Tinta Media - Ekonom Konstitusi Dr. Defiyan Cori menegaskan, ketidakmampuan merumuskan turunan dari perintah konstitusi penyebab problem terbesar bangsa ini.
“Saya melihat bahwa problem terbesar bangsa kita adalah ketidakmampuan merumuskan turunan dari perintah konstitusi kita,” tuturnya dalam Rubrik Catatan Peradaban: Beban Rakyat Makin Berat, Kamis (2/6/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.
Menurutnya, di dalam konteks politik secara total meniru pelaksanaan demokrasi liberal dengan pilihan langsungnya. Kemudian masyarakat tidak siap dan berbiaya besar. Akhirnya pemilihan dipenuhi janji-janji yang diiringi euforia atau kekuatan emosional.
“Sehingga kita bisa lihat, kontestasi pilkada mau pun pemilihan presiden (pilpres) itu dipenuhi janji-janji muluk kepada para konstituen atau masyarakat calon pemilih, dan di sisi yang lain janji-janji itu diiringi dengan euforia atau kekuatan emosional, yang ditawarkan kepada publik dengan membawa isu sara yang sebenarnya di luar konteks di dalam perspektif pembangunan ekonomi bangsa kita ke depan. Pembangunan nasional yang dirumuskan berbasis program,” urainya.
Ia menyatakan bahwa tidak ada satu pun berdasarkan data dan permasalahan yang ada. Karena konsepsi yang ditawarkan itu tidak klop dengan kemampuan menganalisis. Jadi pendidikan politik menjadi penting ketika berbicara tentang sistem. Politik demokrasi atau pengejawantahan demokrasi Pancasila.
“Kenapa tidak bisa dilakukan itu? Karena konsepsi yang ditawarkan itu tidak klop dengan kemampuan menganalisisnya. Disebabkan konseption kita adalah tamatan SE (Sarjana Ekonomi) terbesar,” ujarnya.
Dengan demikian, ia menegaskan kemudian ini menjadi isu sentral reformasi, mengembalikan kedaulatan rakyat tetapi dengan cara sangat drastis. “Mengubah total fondasi sistem politik dan demokrasi kita, berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dengan sistem ekonominya,” tegasnya.
“Kemudian membuka selebar-lebarnya pintu kreativitas individu sementara di sisi yang lain akses stabilitas kepada masyarakat yang banyak itu tidak dimungkinkan karena sebagian besar adalah sangat elitis. Kemudian transaksional ini poin pertama yang penting kita garis bawahi,” tuturnya.
Acuan dalam membahas beban masyarakat di dalam konteks data yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan apakah beban, terbebani, atau tanda petik makin berat. Ia melihatnya persoalannya bukan beban tetapi dibebani. “Tetapi persoalannya sekarang bukan beban tapi dibebani permainan bisnis Covid-19 yang menunjukkan bahwa tujuan pemerintah sejak awal meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menggerakkan ekonomi dengan pembatasan yang dilakukan di dalam kegiatan masyarakat secara terbatas karena isu pandemi Covid-19,” katanya.
Segala hal yang berkaitan dengan Covid-19 itu menjadi isu sentral untuk melakukan persyaratan administrasi dalam segala aktivitas masyarakat. Baginya itu tidak masuk akal sama sekali atau irasional.
“Mencoba untuk memutar pendulum logika masyarakat kita terhadap sebuah pandemi virus yang menghilangkan akal sehat yang secara kasat mata, secara logika bisa ditalar bahwa kalau hanya virus dan kemudian menutup mulut dan hidung, memangnya virus tidak bisa masuk lewat mata, telinga, hidung, dan jari-jari. Inilah pembodohan yang dilakukan dan ketidaksinkronan antara keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Ia menilai perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo tahun 2014-2021 memperlihatkan bahwa memang terjadi pengurangan angka kemiskinan berdasarkan data yang dikeluarkan BPS. Tetapi di sisi lain terjadi peningkatan pengangguran yang trade off nya sama.
“Bahwa memang terjadi pengurangan angka kemiskinan berdasarkan data BPS, ketika awal memerintah angka kemiskinan saat itu sekitar 28,60 juta orang pada saat itu per September 2014. BPS merilis angka kemiskinan per September 2021 sebesar 26,50 juta orang. Ada penurunan sekitar 2,1 juta penduduk miskin,” ucapnya.
“Namun di sisi lain terjadi peningkatan pengangguran yang trade off nya sama, tahun 2014 jumlah pengangguran 7,24 juta orang dan pada Agustus 2021 menjadi 9,10 juta orang. Adanya trade off terhadap adanya pengurangan jumlah kemiskinan tetapi meningkatkan jumlah pengangguran,” bebernya.
Hal ini artinya janji penciptaan lapangan kerja sudah tidak bisa dipenuhi oleh Presiden Joko Widodo.
“Artinya janji untuk menciptakan lapangan kerja pun sudah tidak bisa dipenuhi oleh Presiden Joko Widodo oleh karena kebijakan yang ambivalen terhadap jalannya perekonomian bangsa nasional kita,” tuturnya.
Ia mengakhiri dengan mengutarakan penyebabnya yaitu sistem politik dan sistem ekonomi yang tidak memberikan landasan yang kuat.
