Nafsu sebagai Kendaraan yang Harus Dikendalikan - Tinta Media

Rabu, 29 Juni 2022

Nafsu sebagai Kendaraan yang Harus Dikendalikan

Tinta Media - Sobat. Mari kita renungkan satu poin penting berikut ; Jika kau amati dengan seksama, kau akan menemukan fakta bahwa  setiap fitnah, kerusakan, kehinaan, kebinasaan, dosa, dan musibah yang menimpa setiap hamba Allah SWT, sejak pertama penciptaan  sampai hari kiamat, itu semua disebabkan oleh hawa nafsu. Adakalanya hal itu terjadi murni dari hawa nafsu itu sendiri, dan adakalanya hal itu terjadi karena andil, partisipasi atau dorongan dari hawa nafsu.

Sobat. Jika kau bertanya, jika hawa nafsu laksana kendaraan atau tunggangan yang bandel dan sulit dikendalikan, lalu bagaimana cara untuk dapat menguasainya? Imam al-Ghazali  mengatakan bahwa untuk menundukkan nafsu dan menekan keinginan, ada 3 tindakan yang bisa dilakukan, antara lain:

1. Mengekang kuat-kuat segala bentuk hawa nafsu. Sebab seekor hewan tunggangan yang sudah dikendalikan  akan melemah apabila dikurangi makanannya. Hendaknya kau mengendalikan hawanafsu dengan tali kekang bernama takwa dan sifat wara’ agar kau memperoleh kedua manfaatnya secara bersamaan.  Wara’ itu meninggalkan hal-hal yang bersifat syubhat ( belum jelas status hukumnya antara halal dan haram, atau antara benar dan salah ). Dua manfaatnya : Penggunaan hawa nafsu untuk mendorong  pada  kebaikan  dan kemaslahatan, dan menekan hawa nafsu  dari dorongan kejahatan dan kerusakan.

2. Menambah  beban pada hawa nafsu dengan berbagai  bentuk ibadah dan ketaatan. Sebab apabila  sesekor keledai ditambah  beban muatannya  dan dikurangi  makanannya, ia akan tunduk  dan menurut pada tuannya.

3. Memohon  pertolongan kepada Allah SWT dan merendahkan  diri kepada-Nya, agar Allah SWT  berkenan menolongmu. Karena jika tidak, tidak ada jalan  untuk menyelamatkan  diri dari perangkap  hawa nafsu. Tidakkah kau mendengar perkataan Yusuf As dalam firman Allah SWT :

۞وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٞ رَّحِيمٞ 
(٥٣)

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf (12) : 53).

Sobat. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Yusuf sebagai manusia mengakui bahwa setiap nafsu cenderung dan mudah disuruh untuk berbuat jahat kecuali jika diberi rahmat dan mendapat perlindungan dari Allah. Yusuf selamat dari godaan istri al-Aziz karena limpahan rahmat Allah dan perlindungan-Nya, meskipun sebagai manusia Yusuf juga tertarik pada istri al-Aziz sebagaimana perempuan itu tertarik kepadanya seperti diterangkan pada ayat 24:

Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. (Yusuf/12: 24)

Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ayat 53 ini menerang-kan pengakuan istri al-Aziz dengan terharu dan rasa penyesalan yang mendalam bahwa dia tidak dapat membersihkan dirinya dari kesalahan dan ketelanjuran. Dia juga mengakui bahwa memang dia yang hampir meng-khianati suaminya dengan merayu Yusuf ketika suaminya tidak di rumah. Untuk menjaga nama baik diri, suami, dan keluarganya, dia menganjurkan supaya Yusuf dipenjarakan, atau ditimpakan kepadanya siksaan yang pedih. Istri al-Aziz telah melakukan kesalahan ganda, yaitu berdusta dan menuduh orang yang jujur dan bersih serta menjebloskannya ke penjara.

Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Sobat. Jika kita dapat  melakukan  ketika tindakan di atas  secara terus menerus, hawa  nafsu yang liar  itu  akan dapat dikendalikan, atas izin Allah SWT. Jika hal itu sudah terjadi , kita kan bisa menguasai dan mengekang hawa nafsu itu, sehingga kita dapat  selamat dari pengaruh buruknya.

Sobat. Di antara  doa yang pernah dipanjatkan oleh Umar bin Khathab adalah, “Ya Allah, jadikanlah  amalanku seluruhnya shalih. Jadikanlah amalanku itu ikhlas hanya  untuk mengharap wajah-Mu Yang Mulia. Dan jangan Engkau jadikan ia sedikit pun untuk seseorang ( riya’ )”

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ 
(٥)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah (98) : 5).

Karena adanya perpecahan di kalangan mereka, maka pada ayat ini dengan nada mencerca Allah menegaskan bahwa mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah-Nya. Perintah yang ditujukan kepada mereka adalah untuk kebaikan dunia dan agama mereka, dan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 

Mereka juga diperintahkan untuk mengikhlaskan diri lahir dan batin dalam beribadah kepada Allah dan membersihkan amal perbuatan dari syirik sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim yang menjauhkan dirinya dari kekufuran kaumnya kepada agama tauhid dengan mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Ikhlas adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amal, dan itu merupakan pekerjaan hati. Sedang yang kedua adalah mengikuti sunah Rasulullah. 

Allah berfirman:

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim yang lurus." (an-Nahl/16: 123)

Firman-Nya yang lain:

Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus dan muslim. (Ali 'Imran/3: 67)

Sobat. Mendirikan salat dalam ayat ini maksudnya adalah mengerjakannya terus-menerus setiap waktu dengan memusatkan jiwa kepada kebesaran Allah, untuk membiasakan diri tunduk kepada-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat yaitu membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah ditentukan oleh Al-Qur'anul Karim.

Keterangan ayat di atas tentang keikhlasan beribadah, menjauhkan diri dari syirik, mendirikan salat, dan mengeluarkan zakat, adalah maksud dari agama yang lurus yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Goreskan Tinta Emas. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :