Inilah Cara Khilafah Membersihkan Perusahaan Publik dan Negara dari Partai Pejabat dan Orang-Orang Korup - Tinta Media

Sabtu, 25 Juni 2022

Inilah Cara Khilafah Membersihkan Perusahaan Publik dan Negara dari Partai Pejabat dan Orang-Orang Korup


Tinta Media - Narator Muslimah Media Center menjelaskan cara Khilafah membersihkan perusahaan publik dan negara dari partai pejabat dan orang-orang korup.

“Inilah cara Khilafah membersihkan perusahaan publik dan negara dari partai pejabat dan orang-orang korup,” tuturnya dalam All About Khilafah: Privatisasi Aset Publik dan Negara, Adakah dalam Khilafah? Jumat (17/6/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Narator menyampaikan sebuah hadis Nabi SAW yang menyatakan, “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum tanpa kerelaannya maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya yang telah dikeluarkannya,” hadits riwayat al-bukhari dan Abu Daud.

Menurutnya, meski konteks hadis ini terkait dengan pemanfaatan tanah tanpa izin atau tidak mendapatkan kerelaan pemiliknya, tetapi hadis yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. “Termasuk kasus yang telah disebutkan (membersihkan perusahaan publik dan negara dari partai pejabat dan orang-orang korup) maka dengan cara seperti ini,” paparnya.

Narator menjelaskan bahwa seluruh aset umat akan bisa dikembalikan kepada pemiliknya baik kepada negara maupun kepada publik. “Dengan alasan yang sama, apa yang telah mereka ambil dari keuntungan perusahaan tersebut juga bisa diambil kembali karena bukan merupakan milik mereka,” jelasnya.

Ia menyampaikan bahwa privatisasi aset publik di negara ini hukumnya haram. “Karena kepemilikan terhadap masing-masing aset ini telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, yaitu kepemilikan umum sebagai hak publik dan kepemilikan negara sebagai hak negara,” tuturnya.

Narator juga menjelaskan bahwa kepemilikan ini tidak boleh diubah kecuali dengan izin yang diberikan oleh hukum syara. “Selain itu keharaman privatisasi ini juga datang dari aspek bahwa penguasaan asing terhadap aset ekonomi suatu negeri,” jelasnya.

Selain itu, menurutnya keharaman privatisasi ini juga datang dari aspek bahwa penguasaan asing terhadap aset ekonomi suatu Negeri, khususnya Negeri muslim bertujuan untuk mengokohkan penguasaan mereka terhadap Negeri tersebut. “Ini sama dengan membuka pintu bagi kaum kafir untuk menguasai kaum muslim,” tegasnya.

Ini jelas haram, dalilnya terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 141. “Di dalam negara Khilafah kepemilikan publik dan negara yang terlanjur di privatisasi akan di normalisasi. Karena seluruh bentuk kebijakan seperti ini, begitu Khilafah berdiri akan dinyatakan batal demi hukum. Meski kebijakan ini melibatkan individu atau negara lain, karena kebijakan ini telah jelas melanggar hukum syarak,” paparnya.

“Selain itu syarat-syarat yang ditetapkan dalam berbagai perjanjian ini merupakan syarat-syarat yang menyalahi hukum Islam. Dalam hal ini dengan tegas Nabi Saw bersabda: ‘Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat yang tidak ada dalam kitabullah. Tiap syarat yang tidak ada di dalam kitabullah, maka menjadi batal. Meski berisi 100 syarat. Keputusan Allah lebih hak, dan syarat dari Allah lebih kuat.’ Dengan dibatalkannya kebijakan privatisasi ini, maka konsekuensinya perusahaan publik atau negara yang dikuasai oleh individu akan didata ulang oleh Khilafah berdasarkan hukum syarak,” paparnya lebih lanjut.

Narator menuturkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak harus dibubarkan, tetapi cukup diubah akadnya dengan demikian statusnya pun pasti berubah dari milik privat menjadi milik publik dan negara. Selain bentuknya menggunakan perseroan saham atau PT terbuka yang jelas diharapkan, dan harus diubah juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing individu yang berhak.

“Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram,” tuturnya.

Menurutnya, status harta tersebut bukanlah hak milik mereka karena bukan merupakan hak milik mereka. Maka harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya ketika perusahaan privat tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara. Maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara bukan privat.

“Dengan begitu individu-individu pemilik saham sebelumnya setelah dibatalkan tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya,” ucapnya.

“Dengan dinormalkannya kembali perusahaan publik dan negara berdasarkan hukum Islam maka negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak dalam mengelolanya. Dalam hal ini negara bisa mengkaji apakah bisa langsung running atau tidak bergantung tingkat kepentingan perusahaan tersebut. Jika menyangkut layanan publik tentu sangat penting sehingga tidak boleh berhenti,” lanjutnya.

Narator memberi contoh seperti PLN, telkom, pam, tol dan lain-lain. Jika dengan pengembalian saham milik privat tadi menyebabkan perusahaan tidak berjalan, maka Khilafah boleh saja untuk sementara tidak mengembalikan saham tersebut. Tentu dengan kerelaan dari pemiliknya, namun jika bisa dan terpaksa maka Khilafah bisa menyuntikkan dana dari sumber lain, begitu seterusnya. “Hingga kepentingan publik ini tidak terganggu,” ungkapnya.

“Jika sebelumnya perusahaan ini untung, sebagaimana kasus Indosat, Freeport dan lain-lain maka keuntungannya bisa diparkir pada pos haram karena ini merupakan keuntungan dari peta terbuka yang statusnya haram,” tambahnya.

Menurutnya, selain itu juga keuntungan yang didapatkan oleh individu dari harta milik publik dan negara setelah itu keuntungan yang haram ini pun menjadi halal di tangan khilafah dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya. “Sudah menjadi rahasia umum perusahaan publik dan negara ini juga menjadi sapi perah bagi partai, Penguasa dan antek-anteknya,” paparnya.

Narator mengungkapkan bahwa mereka saat ini banyak yang duduk sebagai komisaris dan direksi. Maka dengan dinormalkannya perusahaan tersebut mengikuti hukum syara jabatan komisaris dan direksi seperti saat ini tidak ada lagi. “Dengan begitu mereka semua Akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan publik dan negara tersebut,” ungkapnya.

Menurut narator, Khilafah bisa menelusuri aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi partai atau penguasa sebelumnya. “Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka terlebih menyangkut publik dan negara bisa diusut dan dituntut,” pungkasnya.[] Raras
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :