Kiai Shiddiq: Membaiat Khalifah Tanpa kekuasaan Menerapkan Syariah Bukan Khalifah Syar’i - Tinta Media

Sabtu, 18 Juni 2022

Kiai Shiddiq: Membaiat Khalifah Tanpa kekuasaan Menerapkan Syariah Bukan Khalifah Syar’i


Tinta Media - Adanya pemahaman sebagian kaum muslimin bahwa yang penting membaiat khalifah agar tidak mati seperti jahiliyah meski khilafahnya belum ada, ditanggapi  Pakar Fikih Kontemporer KH M. Shiddiq al-Jawi, S.Si., M.Si.

“Kalau seseorang diangkat sebagai khalifah tapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syara’, sebenarnya dia bukanlah khalifah dalam pengertian syar’i,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (16/6/2022).

Kiai Shiddiq membenarkan wajib hukumnya setiap muslim mempunyai baiat di lehernya dan bahwa kalau seorang muslim tidak mempunyai baiat kepada khalifah mati, matinya adalah mati jahiliyah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. riwayat Imam Bukhari yang artinya:

“Barang siapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka matinya adalah mati jahiliyyah (yaitu mati dalam kondisi berdosa, bukan mati kafir).”

“Meski demikian, ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat syar’i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah, yaitu menerapkan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan, misalnya di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pidana ('uquubaat),  perdata (mu'amalat),  sosial, budaya, hubungan internasional, dan sebagainya,” ungkapnya.

Makna Syar’i

Mengutip dari Kitab Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, pada bab Al-Khalifah, halaman 49, karya  Imam Abdul Qadim Zallum, Kiai Shidiq menyampaikan pengetian khalifah secara syar’i.

“Al Khalîfatu huwalladzi yanûbu ‘anil ummah fi al-hukmi wa as-sulthan wa tanfîdzi ahkâm asy-syar’i” (Khalifah adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan / pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syara’),” ungkapnya.

Menurut Kiai Shiddiq, ini adalah definisi khalifah secara syar’i. Khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara’ di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya.

“Membaiat khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariah kepada masyarakat, hukumnya tidak sah menurut syara’ karena telah menyalahi nash-nash syara’ yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan syariah dalam segala bidang kehidupan,” simpulnya.

Sembarangan

Kiai Shidiq mengidentikkan pembaiatan tersebut dengan shalat yang hukumnya wajib atas setiap muslim. “Dalam Qur'an Surat Al-Muddatsir ayat 42 dijelaskan, kalau seorang muslim tidak mau shalat maka dia diancam oleh Allah SWT akan masuk neraka Saqar,” ungkapnya.

Tapi lanjutnya, ini tidak berarti seorang muslim boleh sholat secara sembarangan, misalnya sholat tanpa memenuhi syarat-syarat sahnya sholat, misalnya sholat tanpa menghadap kiblat, tanpa menutup aurat, tanpa wudhu, dan sebagainya.

“Ini adalah kekeliruan pertama, yakni melaksanakan hukum syara’ tanpa memperhatikan syarat-syaratnya. Kekeliruan kedua,  yang tak kalah fatalnya, adalah tidak membedakan antara mengangkat khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan khilafah (iqamatul khilafah),” ungkapnya.
 
Kedua hal ini berbeda, lanjut Kiai Shiddiq. Mengangkat khalifah tidak otomatis menegakkan sistem khilafah, yaitu ketika khilafahnya sendiri tidak ada, seperti kondisi sekarang  pasca runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924. “Tapi menegakkan Khilafah (iqamatul Khilafah) secara otomatis akan berimplikasi adanya keharusan pengangkatan khalifah (nashbul Khalifah),” terangnya.

“Nah, masalah yang dihadapi umat Islam setelah hancurnya negara Khilafah di Turki tahun 1924, justru adalah menegakkan khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekedar mengangkat khalifah (nashbul khalifah),” tandasnya.

Ia lalu menjelaskan  perbedaan antara   mengangkat khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan khilafah (iqamatul khilafah).

Ia mengutip pendapat  Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi Al-Islam, bahwa untuk mengangkat Khalifah (nashbul khalifah), wajib dipenuhi tujuh syarat yang melekat pada pribadi (person) khalifah, yaitu seorang khalifah itu wajib: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka (bukan budak), mampu.

Sedangkan untuk menegakkan Khilafah (iqamatul khilafah), lanjutnya, masih mengutip dari kitab yang sama, harus dipenuhi empat syarat.

Pertama, khalifah yang dibaiat wajib memenuhi ketujuh syarat baiat in’iqad, yaitu ketujuh syarat wajib yang telah disebutkan di atas.

Kedua, negeri (al-balad) tempat khalifah itu dibaiat wajib mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan). "Bukan di bawah kendali orang kafir atau negara kafir,” jelasnya.

Ketiga, keamanan (al-amaan) negeri itu berupa keamanan Islam, yakni keamanan negeri itu baik dalam negeri maupun luar negeri, sepenuhnya berada di tangan kaum muslimin.

Keempat, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syara’ di dalam negeri, dan wajib segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri.

“Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab yang kami sebut tadi, yakni Nizhamul Hukmi fi Al-Islam karya Syaikh Abdul Qadim Zallum,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 
 
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :