Guru Besar ITS: Pengkhianatan Atas Kesepakatan Agung dalam Piagam Jakarta Terus Terjadi - Tinta Media

Rabu, 22 Juni 2022

Guru Besar ITS: Pengkhianatan Atas Kesepakatan Agung dalam Piagam Jakarta Terus Terjadi


Tinta Media - Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA, mengungkapkan bahwa  pengkhianatan atas kesepakatan agung dalam Piagam Jakarta terus terjadi.

"Pengkhianatan atas kesepakatan para pendiri bangsa dari berbagai golongan dan daerah dalam Piagam Jakarta terus terjadi," tuturnya kepada Tinta media, Senin (20/6/2022).

Rosyid melanjutkan, Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang sesungguhnya masih berlaku hingga saat ini dengan berbagai cara diabaikan begitu saja oleh para elite penguasa, bahkan dengan secara terbuka menjadikan agama sebagai musuh terbesar Pancasila. Oleh Prof. Kaelan UGM dikatakan bahwa elite penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila.

"Amandemen ugal-ugalan atas UUD 1945 sebagai kudeta konstitusi adalah pengkhianatan atas kesepakatan langit para pendiri bangsa ini. Pengkhianatan itu kini berbuah deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang berpuncak pada pemusatan sumberdaya politik pada segelintir elite partai politik dan sumberdaya ekonomi pada segelintir taipan. Berbagai maladministrasi publik terjadi, termasuk dengan memanfaatkan situasi pandemi, sehingga lahir berbagai regulasi yang hanya menguntungkan oligarki politik dan ekonomi tersebut. Gejala negara gagal yg kini menguat merupakan puncak sikap _kufur nikmat_ yang dipertontonkan oleh para elite yang kemudian ditiru secara masif oleh masyarakat luas," jelasnya.

Sementara itu, katanya, kekuatan-kekuatan masyarakat madani dan daerah-daerah otonom terus melemah, bahkan banyak kampus kini dengan suka cita menjadi bagian dari pembusukan demokrasi, pelemahan gerakan anti-korupsi, dan proses desentralisasi. Agenda reformasi kini berbalik arah menuju ORLA yang jauh lebih buruk. Melawan arus balik ini, kekuatan moral mahasiswa harus segera dimulai dengan membangkitkan kembali daya kritis mahasiswa di internal kampus, bukan hanya dengan demonstrasi di jalan-jalan di luar kampus.

"Template kehidupan dangkal pada banyak mahasiswa semacam lulus tepat waktu, meraih predikat cum laude lalu bekerja di BUMN dan MNC atau menjadi Youtubers telah melemahkan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Sebagian besar koruptor adalah alumni perguruan tinggi terkenal dengan kualifikasi magister," ungkapnya.

Setelah berhasil mengubur Pancasila, lanjutnya, di bawah kaki mereka sendiri, kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal terus menerus menuduh Islam sebagai musuh Pancasila, intoleran, bahkan anti-NKRI. Sambil terus mempropagandakan agenda sekulerisasi mereka, yang terakhir soal LGBT, kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal ini menabuh genderang islamophobia sehingga umat Islam semakin terbungkam untuk mengartikulasikan kepentingan politik Islam secara bebas dan terbuka.

"Tuduhan politik identitas bahkan telah disematkan oleh elite parpol berkuasa untuk mematikan politik Islam sebagai imajinasi politik baru. Model pengelolaan  pemerintahan Islam alternatif perlu diwacanakan secara akademik dan lebih luas, agar menjadi opsi yang wajar saat negara terjebak  hutang yang makin menggunung, kesenjangan sosial yang meluas, ketimpangan ekonomi yang memburuk, serta kedaulatan negara yang menghilang. Dinamika global dan regional telah menyeret Republik ini menjadi hanya sekedar negeri satelit Amerika atau China," bebernya.

Ia pun berpendapat, rangkaian Pemilu yang dibanggakan sebagai praktek demokrasi terbesar keempat di dunia, bahkan Islam terbukti compatible dengan demokrasi telah mengalami devolusi.  Pemilu makin terbukti hanya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan para elite politik yang disokong para taipan, bukan sebagai platform rekrutmen pejabat publik yang dapat dipercaya untuk bekerja bagi kepentingan publik. Dengan ongkos yang makin mahal, Pemilu telah dijadikan instrumen net transfer hak-hak politik rakyat pada partai-partai politik yang kemudian hampir secara sengaja tidak disalurkan ke Parlemen untuk diperjuangkan bagi kepentingan publik. Tanpa Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipercaya, prosedur pemungutan dan rekapitulasi yang rumit dan rentan manipulasi, sering terjadi praktek jual beli suara siluman antara peserta Pemilu dengan oknum penyelenggara Pemilu. Pemilu langsung pejabat publik terutama Presiden di negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa ini adalah sebuah praktek demokrasi yang paling muskil, di seantero planet ini.

"Perbaikan kualitas data pemilih, dan perubahan sistem pemilu adalah agenda yang perlu segera disiapkan agar hemat anggaran sekaligus efektif untuk merekrut pejabat publik yang kompeten sebagai pelayan publik," ujarnya.

Ia menegaskan, Piagam Jakarta menunjukkan bahwa Umat Islam adalah pemilik sah Republik ini, yang bersama unsur-unsur bangsa yang lain harus bekerjasama untuk menyelamatkan dan membela NKRI dari proxy and neo-cortex war kekuatan-kekuatan nekolimik. Sumberdaya spiritual dan kultural pesantren perlu diperkuat, justru pada saat sistem pendidikan nasional makin dimonopoli secara radikal oleh sistem persekolahan massal paksa, yang dikerdilkan menjadi sekedar instrumen teknokratik penyediaan buruh trampil murah, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka.

"Berbagai upaya untuk menyekolahkan pesantren perlu diwaspadai karena akan mengancam kemandirian pesantren sebagai benteng terakhir simpul-simpul sumberdaya spiritual dan kultural umat Islam," pungkasnya.[] Willy Waliah
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :