Tinta Media - Hingga hari ini (Ahad, 11 Juni 2022) sejumlah media mainstream seperti kompas, masih terus menggoreng isu Khilafah ingin mengganti Pancasila dalam memframing penangkapan sejumlah anggota dan pimpinan Ormas Khilafatul Muslimin. Pada pukul 09.30 lalu, kompas menerbitkan artikel berita berjudul : Khilafatul Muslimin, Kelompok yang Diduga Sebar Ideologi Khilafah untuk Gantikan Pancasila.
Kepolisian juga memaksa memasukan ketentuan pasal 82 A Jo pasal 59 UU No 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, untuk mengaitkan ajaran Islam Khilafah dengan narasi ingin mengganti ideologi Pancasila. Dengan penalaran analogi, memalui tafsir 'paham lain', Khilafah dipaksakan disejajarkan dengan ideologi Komunisme, Marxisme-Leninisme yang memang secara tegas telah dilarang berdasarkan TAP MPRS No XXV/1966.
Namun sebenarnya, apakah benar Khilafah akan mengganti ideologi Pancasila ? Secara faktual, realitasnya negara ini apakah menerapkan ideologi Pancasila ?
Khilafah adalah ajaran Islam. Menyebut Khilafah sebagai ideologi saja sudah salah kaprah, apalagi mau mengganti Pancasila.
Khilafah adalah kewajiban umat Islam, telah ada jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia dan Pancasila. Yakni sejak Era Kekhalifahan Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA, Ali RA dan para Khalifah terdahulu. Aneh, jika Khilafah yang sudah dulu ada mau mengganti Pancasila yang baru belakangan ada.
Yang namanya mengganti itu yang baru datang mengganti yang lama, bukan sebaliknya. Apalagi Khilafah adalah ajaran Islam, berasal dari Wahyu, tidak seperti Pancasila, Komunisme, Marxisme-Leninisme yang hanya produk akal manusia.
Lagipula, saat ini Pancasila telah diganti dengan ideologi Kapitalisme liberal. Tengok saja, mayoritas kekayaan alam dan tambang dikuasai perusahaan multi nasional yang kapitalistik.
Tengok saja Perusahaan seperti Unilever. Unilever merupakan merek perusahaan dari Belanda yang telah hadir di lebih dari 100 negara. Kemudian HM Sampoerna, Astra International, Google, Marriott International, Maybank, MedcoEnergi, mereka semua perusahaan raksasa kapitalis. Dalam mengelola bisnis, mereka tidak pernah pakai Pancasila. Mereka menerapkan sistem ekonomi liberal, khas ideologi kapitalisme.
Perusahaan-perusahaan tambang seperti PT Freeport (AS), PT Chevron Pacific (AS), PT Newmont (Colorado), PetroChina, ConocoPhillips (AS), BP (Inggris), Niko Resources (India), semuanya menguasai sumber daya alam indonesia. Mereka semua tidak pakai pancasila. Dalam mengelola bisnis, mereka tidak pernah pakai Pancasila. Mereka menerapkan sistem ekonomi liberal, khas ideologi kapitalisme.
Belum lagi kapitalisme domestik yang juga rakus. Ada Toba Group, perusahaan milik taipan 9 Naga, dan sejumlah oligarki domestik lainnya. Dalam mengelola bisnis, mereka juga tidak pernah pakai Pancasila. Mereka menerapkan sistem ekonomi liberal, khas ideologi kapitalisme.
Lalu, dimana Pancasila? Kenapa perusahaan-perusahaan asing dan kaitalisme domestik yang telah menjajah dan menerapkan ideologi Kapitalisme di negeri ini tidak pernah dipersoalkan? Kenapa hanya ajaran Islam Khilafah yang dipersoalkan.
Yang telah mengganti Pancasila adalah penguasa, rezim ini, yang membebaskan perusahaan kapitalisme global menguasai kekayaan alam negeri ini, yang semestinya berdasarkan amanat konstitusi harus dikelola negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
[Pasal 33 ayat (3) UUD 1945]
Saat ini, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh asing, para kapitalis, oligarki, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Luhut Binsar Panjaitan, Kelompok 9 Naga, Kapitalis Amerika, China, Inggris, India, Colorado, dan lain lain. Mereka inilah yang mengangkangi kekayaan alam, mengganti pancasila dengan prinsip ekonomi kapitalis untuk kemakmuran mereka.
Lalu, kenapa yang disalahkan ajaran Islam Khilafah ? Kenapa Ajaran Islam Khilafah yang dikejar-kejar? [].
Follow Us Ahmad Khozinudin Channel
https://heylink.me/AK_Channel/
Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik