Tinta Media - Ketua DPR RI Puan Maharani meminta dukungan masyarakat Indonesia dalam merealisasikan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu isinya membahas soal penambahan cuti melahirkan dari tiga bulan menjadi enam bulan. RUU KIA tersebut telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui oleh 7 Fraksi di DPR. (detik.com 19/6/2022).
Puan menyatakan pentingnya penambahan cuti bagi ibu melahirkan agar bisa lebih mendekatkan hubungan ibu dengan anak, selain ibu memiliki masa lebih panjang dalam memberikan ASI bagi bayinya. Upaya Puan diapresiasi oleh Ketua Tanfidziah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Nasyirul Falah Amru (Gus Falah) sebagai perjuangan Puan bagi kemaslahatan seluruh ibu dan anak Indonesia. (jpnn.com 24/6/2022).
Selain dalam meningkatkan kedekatan ibu dan anak, Luluk Nur Hamidah—salah satu anggota DPR dari Fraksi PKB—menjelaskan pentingnya cuti enam bulan sebagai upaya mencegah fenomena perempuan depresi pasca melahirkan. Menurutnya, depresi itu disebabkan oleh adanya perubahan hormon pada ibu hamil dan pasca melahirkan yang dapat mendorong terjadinya kasus kekerasan ibu terhadap bayinya. (detik.com 19/6/2022)
Bila dilihat secara sekilas, penyusunan RUU KIA ini tampak berpihak kepada kemaslahatan ibu pasca melahirkan dan juga bayi yang baru dilahirkannya. Namun, jika kita melihat lebih luas lagi, persoalan ibu pasca melahirkan dan bayinya adalah persoalan yang luas dan kompleks, yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan menambahkan 3 bulan cuti pasca melahirkan.
Secara fakta, disadari bahwa kedekatan ibu dan anak akan bertambah dengan ditambahnya 3 bulan cuti pasca melahirkan. Semakin panjang masa menyusui, semakin panjang pula proses pendekatan dan kedekatan sang bayi dengan ibunya. Tidak mengherankan jika menyusui yang ideal dalam Islam adalah selama dua tahun penuh (QS. Al-Baqarah: 233). Kaum ibu tentu merasakan adanya hal ini.
Namun, dalam tuntutan dunia yang serba kapitalistik dan materialistik seperti sekarang ini, tidak jarang kaum ibu ‘terpaksa’ meninggalkan anaknya keluar rumah untuk bekerja karena situasi ekonomi yang sulit. Seperti buah simalakama, jika tetap menyusui anak dan tidak bekerja, maka ekonomi akan sulit. Namun, jika tetap bekerja dan meninggalkan anak, maka anak tidak optimal penyusuan dan pengasuhannya.
Di samping itu, belum tentu semua perusahaan akan menerima RUU KIA ini. Jika RUU KIA ini disahkan, yaitu pekerja perempuan yang baru melahirkan mendapat cuti 6 bulan, maka pertanyaannya adalah apakah selama enam bulan tersebut perusahaan akan tetap diharuskan menggajinya? Jika iya, tentu ini akan memberatkan pengusaha, karena harus menggaji seseorang yang tenaga dan keahliannya sedang tidak dapat dimanfaatkan perusahaan karena sedang cuti. Hal ini tentu akan menuai pro kontra di tengah masyarakat.
Karenanya, RUU KIA ini sesungguhnya tidak menyelesaikan persoalan ibu dan anak secara mendasar dan menyeluruh. Persoalan kedekatan ibu dan anak dan upaya menetralisir depresi ibu pasca melahirkan akan dapat diselesaikan secara optimal dengan menyelesaikan permasalahan dari akarnya, yaitu mendudukkan peran dan fungsi ibu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, dan mendudukkan peran dan tugas ayah sebagai penanggung jawab keluarga (QS. Al-Baqarah: 233).
Peran dan fungsi ibu dan ayah ini dapat optimal terlaksana jika ada support sistem yang mendukungnya. Ibu akan dengan ‘tenang’ menyusui, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya tanpa harus memikirkan pekerjaan di kantor jika suami menjalankan fungsinya dengan baik sebagai penanggung jawab keluarga yang bekerja atau memiliki usaha sebagai upaya penunaian kewajiban kepada anak dan istrinya. Suami tidak akan risau dengan peluang pekerjaan dan pengembangan usahanya jika negara memberikan kesempatan bekerja dan berusaha yang luas kepada rakyatnya, bukan kepada tenaga kerja asing yang datang dari luar negeri, misalnya.
Dengan demikian, mengembalikan, mewujudkan, dan menjaga kedekatan ibu dan anak tidak bisa dilakukan hanya dengan mengesahkan RUU KIA. Kedekatan ibu dan anak, kemuliaan perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga akan terjaga dan terwujud dengan mengembalikan kedudukan dan fungsi ibu kepada fungsi utamanya, yaitu sebagai ibu, pengurus, dan pengatur rumah tangga, tanpa terbebani tugas lain sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.
Hal ini bisa terlaksana dengan mengembalikan tanggung jawab nafkah keluarga kepada suami, atau pihak-pihak yang bertanggung jawab sesuai aturan Islam, yaitu ayah atau saudara laki-lakinya atau wali lainnya. Jika tidak ada wali, maka negaralah yang memikul tanggung jawab sebagai bagian dari ri’ayah su’un (pengaturan urusan) rakyat. Semuanya ini dapat terlaksana dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam, yang memberikan peluang kerja dan usaha yang kondusif bagi para penanggung jawab keluarga di tengah masyarakat.
Dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam, dilema ibu pasca melahirkan (baik masalah kedekatan dengan buah hati atau masalah depresi), bisa dihindari, dan kewarasan ibu dapat terjaga dengan baik. Kondisi tersebut akan didapatkan dalam sebuah sistem kehidupan yang menerapkan Islam secara mendasar, menyeluruh, dan kaffah seperti yang pernah diterapkan di masa Rasulullah dan para khalifah sesudahnya.
Wallahu 'alam bish shawab
Oleh: Citra Resmiyanti
Sahabat Tinta Media