Tinta Media - Setelah beberapa tahun terakhir pelaksanaan ibadah haji ditutup untuk jemaah luar negeri karena pandemi, tahun 2021 kemarin sudah mulai dibuka kembali dengan pembatasan kuota. Indonesia sendiri baru mendapatkan kuota keberangkatan tahun 2022 ini, walaupun dengan jumlah kuota yang lebih sedikit dibandingkan sebelum pandemi, yaitu 100.051.
Namun, sejumlah 17ribu calon jemaah haji mengalami masalah administrasi dalam proses persyaratan pemberangkatan haji dan terancam gagal berangkat. Salah satu permasalahannya yaitu terkait vaksinasi Covid-19. Calon jemaah haji yang akan berangkat harus sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 secara lengkap.
Hal ini dikarenakan terdapat tiga syarat perjalanan haji yang sudah ditentukan oleh pemerintah Arab Saudi, yaitu syarat vaksinasi Covid-19 minimal vaksin lengkap, PCR 72 jam sebelum keberangkatan, dan syarat maksimal umur di bawah 65 tahun (haji.okezone.com, 19/05/2022).
Terancam gagalnya keberangkatan haji dari sejumlah calon jemaah disebabkan karena tidak adanya antisipasi lebih awal dari pemerintah, seperti masih banyaknya calon jemaah haji yang belum mendapatkan vaksinasi lengkap.
Seharusnya jauh-jauh hari sudah disiapkan dan melakukan imbauan ketat kepada calon jamaah haji. Hal ini karena walaupun ibadah haji sudah dibuka, tetapi pandemi belum bisa dinyatakan berakhir.
Karena itu, harus ada upaya semaksimal mungkin untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan. Selain itu, pemerintah harusnya juga melakukan negoisasi kepada pemerintah Arab Saudi terkait batas umur maksimal calon jemaah haji.
Fakta yang ada saat ini, antrean pemberangkatan ibadah haji di Indonesia semakin lama semakin panjang, bisa sampai puluhan tahun. Apabila tidak ada antisipasi lebih awal dari pemerintah Indonesia, bagaimana nasib calon jemaah haji ke depannya? Setiap tahun permasalahan terkait haji tidak ada habisnya. Namun, tindakan yang berarti dan menenangkan calon jemaah belum terpenuhi.
Pada faktanya, dalam sistem pemerintahan kapitalis saat ini, fokus pemerintah bukanlah melayani masyarakat sebaik mungkin, tetapi lebih mengutamakan aspek keuntungan. Karena itu, menyelesaikan permasalahan haji ini tidak akan menjadi fokus utama. Tak hanya masalah haji, masalah yang lainnya pun sama.
Padahal, ibadah haji bukanlah hal yang remeh. Ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu melaksanakannya. Ibadah ini terdapat dalam rukun Islam. Karena itu, sudah seyogyanya pemerintah menyediakan fasilitas dan pelayanan yang maksimal, baik dari segi pendanaan, kebijakan, ataupun yang lainnya. Hal ini karena pada dasarnya pemerintah merupakan pengurus/pelayan umat.
“Dan terdapat tanda-tanda yang jelas (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Al Imran ayat 97)
Dikutip dari Buletin Dakwah Kaffah edisi 196, ada beberapa langkah yang dilakukan dalam melayani jamaah haji, yaitu:
Pertama, menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya.
Kedua, apabila harus menetapkan ONH (Ongkos Naik Haji), maka nilainya harus disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan dari wilayahnya ke tanah haram. Penentuannya bukan berdasarkan paradigma bisnis, yaitu untung dan rugi, melainkan sebagai pelayan umat.
Ketiga, pengaturan kuota haji dan umroh dengan memperhatikan kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Dengan begitu, antrean panjang haji bisa benar-benar dipangkas.
Keempat, menghapus visa haji dan umroh. Pada dasarnya, kaum muslimin berada dalam satu wilayah kesatuan. Karena itu, menunjukkan kartu identitas dan paspor sudah cukup.
Kelima, membangun sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, dan kenyamanan jemaah haji. Dengan begitu, faktor-faktor teknis yang mengganggu dan menghalangi ibadah bisa teratasi.
Keenam, pada masa pandemi, tetap dilaksanakan ibadah haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan, seperti pemberian vaksin, sarana kesehatan, dan tenaga medis yang memadai dan lain sebagainya.
Hal tersebut hanya bisa dilakukan apabila sistem Islam dalam negara khilafah diterapkan dan dipimpin oleh seorang khalifah. Dalam negara khilafah, pemerintah merupakan pelayan umat, sehingga hak-hak umat harus diperoleh, bukan lagi dengan paradigma bisnis dan keuntungan seperti saat ini.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Unix Yulia
Komunitas Menulis Setajam Pena