𝐇𝐈𝐃𝐔𝐏𝐊𝐀𝐍 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐊𝐀𝐑𝐀𝐊𝐓𝐄𝐑 𝐓𝐎𝐊𝐎𝐇 𝐔𝐓𝐀𝐌𝐀 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔) - Tinta Media

Selasa, 28 Juni 2022

𝐇𝐈𝐃𝐔𝐏𝐊𝐀𝐍 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐊𝐀𝐑𝐀𝐊𝐓𝐄𝐑 𝐓𝐎𝐊𝐎𝐇 𝐔𝐓𝐀𝐌𝐀 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)


Tinta Media - Begitu mendengar nama Mukidi Ngaciro apa yang terbayang dalam benak Anda? Sebagian dari Anda mungkin ada yang menjawab “plonga-plongo” ada juga yang menjawab “lugu”. Lebih jauh lagi, mesti ada yang mengatakan, “sekuler” bahkan “islamofobia”. Benar enggak? Nah, dua jawaban pertama itu masuk ke dalam kategori karakter. Sedangkan dua jawaban terakhir itu termasuk kepribadian.

Ketika Anda merekonstruksi suatu peristiwa ke dalam bentuk cerita (karangan khas/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN), karakter dan kepribadian tokoh yang diceritakan itu haruslah digambarkan dengan kuat, terutama si tokoh utamanya. Mengapa? Karena pencantuman karakter dan kepribadian itu bagian dari unsur FN yang harus ada. 

Mengapa harus ada? Agar FN yang dibuat itu benar-benar hidup di benak pembaca. Tadi saya di atas baru menyebut nama tokohnya saja, Anda langsung menyebut karakternya dan kepribadiannya kan? Bahkan dapat dipastikan ketika menjawab pun sosoknya hidup di benak Anda. Ayo mengaku! He… he…  

Nah, yang jadi masalah itu tidak semua pembaca mengetahui karakter dan kepribadian tokoh yang Anda tuliskan dalam FN, maka tak cukup sekadar menuliskan namanya saja. Kecuali kalau Anda memang mau membuat FN tentang Mukidi Ngaciro, itu lain cerita. He… he… Tapi meski Anda membuat FN tentang Mukidi Ngaciro pun, tetap karakter dan kepribadiannya itu mesti digambarkan. 

Tujuannya, untuk menyamakan informasi antara pembaca dengan Anda. Karena, siapa tahu di antara pembaca FN Anda itu adalah orang yang mendapatkan informasi karakter dan kepribadian yang berbeda. Misal, menganggap dia itu seperti Khalifah Umar bin Khattab ra. Waduh, jauh panggang dari api. Tapi memang faktanya ada kok yang termakan hoaks seperti itu, maka sekali lagi, karakter dan kepribadian itu penting dideskripsikan. 

Lantas bagaimana cara mendeskripsikannya? Ada banyak cara, sebagiannya seperti yang diulas di bawah ini. 

𝐊𝐚𝐫𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫

Setidaknya ada tiga cara menggambarkan karakter tokoh dalam menyajikan FN. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑘𝑒𝑠𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑠𝑘𝑟𝑖𝑝𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎. Penulis langsung saja menyebut karakternya tanpa menyebut fakta yang mendukung kesimpulan tersebut. Misal, si penulis ingin menunjukkan bahwa si tokoh itu karakternya plonga-plongo maka langsung saja tulis 𝑝𝑙𝑜𝑛𝑔𝑎-𝑝𝑙𝑜𝑛𝑔𝑜, tanpa merekonstruksi kejadiannya sama sekali. 

Contoh: 
Dia terkenal sebagai orang yang plonga-plongo. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑑𝑖𝑠𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑛𝑦𝑎. Nama karakter si tokoh sama sekali tidak disebutkan. Tetapi pembaca dapat menyimpulkan nama karakter tersebut dari deskripsi perbuatan, mimik dan pilihan kata si tokoh yang dituliskan penulis. Misal, penulis ingin menunjukkan karakter si tokoh itu plonga-plongo. Maka, salah satu penggambarannya bisa seperti contoh di bawah ini. 

