Cabut Subsidi Listrik, Inilah Tabiat Kapitalisme - Tinta Media

Senin, 27 Juni 2022

Cabut Subsidi Listrik, Inilah Tabiat Kapitalisme


Tinta Media - Pencabutan subsidi listrik sedikit demi sedikit dengan menyesuaikan tarif agar tidak membebani negara, dinilai Narator Muslimah Media Center sebagai tabiat kapitalisme.

 “Inilah tabiat kehidupan dalam sistem kapitalisme. Subsidi yang diberikan kepada rakyat justru dipandang sebagai beban negara. Bahkan negara dalam sistem ini semakin melepaskan tanggung jawabnya dalam mengurus rakyatnya dengan mencabut sedikit demi sedikit subsidi listrik yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dalam kehidupan sehari-harinya,” ucapnya dalam video serba serbi MMC: Tarif Listrik naik, Kepemilikan Rakyat Dikomersialkan, Ahad (19//6/2022) melalui  kanal Muslimah Media Center.

Ia lalu menuturkan bahwa pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif listrik bagi golongan rumah tangga mampu mulai dari 3500 volt ampere (VA) ke atas.  “Selain menyasar rumah tangga mampu, penyesuaian tarif juga berlaku untuk semua pelanggan pemerintah (P1 P2 dan P3),” ungkapnya.

 “Dirjen ketenagalistrikkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM)  Rida Mulyana menjelaskan bahwa penetapan golongan R2 dan R3 dari golongan rumah tangga dikenakan tarif adjustment, sebab pihaknya menilai golongan ini mampu. Untuk golongan di bawah itu tarif listrik tidak dinaikkan. Akibatnya pemerintah harus menanggung subsidi dan kompensasi listrik yang lebih besar pada 2022,” bebernya mengutip pernyataan Kemen ESDM.

Tarif baru tersebut lanjutnya, akan berlaku mulai Juli 2022 . “Rida menambahkan penyesuaian tarif listrik ini terjadi karena 4 faktor antara lain mengacu pada melemahnya mata uang Rupiah terhadap  US$, melonjaknya harga minyak dunia yang menembus di atas 100 US$  per barel, inflasi, serta harga patokan batubara yang terus naik,” tambahnya.

“Sementara di sisi lain PT PLN persero memastikan tidak ada penyesuaian tarif listrik bagi seluruh pelanggan industri dan bisnis.  Direktur utama PLN Dharmawan Prasojo mengatakan kebijakan ini menjadi salah satu bukti negara hadir dalam menjaga pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19. Ketentuan ini berlaku baik bagi industri kecil hingga industri besar,” ucapnya. 

Ia mengutip penjelasan Vice Presiden komunikasi korporat PLN Gregorius Adityanto yang menjelaskan bahwa industri besar seperti industri semen, industri semelter hingga industri mineral lainnya sangat berpengaruh pada serapan tenaga kerja dan realisasi serapan investasi terhadap penerimaan negara sehingga tarif listriknya diputuskan tetap.

 “Adapun industri kecil yang mencakup UMKM dipandang sebagai tumpuan perekonomian nasional selama pandemi kemarin, sehingga pemerintah dan PLN sangat menyadari pentingnya menjaga agar sektor ini tidak mengalami kenaikan ongkos produksi karena kenaikan tarif listrik,” imbuhnya.

Pro Pemilik Modal

Berdasarkan fakta di atas, Narator menilai, negara juga dibentuk menjadi pihak yang pro terhadap para pemilik modal. “Pasalnya kenaikan tarif listrik hanya diberlakukan pada rakyat yang kaya sementara industri-industri besar tidak mendapat beban kenaikan tarif listrik,” kritiknya.

 “Lagi-lagi yang dijadikan alasan adalah rakyat. Dengan dalih pemulihan ekonomi, menjaga harga barang tetap stabil dan menjaga agar tetap terjadi daya serap tenaga kerja oleh industri keputusan sah pemerintah seolah-olah benar,”nilainya.

 Padahal  menurutnya, listrik adalah salah satu sumber energi milik rakyat. “Seharusnya rakyat dapat menikmatinya secara murah bahkan gratis . Bukan hanya bagi rakyat miskin atau dalam kekurangan, bahkan untuk rakyat yang kaya sekali pun mestinya dapat menikmati listrik murah karena termasuk kepemilikan bersama atau publik,” bebernya.
 
Namun  lanjutnya, dalam sistem ekonomi kapitalisme ketentuan ini tidak berlaku, sebab sistem ini melegalkan penguasaan kepemilikan publik oleh segelintir orang yakni pemilik modal.  “Alhasil demi memenuhi kepentingan korporasi, rakyat seringkali menjadi korban.  Saat rakyat terus menanggung mahalnya tarif listrik pemilik modal justru menikmati keuntungan dengan tarif listrik murah. Tentu hal ini tidak adil bagi rakyat,” simpulnya.

 “Pada dasarnya persoalan PLN yang paling utama adalah konsep kepemilikan. Sistem ekonomi neolib  memang tidak memiliki konsep kepemilikan sehingga segala sesuatu yang bernilai boleh menjadi komoditas,” kritiknya.

Islam

 Menurutnya ini berbeda dengan Islam yang memiliki konsep kepemilikan.  “Islam membagi kepemilikan menjadi tiga yaitu individu, umum, dan negara . Adapun listrik termasuk kepemilikan umum,” jelasnya sambil membacakan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad,
“Kaum muslim berserikat dalam 3 perkara yakni padang rumput, air dan api.”

“Karena milik umum bahan tambang seperti migas dan batubara haram dikelola secara komersial baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersialisasikan hasil olahannya sebagaimana listrik. Dengan demikian pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta apa pun alasannya,” paparnya.

Negara, lanjutnya, bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas serta dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin muslim maupun non muslim.

Narator mengatakan, jika pengelolaannya butuh dana besar, subsidi bagi rakyat dari pos pemasukan negara lainnya bukan sesuatu yang menyebabkan in efisiensi.  Justru subsidi ini adalah bentuk pengurusan negara pada umat agar kebutuhan umat bisa merata baik di kota maupun desa.

“Dengan demikian hanya sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang dapat menerapkan konsep kepemilikan Islam dan memposisikan listrik sebagai kebutuhan umat yang wajib dipenuhi negara. Sistem ini pula yang akan menghimpun penguasa yang amanah dan terbebas dari setiran pihak manapun,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :