaran Islam Khilafah ingin mengganti Pancasila. Penalaran analogi yang dipaksakan untuk menjangkau ajaran Islam Khilafah bertentangan dengan asas legalitas.
Karena itu pemaksaan penggunaan pasal 82 A jo Pasal 59 UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Periubahan UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat untuk menjangkau dan mengkriminalisasi ajaran Islam Khilafah, jelas-jelas merupakan konfirmasi adanya niat jahat dan kebencian terhadap ajaran Islam Khilafah yang agung.
*Ketiga,* masih banyak pekerjaan rumah (PR) Polri untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dalam penegakan hukum. Mencari-cari kesalahan umat Islam dengan mempersoalkan ajaran Islam Khilafah akan menghilangkan kepercayaan publik khususnya umat Islam pada jargon Polri Presisi.
Polri dan Umat Islam butuh sinergi, saling melengkapi, bersatu membangun bangsa. Visi inilah yang semestinya dikedepankan, bukan justru mencari-cari kesalahan Umat Islam.
Kepada Kapolri Pak Jenderal Listyo Sigit Prabowo, saya mohon presisi dalam menangani kasus Jama'ah Khilafatul Muslimin. Fokuslah menegakan hukum, tetaplah menjadi abdi negara dan pelayan masyarakat. Jangan sampai ditunggangi oleh kepentingan politik dan kekuasaan yang dapat mencederai hubungan baik institusi Polri dengan Umat Islam. [].
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum KPAU