Contoh: 
Tatapan matanya seolah kosong, mulutnya agak terbuka ketika lawan bicaranya sedang menjelaskan sesuatu. Bukan kali ini saja dia seperti itu. 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑘𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎𝑛𝑦𝑎. Selain ditulis nama karakter si tokohnya, diceritakan pula salah satu adegan atau mendeskripsikan kebiasaan yang memperkuat kesimpulan tersebut. Misal, penulis ingin menunjukkan karakter si tokoh itu plonga-plongo. Maka, salah satu penggambarannya bisa seperti contoh di bawah ini. 

Contoh: 
Tatapan matanya seolah kosong, mulutnya agak terbuka ketika lawan bicaranya sedang menjelaskan sesuatu. Bukan kali ini saja dia plonga-plongo seperti itu.

Penggambaran karakter yang paling baik adalah cara kedua. Dikatakan terbaik karena memenuhi dua hal penting. (1) Pembaca dapat menyimpulkan dari deskripsi perbuatan, mimik dan pilihan kata si tokoh yang dituliskan penulis karangan khas. Artinya, penulis berhasil menyampaikan pesan yang sama persis ke benak pembaca. Buktinya, pembaca menyimpulkan nama karakter sesuai dengan yang ditargetkan penulis. (2) Lebih aman atau lebih sulit untuk dikenai delik hukum karena penulis hanya menyampaikan fakta saja, tidak menuduh (menyebut nama karakter).

Penggambaran yang paling tidak direkomendasikan adalah cara pertama. Dikatakan tidak direkomendasikan karena masuk ke dalam dua masalah serius. (1) Sebagian pembaca mestilah tidak sependapat dengan penyematan karakter tersebut kepada sang tokoh karena sangat mungkin di benak pembaca itu tidak ada adegan mulut menganga (karena dia tak pernah melihat mulut si tokoh menganga), lebih parahnya lagi bahkan si pembaca tak mengerti plonga-plongo itu artinya mulut menganga. (2) Rentan terkena delik hukum pencemaran nama baik. 


𝐊𝐞𝐩𝐫𝐢𝐛𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧

Selain karakter, yang tak kalah pentingnya untuk digambarkan adalah kepribadian (𝑠𝑦𝑎𝑘𝑠𝑖𝑦𝑎ℎ) tokoh yang diceritakan, terutama tokoh utamanya. Kepribadian bukanlah karakter tetapi perpaduan yang khas antara pola pikir dan pola sikap si tokoh yang diceritakan. 

Misal, tokohnya beragama Islam. Maka, si tokoh pun bisa diidentifikasi pembaca sebagai tokoh yang islami (misal: ingin Islam diterapkan secara kaffah), sekuler (misal: tak mau Islam diterapkan secara kaffah), ataupun islamofobia (misal: memusuhi upaya penerapan syariat Islam secara kaffah).

Penggambarannya juga sama dengan karakter. Bisa berupa kesimpulan. Bila si tokohnya berkepribadian Islam, bisa saja dituliskan bahwa si tokoh itu taat beragama. Namun lebih baik tanpa menuliskan frasa 𝑡𝑎𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎, tapi cukup saja menceritakan salah satu kejadian yang pembaca secara umum bisa menyimpulkan bahwa sang tokoh itu taat beragama. Selain itu, bisa juga mengombinasikan keduanya; selain ditulis taat beragama, diceritakan pula salah satu adegan yang memperkuat kesimpulan tersebut.

Lantas, bagaimana kepribadian Mukidi Ngaciro? Tadi siapa ya yang di awal paragraf menjawab “sekuler” dan “islamofobia”? Silakan gambarkan kepribadiannya di kolom komentar. He… he…[] 

Depok, 26 Dzulqa’dah 1443 H | 25 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :