Tinta Media - “Islam tidak hanya mengatur aspek-aspek ritual tetapi juga seluruh kehidupan muslim termasuk atas hukum kejahatan-kejatahan yang dilakukan seorang muslim atas orang lain,” tutur narator dalam Sumbangan Perabadan Islam, Cara Membunuh Pelaku Pembunuhan dalam Islam, dalam kanal youtube Muslimah Media Center (MMC), Sabtu (11/6/2022).
Narator menuturkan, pembunuhan merupakan salah satu tindak kriminal yang berat hukumannya yaitu berlaku dibunuh. Pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan alat apapun yang mempermudah prosesi pembunuhan, pembuhanan menggunakan pedang bukanlah syarat. Dengan demikian boleh dibunuh dengan pedang, atau didanti dengan tali, atau dilempar ke dalam api atau dengan cara yang lain.
“Tidak ada syarat lain kecuali satu syarat saja, yakni, ihsan al qathlu, yakni melakukan pembunuhan dengan cara paling baik sehingga mempermudah kepada kematian,” paparnya.
Adapun prosesi pembunuhan yang paling afdhal (baik), tutur narator, tidak dilakukan dengan tergesa-gesa tetapi ditunda sampai beberapa waktu yang memungkinkan terjadi pemaafan dari wali atas pihak yang terbunuh. "Sebab mereka diberi pilihan antara membunuh, meminta diyat atau memaafkan. Oleh karena itu, mereka diberi waktu untuk memilih dalam masalah ini bahkan syara juga mendorong agar wali memberikan pengampunan," ujarnya.
“Adapun orang-orang yang berhak memilih antara menuntut hukuman pembunuhan mengambil diyat atau memberikan pemaafan adalah ahli waris dari pihak terbunuh, baik laki-laki maupun perempuan,” jelasnya.
"Hubungan kekerabatan dan nasab menjadikan hak qishash menjadi milik mereka semua bukan milik Aqilah (orang yang meminta diyat), sebab pembunuhan sengaja telah menghijab dia dan harta pembunuh, akan tetapi tidak atas harta Aqilah, juga disebabkan diyat pihak terbunuh adalah milik ahli warisnya bukan bagi Aqilah," bebernya.
Oleh karena itu, kata narator, pemaafan adalah hak ahli warisnya dan jika seorang di antara mereka memberikan pemaafan maka gugurlah qishash. “Demikianlah tata cara pembunuhan dalam islam. Pelaksanaan ini pernah diberlakukan mulai dari negara islam pertama di Madinah hingga kekhalifahan terakhir di Turki,” tegasnya.
Sungguh mulianya Islam, tutur narator, menghukum pembunuh dengan cara yang paling baik sehingga mempermudah kepada kematian. Berbeda dengan pelaksanaan hukuman mati di berbagai wilayah dengan sangat kejam, seperti hukuman roda maut yang diterapkan di abad pertengahan hingga abad 19 di Eropa. Caranya terpidana akan diikat di atas roda yang diputar pelan-pelan kemudian algojo akan memukul tubuhnya berkali-kali hingga menghancurkan tulang-tulanngnya. Terdapat pula menghukum terpidana mati dengan cara dikuliti perlahan-lahan yang dikenal dengan sebunta Ling Chi di Cina sekitar 900-1905 M, selain itu hukuman mati di Eropa dan Asia dengan direbus, dijadikan santapan hewan buas, digergaji, dst.
“Sistem sanksi islam ini hanya dapat diterapkan secara maksimal dan mampu memberikan efek jera serta jaminan pengampunan serta kehidupan di dunia dan akhirat ketika seluruh sistem diatur dengan islam secara kaffah, di mana baik sistem ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kesehatan, politik dalam negeri maupun luar negeri menggunakan sistem islam dalam naungan daulah khilafah,” pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin
Narator menuturkan, pembunuhan merupakan salah satu tindak kriminal yang berat hukumannya yaitu berlaku dibunuh. Pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan alat apapun yang mempermudah prosesi pembunuhan, pembuhanan menggunakan pedang bukanlah syarat. Dengan demikian boleh dibunuh dengan pedang, atau didanti dengan tali, atau dilempar ke dalam api atau dengan cara yang lain.
“Tidak ada syarat lain kecuali satu syarat saja, yakni, ihsan al qathlu, yakni melakukan pembunuhan dengan cara paling baik sehingga mempermudah kepada kematian,” paparnya.
Adapun prosesi pembunuhan yang paling afdhal (baik), tutur narator, tidak dilakukan dengan tergesa-gesa tetapi ditunda sampai beberapa waktu yang memungkinkan terjadi pemaafan dari wali atas pihak yang terbunuh. "Sebab mereka diberi pilihan antara membunuh, meminta diyat atau memaafkan. Oleh karena itu, mereka diberi waktu untuk memilih dalam masalah ini bahkan syara juga mendorong agar wali memberikan pengampunan," ujarnya.
“Adapun orang-orang yang berhak memilih antara menuntut hukuman pembunuhan mengambil diyat atau memberikan pemaafan adalah ahli waris dari pihak terbunuh, baik laki-laki maupun perempuan,” jelasnya.
"Hubungan kekerabatan dan nasab menjadikan hak qishash menjadi milik mereka semua bukan milik Aqilah (orang yang meminta diyat), sebab pembunuhan sengaja telah menghijab dia dan harta pembunuh, akan tetapi tidak atas harta Aqilah, juga disebabkan diyat pihak terbunuh adalah milik ahli warisnya bukan bagi Aqilah," bebernya.
Oleh karena itu, kata narator, pemaafan adalah hak ahli warisnya dan jika seorang di antara mereka memberikan pemaafan maka gugurlah qishash. “Demikianlah tata cara pembunuhan dalam islam. Pelaksanaan ini pernah diberlakukan mulai dari negara islam pertama di Madinah hingga kekhalifahan terakhir di Turki,” tegasnya.
Sungguh mulianya Islam, tutur narator, menghukum pembunuh dengan cara yang paling baik sehingga mempermudah kepada kematian. Berbeda dengan pelaksanaan hukuman mati di berbagai wilayah dengan sangat kejam, seperti hukuman roda maut yang diterapkan di abad pertengahan hingga abad 19 di Eropa. Caranya terpidana akan diikat di atas roda yang diputar pelan-pelan kemudian algojo akan memukul tubuhnya berkali-kali hingga menghancurkan tulang-tulanngnya. Terdapat pula menghukum terpidana mati dengan cara dikuliti perlahan-lahan yang dikenal dengan sebunta Ling Chi di Cina sekitar 900-1905 M, selain itu hukuman mati di Eropa dan Asia dengan direbus, dijadikan santapan hewan buas, digergaji, dst.
“Sistem sanksi islam ini hanya dapat diterapkan secara maksimal dan mampu memberikan efek jera serta jaminan pengampunan serta kehidupan di dunia dan akhirat ketika seluruh sistem diatur dengan islam secara kaffah, di mana baik sistem ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kesehatan, politik dalam negeri maupun luar negeri menggunakan sistem islam dalam naungan daulah khilafah,” pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin