Tinta Media - Pilkada serentak kali ini akan dilaksanakan pada hari Rabu (14/02/2024). KPU Kabupaten Bandung telah mengajukan anggaran untuk Pilkada 2024 sebesar Rp183 miliar. Jumlah ini lebih mahal Rp20 miliar dari modal Pilkada 2020 lalu yang memakan anggaran sebesar Rp160 miliar.
Ketua KPU Kabupaten Bandung, Agus Baroya beralasan bahwa kenaikan itu diasumsikan untuk memenuhi kebutuhan alat kesehatan pada masa Covid-19. Sedangkan mayoritas dari total anggaran akan digunakan untuk pembayaran honorarium Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), mencakup 12 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 31 Kecamatan (liputan6.com).
Benarkah demikian? Mari kita telaah lebih lanjut, sejauh mana urgensi dari menaikan anggaran untuk Pilkada tersebut. Ini karena anggaran yang digunakan adalah uang rakyat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar saat mempergunakannya.
Harusnya dipikirkan, lebih penting mana antara anggaran untuk hegemoni Pilkada, atau untuk pemenuhan kebutuhan rakyat? Fakta menunjukkan bahwa bukan kali ini saja rakyat menelan pil pahit akan kebijakan dan langkah yang diambil oleh pemerintah.
Seharusnya, pemerintah mengeluarkan anggaran berdasarkan perhitungan yang jelas dan riil, tidak boleh hanya berdasarkan asumsi, apalagi asumsi tersebut dikaitkan dengan penyediaan alat kesehatan Covid 19.
Selain itu, harga mahal yang dianggarkan tidak berbanding lurus dengan hasil pelaksanaan pilkada, yaitu memunculkan pemimpin-pemimpin yang bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat secara nyata. Alih-alih menikmati, justru rakyat kerap menghirup udara penghianatan. Janji-janji manis kepada rakyat seakan menjadi komoditas tanpa ada realitas.
Sebagaimana kita tahu, akar masalah sebenarnya ada pada paradigma ideologi yang diterapkan suatu negara. Dengan mengadopsi ideologi kapitalis, asas-asas kebebasan (liberal) yang di dalamnya termasuk kebebasan akal dalam menetapkan hukum, telah melahirkan berbagai peraturan sesuai kehendak pemesan (kaum pemodal).
Demokrasi yang tegak di atas sistem kapitalis ini berasaskan sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini memarginalkan agama dalam pengelolaan negara, sehingga dimanfaatkan oleh penyelenggara negara yang lupa akan perintah Tuhannya, serta abai dalam mengurus rakyat.
Pilkada yang mahal tidak akan dijumpai dalam sistem politik Islam. Negara akan menerapkan syariat Islam sebagai landasan dalam menyelesaikan problematika kehidupan, termasuk dalam hal pemilihan kepala negara maupun kepala daerah. Dalam hal ini, syariat Islam tidak akan mengalami pemborosan anggaran.
Khalifah (kepala negara) akan memilih kader terbaik untuk mengurus rakyat di suatu wilayah. Sistem Islam menafikan pemilihan pemimpin sebatas pada pergiliran kekuasaan, apalagi hanya untuk kepentingan segelintir orang. Seorang pemimpin yang diamanahi akan senantiasa bertanggung jawab, karena hal ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Sabda Rasulullah SAW.
"Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga." ( HR. Al Bukhari dan Muslim ).
Inilah sistem Islam yang berlandaskan pada akidah Islam. Akidah Islam yang menjadi tolak ukur dalam perbuatan akan menafikan terjadinya kezaliman dan kemaksiatan. Negara yang diatur dengan syariat Islam secara menyeluruh, niscaya akan mewujudkan kepemimpinan yang adil dan tentu saja rakyatnya makmur. Sebab, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu alam bi shawab.
Oleh: Erlyn Lisnawati
Sahabat Tinta Media