Tinta Media - Wacana pembangunan tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan (Socipa) menuai protes dari berbagai kalangan. Yanto Setianto sebagai Ketua Komisi C DPRD kabupaten Bandung dari Fraksi Golkar mengatakan bahwa proyek pembangunan tol Socipa tidak ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung. Beliau berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah lebih memprioritaskan angkutan masal, semisal kereta api dan bus (kompas.com).
Menanggapi hal itu, Bupati Bandung Dadang Supriatna berpendapat bahwa sah-sah saja membangun jalan tol. Hanya saja, RPJMD tidak mencantumkan jalan tol. Terlebih, menurutnya RPJMD dijalankan sesuai rambu-rambunya. Keuntungan besar akan diraih oleh Pemkab, serta akan menguntungkan banyak pihak.
Nah, kita bisa menelisik lebih dalam, pihak mana yang diuntungkan di sini. Jelas, ini mengindikasikan kuat dan mengguritanya politik oligarki. Jauh dari harapan jika dikatakan bahwa ini semua demi kepentingan rakyat.
Inilah sistem kapitalis demokrasi yang mementingkan pembangunan hanya untuk segala hal yang bersentuhan dengan kepentingan penguasa dan oligarki saja, sementara rakyatnya termarginalkan.Terbukti, saat ini penguasa sibuk mencari celah agar anggaran daerah yang diklaim untuk kepentingan rakyat bisa keluar, padahal kenyataannya hak rakyat terabaikan, jauh dari kata diuntungkan.
Perlu kita ketahui bahwa negara saat ini menjadi negara korporasi. Dengan kata lain, negara sedang berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Mengapa demikian? Tentu karena ketika mengeluarkan keputusan, mereka berpihak pada pemilik modal.
Kesalahan fatal dari negeri ini adalah memilih sistem politik demokrasi dengan ekonomi kapitalis. Sistem kapitalis menjadikan dana negara tidak cukup untuk menyejahterakan rakyat. Ini karena pemasukan negara lebih mengandalkan pajak, bukan dari kekayaan alam.
Padahal, sistem politik yang bukan berdasarkan syari'at Allah, jauh dari keberkahan. Sebagaimana firman Allah di Surat Al-A'raf ayat 96 yang artinya:
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami) maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
Karena itu, secepatnya kita beralih pada sistem Islam dalam naungan daulah Islam. Negara berwenang penuh dan bertanggung jawab langsung untuk memenuhi hajat publik. Negara tidak boleh menjadi regulator kepentingan korporasi, melainkan wajib menjadi pihak yang mengurusi urusan umat.
Terlepas dari itu semua, para penguasa dalam perspektif Islam menjadikan amanah sebagai bentuk dari ibadah serta ketaatan kepada Allah Swt. semata. Tentu saja hal ini menjadi wasilah untuk beramal saleh dengan penuh tanggung jawab.
Penguasa dalam Islam tidak akan menjadikan oligarki dan membuat semacam korporatokrasi untuk memperkaya diri sendiri. Pastinya, para penguasa tersebut justru memiliki peran penting untuk merealisasikan pelayanan untuk umat. Seluruh kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh daulah, tidak akan meniscayakan lahirnya oligarki kapitalisme, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini. Bertumpu pada peran aktif negara sebagai pelayan bagi seluruh umat, maka paradigma segala kebijakan yang lahir dari daulah bertujuan untuk kemaslahatan, kesejahteraan seluruh umat. Insyaallah.
Wallahu alam bi shawab.
Oleh: Erlyn Lisnawati
Sahabat Tinta Media