“Penyebabnya karena sistem politik dan sistem ekonomi kita yang tidak memberikan landasan yang kuat untuk terjadinya alokasi dan distribusi pendapatan yang cukup menguatkan terjadinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
“Saya melihat bahwa problem terbesar bangsa kita adalah ketidakmampuan merumuskan turunan dari perintah konstitusi kita,” tuturnya dalam Rubrik Catatan Peradaban: Beban Rakyat Makin Berat, Kamis (2/6/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.
Menurutnya, di dalam konteks politik secara total meniru pelaksanaan demokrasi liberal dengan pilihan langsungnya. Kemudian masyarakat tidak siap dan berbiaya besar. Akhirnya pemilihan dipenuhi janji-janji yang diiringi euforia atau kekuatan emosional.
“Sehingga kita bisa lihat, kontestasi pilkada mau pun pemilihan presiden (pilpres) itu dipenuhi janji-janji muluk kepada para konstituen atau masyarakat calon pemilih, dan di sisi yang lain janji-janji itu diiringi dengan euforia atau kekuatan emosional, yang ditawarkan kepada publik dengan membawa isu sara yang sebenarnya di luar konteks di dalam perspektif pembangunan ekonomi bangsa kita ke depan. Pembangunan nasional yang dirumuskan berbasis program,” urainya.
Ia menyatakan bahwa tidak ada satu pun berdasarkan data dan permasalahan yang ada. Karena konsepsi yang ditawarkan itu tidak klop dengan kemampuan menganalisis. Jadi pendidikan politik menjadi penting ketika berbicara tentang sistem. Politik demokrasi atau pengejawantahan demokrasi Pancasila.
“Kenapa tidak bisa dilakukan itu? Karena konsepsi yang ditawarkan itu tidak klop dengan kemampuan menganalisisnya. Disebabkan konseption kita adalah tamatan SE (Sarjana Ekonomi) terbesar,” ujarnya.
Dengan demikian, ia menegaskan kemudian ini menjadi isu sentral reformasi, mengembalikan kedaulatan rakyat tetapi dengan cara sangat drastis. “Mengubah total fondasi sistem politik dan demokrasi kita, berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dengan sistem ekonominya,” tegasnya.
“Kemudian membuka selebar-lebarnya pintu kreativitas individu sementara di sisi yang lain akses stabilitas kepada masyarakat yang banyak itu tidak dimungkinkan karena sebagian besar adalah sangat elitis. Kemudian transaksional ini poin pertama yang penting kita garis bawahi,” tuturnya.
Acuan dalam membahas beban masyarakat di dalam konteks data yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan apakah beban, terbebani, atau tanda petik makin berat. Ia melihatnya persoalannya bukan beban tetapi dibebani. “Tetapi persoalannya sekarang bukan beban tapi dibebani permainan bisnis Covid-19 yang menunjukkan bahwa tujuan pemerintah sejak awal meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menggerakkan ekonomi dengan pembatasan yang dilakukan di dalam kegiatan masyarakat secara terbatas karena isu pandemi Covid-19,” katanya.
Segala hal yang berkaitan dengan Covid-19 itu menjadi isu sentral untuk melakukan persyaratan administrasi dalam segala aktivitas masyarakat. Baginya itu tidak masuk akal sama sekali atau irasional.
“Mencoba untuk memutar pendulum logika masyarakat kita terhadap sebuah pandemi virus yang menghilangkan akal sehat yang secara kasat mata, secara logika bisa ditalar bahwa kalau hanya virus dan kemudian menutup mulut dan hidung, memangnya virus tidak bisa masuk lewat mata, telinga, hidung, dan jari-jari. Inilah pembodohan yang dilakukan dan ketidaksinkronan antara keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
Ia menilai perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo tahun 2014-2021 memperlihatkan bahwa memang terjadi pengurangan angka kemiskinan berdasarkan data yang dikeluarkan BPS. Tetapi di sisi lain terjadi peningkatan pengangguran yang trade off nya sama.
“Bahwa memang terjadi pengurangan angka kemiskinan berdasarkan data BPS, ketika awal memerintah angka kemiskinan saat itu sekitar 28,60 juta orang pada saat itu per September 2014. BPS merilis angka kemiskinan per September 2021 sebesar 26,50 juta orang. Ada penurunan sekitar 2,1 juta penduduk miskin,” ucapnya.
“Namun di sisi lain terjadi peningkatan pengangguran yang trade off nya sama, tahun 2014 jumlah pengangguran 7,24 juta orang dan pada Agustus 2021 menjadi 9,10 juta orang. Adanya trade off terhadap adanya pengurangan jumlah kemiskinan tetapi meningkatkan jumlah pengangguran,” bebernya.
Hal ini artinya janji penciptaan lapangan kerja sudah tidak bisa dipenuhi oleh Presiden Joko Widodo.
“Artinya janji untuk menciptakan lapangan kerja pun sudah tidak bisa dipenuhi oleh Presiden Joko Widodo oleh karena kebijakan yang ambivalen terhadap jalannya perekonomian bangsa nasional kita,” tuturnya.
Ia mengakhiri dengan mengutarakan penyebabnya yaitu sistem politik dan sistem ekonomi yang tidak memberikan landasan yang kuat.
“Penyebabnya karena sistem politik dan sistem ekonomi kita yang tidak memberikan landasan yang kuat untuk terjadinya alokasi dan distribusi pendapatan yang cukup menguatkan terjadinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya. [] Ageng Kartika