“Tentang beban rakyat yang semakin berat saat ini disebabkan bertambahnya persoalan yang datang dari moneter dan keuangan,” tuturnya dalam Rubrik Catatan Peradaban: Beban Rakyat Makin Berat, Kamis (2/6/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.
“Moneter keuangan ini yaitu tentang inflasi, ketika dia naik maka biasanya sektor moneter itu akan merespons dengan menaikkan suku bunga,” ujarnya.
Ia melanjutkan, di Amerika misalnya The Fed menaikkan suku bunga maka suku bunga perbankan di negara-negara berkembang itu harus mengikuti naik. Jika tidak ikut naik maka akan terjadi fenomena Capital Flight.
Apabila suku bunga di negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak naik maka dolar akan loncat. Ia menambahkan walaupun tidak loncat ke luar negeri maka biasanya akan ada fenomena peralihan dari pasar modal ke deposito.
“Ketika suku bunga naik biasanya uang itu masuk di deposito sektor perbankan makanya kemarin indikator IHSG itu kan sempat anjlok di bawah Rp 7.000,” tambahnya.
Ia memaparkan pendapat Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa kondisi saat ini disebut dengan perfect storm (badai yang sempurna) disebabkan datang dari berbagai sisi, sektor non riil dan riil. Kondisi ini sangat memberatkan.
“Ibu Menkeu sendiri mengatakan kondisi sekarang disebut dengan perfect storm, badai yang sempurna. Badai yang sempurna ini datang dari berbagai sisi, dari sisi non riil soal keuangan dan moneter, dan sisi sektor riil muncul juga persoalan, misalnya kenaikan harga pangan, gandum terutama kenaikan energi (oil & gas). Itu juga sudah sangat memberatkan,” paparnya.
Baginya sangat tepat apabila dikatakan saat ini adalah perfect storm seperti yang dikemukakan oleh Menkeu Sri Mulyani. Hanya saja pilihan kebijakan untuk merespons persoalan ini adalah kenaikan dari sektor riil dan kemudian dari sisi moneter, yang dalam kerangka kapitalistik termasuk business is usual.
“Dikatakan extra ordinary tapi dalam kacamata kapitalistik itu tidak pernah keluar dari paradigma yang selama ini ada. Bisa dikatakan business is usual, biasa saja, tidak ada extra ordinary. Extra ordinarynya paling cetak uang, yang paling berani itu. Quantitative easy disebut dengan teori moneter itu yang paling mereka lakukan. Tapi tidak lepas dari yang namanya kerangka kapitalistik bahwa business is usual," paparnya.
Ia mengungkapkan tentang harga barang yang berhubungan dengan inflasi. Membumbungnya tingkat inflasi sudah diprediksi sebelumnya oleh para pejabat di berbagai negara.
“Berbicara harga barang berarti berbicara tentang inflasi. Dan membumbungnya tingkat inflasi sebenarnya telah oleh para pejabat di berbagai negara itu memang sudah diprediksi,” ungkapnya.
Ia menuturkan inflasi di Amerika dan Inggris dijadikan meningkat bisa sampai tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
“Kalau di Indonesia, kami memiliki datanya itu setidaknya dari tahun 2018-an tertinggi,” tuturnya.
Titik Badai Tertinggi Belum Tercapai
Ia meyakini bahwa titik badai tertinggi belum tercapai. Sekarang yang terjadi adalah mengulur persoalan yang ada. Walau pun dapat tertangani tapi dengan cara menumpuk utang.
“Kami meyakini belum tercapai, yang ada mereka mencoba mengulur persoalan yang ada. Memang sekarang ini bisa tertangani tapi dengan cara menumpuk utang,” tuturnya.
Ia mengkritisi utang Indonesia 2020-2021, menambah utang sebesar 2000 triliun. Dengan kondisi harga komoditas naik, pangan dan energi. Maka harus ditopang oleh subsidi.
“Dengan kondisi harga komoditas naik, pangan dan energi ini. Itu akan memukul dari sisi supply dan demand. Dari sisi sektor riil akan memukul demand. Dan dari sisi moneter juga akan memukul. Mau tidak mau harus ditopang yang namanya subsidi,” kritisnya.
Ia mempertanyakan apakah subsidi itu menyelesaikan masalah. Sebab sumber keuangan bermasalah di mana sumber keuangan kita adalah utang-utang yang berbunga dari pinjaman negara lain. Pinjaman ini bersifat menggadaikan dan menyebabkan independensi sikap Indonesia itu menjadi masalah.
“Memang seharusnya subsidi, rakyat harus dibantu. Hanya saja sumber keuangan kita lagi bermasalah. Sumber keuangan kita lagi-lagi adalah utang yang berbunga itu. Pinjaman dari negara lain yang sifatnya bisa saja menggadaikan kemudian independensi sikap Indonesia itu yang jadi masalah,” katanya.
“Kami melihat ini belum mencapai puncaknya. Puncaknya adalah ketika Indonesia semakin beban beratnya utang itu maka Indonesia bukan hal yang mustahil nanti akan terjadi seperti di Sri langka, dan Indonesia juga pernah mengalami posisi itu tahun 1998,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa posisi sekarang itu hanya mengulur waktu. “Mengukur waktunya dengan menambah utang dan pinjaman luar negeri. Selebihnya itu akan mencapai titik peaknya atau puncaknya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika