Bom Waktu Mikroplastik, Kesehatan Manusia Terusik - Tinta Media

Minggu, 05 Juni 2022

Bom Waktu Mikroplastik, Kesehatan Manusia Terusik


Tinta Media - Ibarat bom waktu, mikroplastik yang masuk dalam tubuh secara terus-menerus bisa mengancam kesehatan. Semakin modern suatu zaman, segala sesuatu cenderung dituntut serba praktis dan ekonomis, meskipun hal tersebut tak selalu menguntungkan manusia dari sisi kesehatan. 

Studi terbaru di Belanda menunjukan bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam darah. Plastik yang paling banyak ditemukan adalah jenis Polyethylene Terephthalate (PET). PET sendiri banyak digunakan untuk kemasan makanan dan botol minuman.

Dengan masuknya mikroplastik dalam aliran darah, tak menutup kemungkinan zat tersebut bisa masuk ke dalam organ tubuh vital manusia yang lain. Dampak menelan mikroplastik mungkin belum terasa hari ini, tetapi baru akan terasa beberapa puluh tahun kemudian. Seperti diketahui, sifat plastik tidak mudah terurai. Ini tentu berbahaya jika terjadi penumpukan di dalam aliran darah ataupun organ tubuh vital manusia.

Anjuran menghindari wadah plastik dan styrofoam sudah sering dijumpai di sosial media. Namun, wadah makanan dan minuman plastik masih menjadi primadona bagi sebagian masyarakat. Selain murah dan praktis, wadah dengan aneka bentuk yang memuat gambar lucu justru lebih menarik bagi konsumen, terutama anak-anak. Semakin maraknya aneka wadah plastik sejalan dengan menggeliatnya usaha kecil menengah yang menjual aneka jajanan dan es.  

Dari sini, dibutuhkan peran pemerintah untuk mengendalikan dan mengawasi peredaran wadah berbahan dasar plastik. Nyatanya, wadah berbahan plastik merupakan produk44 yang murah, paraktis serta mudah ditemukan di mana saja. 

Pemerintah harus memberikan alternatif wadah dengan bahan yang tidak berbahaya bagi kesehatan. Andaipun memakai plastik, harus memenuhi food grade yang aman. Sosialisasi massif kepada masyarakat guna meminimalisir penggunaan plastik juga sangat penting. 

Selain dampak langsung bagi kesehatan manusia, pemakaian plastik secara terus-menerus menjadikan permasalahan sampah tak kunjung kelar. Hari lingkungan hidup diperingati setiap tanggal 5 Juni, tetapi masalah lingkungan masih membebani negeri. Sampah tidak hanya mencemari tanah, tapi juga mencemari air, baik air tanah, air sungai maupun air laut. Bahkan, sampah plastik di laut Indonesia telah mencapai 6,8 juta ton per tahun. Tentu hal ini mengancam keberlangsungan hidup biota laut. 

Semua ini berawal dari budaya membuang sampah tidak pada tempatnya, sehingga tanah, udara, sungai serta laut pun terpolusi. Seperti yang pernah ditunjukkan Oseanografi Lipi, semua area laut Indonesia yang pernah diteliti mengandung mikroplastik. Akhirnya, kesehatan manusia pun terusik.

Sampah plastik yang terkumpul di lautan, terkena sinar matahari terus menerus dan saling bergesekan/berbenturan menciptakan plastik-plastik berukuran sangat kecil (mikroplastik). Mikroplasik tersebut mengendap dan terbawa arus ombak kemudian bercampur dengan pasir pantai dan akhirnya tersebar ke lautan bebas. 

Ukuran mikroplastik yang kecil yaitu kurang dari 4,8 milimeter, membuat ikan sulit membedakan mikroplastik dengan plankton. Bahkan, mikroplastik tersebut berpotensi dimakan plankton, kemudian plankton dimakan ikan kecil. Ikan kecil dimakan ikan yang lebih besar dan seterusnya hingga sampai pada rantai makanan terakhir, yaitu manusia. 

Ikan yang diharapkan menjadi sumber protein hewani dan mencerdaskan otak justru menjadi berbahaya bagi tubuh manusia. Temuan ikan mengandung mikroplastik pun menjadi problem Indonesia, bahkan dunia. 

Meski demikian, Badan Pengawas Obat dan Makananan (BPOM) menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan mikroplastik, mengingat, belum ada studi ilmiah yang membuktikan bahaya zat tersebut.  

Demikian pula dengan European Food Safety Authority (EFSA) selaku otoritas keamanan pangan tertinggi di Eropa menyatakan bahwa pemantauan rutin mikroplastik belum menjadi prioritas. Semoga kondisi saat ini memang benar-benar masih aman.

Hidup sehat merupakan hak setiap warga negara. Sementara, negara berkewajiban memenuhi hak rakyat tersebut. Hak dan kewajiban tersebut bisa berjalan beriringan jika pemerintah menggunakan Islam sebagai panduan utama dalam membuat regulasi. Sayangnya, pemerintah saat ini masih memakai sistem demokrasi hingga tampak kesulitan saat berhadapan dengan pilihan ‘kesehatan masyarakat’ dengan ‘kepentingan pengusaha’.

Demokrasi menganggap setiap individu memiliki hak kebebasan kepemilikan, temasuk kepemilikan industri makanan dan minuman. Karena asas demokrasi adalah sekularisme, maka urusan bisnis lebih mengutamakan untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Tak peduli lagi apakah usahanya merugikan masyarakat luas atau tidak. Alhasil, hanya Islam yang bisa diharapkan menjadi solusi atas ancaman mikroplastik ini. Wallahu ’alam bish shawab.

Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Pemerhati Kebijakan Publik

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :