Tinta Media - Karena fokus dan keasyikan menyajikan sepak terjang tokoh, beberapa penulis karangan khas (rekonstruksi suatu peristiwa yang dikemas ke dalam bentuk cerita/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) terkadang lupa mencantumkan latar waktu, tempat, dan suasana cerita.
Penulis FN yang tidak mencantumkan latar tempat kadang suka saya tegur dengan pertanyaan, “Lokasi kejadiannya di Mars atau di mana ini?”
Beberapa penulis hanya mencantumkan nama hari. Ahad, misalnya. Kontan saja saya pertanyakan dengan kalimat, “Ini Ahad kapan? Ahad kemarin, Ahad pekan depan, Ahad tahun lalu, atau Ahad kapan-kapan?”
Sedangkan penulis yang sudah jadi reporter dan terbiasa menulis berita lugas (rekonstruksi peristiwa yang langsung pada pokok permasalahan/straight news/SN), tidak ada masalah dengan penulisan waktu dan tempat, karena sudah terbiasa dengan membuat naskah yang memenuhi standar dasar informasi yang menjawab enam pertanyaan dasar. Enam pertanyaan dasar tersebut dikenal dengan sebutan 5W1H, yakni siapa (𝑤ℎ𝑜), sedang apa (𝑤ℎ𝑎𝑡), kapan (𝑤ℎ𝑒𝑛), di mana (𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒), mengapa (𝑤ℎ𝑦), dan bagaimana ceritanya (ℎ𝑜𝑤).
Namun yang jadi masalah, beberapa di antara mereka tidak menyinggung sama sekali latar suasana cerita. Walhasil naskah yang dibuatnya sama dengan SN. Kritik pun saya layangkan, “Diminta bikin FN kok jadinya SN?”
Siapa di antara pembaca yang pernah mengalami nasib ditegur 𝑐𝑜𝑎𝑐ℎ 𝑘𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟 seperti di atas? Ayo curhat di kolom komentar. Ha… ha… Ya, salah satu di antara Anda ada yang bilang langsung ke saya, bahwa saya seperti itu. Waduh, padahal saya hanya menyampaikan masalah apa adanya lho agar terlihat jelas kesalahannya, lalu diberikan solusinya. He… he…
Ingat baik-baik, tidak ada satu peristiwa yang terjadi di dunia ini tanpa adanya latar tempat, latar waktu, dan suasana yang melingkupinya. Maka, ketika Anda hendak membuat FN, jangan lupa cantumkan pula ketiganya. Karena yang Anda tulis ini kisah nyata bukan? Selain itu, memang tempat, waktu, dan suasana merupakan unsur yang harus ada dalam naskah karangan khas.
Perbedaan
Agar Anda dapat membedakan FN dengan jenis tulisan lainnya, coba simak baik-baik empat poin di bawah ini.
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜 𝑠𝑎𝑗𝑎, 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑗𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘.
Contoh:
𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊.
Terus kenapa dengan Buya Hamka? Jenis tulisan macam apa ini? Enggak jelas banget, kan?
𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜 𝑑𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑗𝑎, ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑗𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑚𝑒, 𝑒𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑗𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑆𝑁 𝑎𝑝𝑎𝑙𝑎𝑔𝑖 𝐹𝑁.
Contoh:
“𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 … "
𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊
Keren banget bukan kalau dibikin meme? Apalagi ditambah foto Buya Hamka yang bersurban dan peci. Wah, pesan yang disampaikan jadi lebih kuat di benak pembaca. Tapi jelas ini bukan FN.
𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜, 𝑤ℎ𝑎𝑡, 𝑤ℎ𝑒𝑛, 𝑑𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 (𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑤) 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑛𝑎𝑠𝑘𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑆𝑁 𝑠𝑎𝑗𝑎.
Contoh:
“𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 …," 𝚞𝚓𝚊𝚛 𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊, 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚂𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙺𝚘𝚗𝚜𝚝𝚒𝚝𝚞𝚊𝚗𝚝𝚎 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝟷𝟿𝟻𝟽 𝚍𝚒 𝙶𝚎𝚍𝚞𝚗𝚐 𝙼𝚎𝚛𝚍𝚎𝚔𝚊, 𝙱𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐.
𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝐹𝑁 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑛𝑡𝑢𝑡 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎, 𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 (𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑤) 𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑔𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑢𝑔𝑎.
Contoh:
𝙳𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚋𝚕𝚊𝚔-𝚋𝚕𝚊𝚔𝚊𝚗, 𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊 𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚒𝚗𝚐𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚂𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙺𝚘𝚗𝚜𝚝𝚒𝚝𝚞𝚊𝚗𝚝𝚎 (𝟷𝟿𝟻𝟼-𝟷𝟿𝟻𝟿). “𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 …," 𝚝𝚎𝚐𝚊𝚜 𝚊𝚗𝚐𝚐𝚘𝚝𝚊 𝚏𝚛𝚊𝚔𝚜𝚒 𝙿𝚊𝚛𝚝𝚊𝚒 𝙼𝚊𝚜𝚢𝚞𝚖𝚒 𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝟷𝟿𝟻𝟽 𝚍𝚒 𝙶𝚎𝚍𝚞𝚗𝚐 𝙼𝚎𝚛𝚍𝚎𝚔𝚊, 𝙱𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐. 𝚃𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚑𝚊𝚍𝚒𝚛𝚒𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚔𝚎𝚓𝚞𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛 𝚙𝚎𝚛𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚏 𝚍𝚒 𝚘𝚛𝚖𝚊𝚜 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝙼𝚞𝚑𝚊𝚖𝚖𝚊𝚍𝚒𝚢𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 𝚃𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚙𝚒𝚑𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚊𝚖𝚊-𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚔𝚎𝚓𝚞𝚝.
Bagaimana? Terbayang beda bukan antara FN dengan produk jurnalistik lainnya? Bukan hanya beda, tetapi juga terasa lebih hidup. Benar enggak? Jadi, ketika menulis FN, jangan lupa cantumkan latar waktu, tempat, dan suasana ya.
Mengapa? Seperti yang sudah disinggung di atas, tidak ada satu peristiwa yang terjadi di dunia ini tanpa adanya latar tempat, latar waktu, dan suasana yang melingkupinya. Sedangkan, FN adalah jenis tulisan yang mencoba mengajak pembaca seolah menyaksikan kejadian tersebut.
Dalam contoh kasus di atas, pembaca diajak menyaksikan langsung ketika Buya Hamka berpidato dalam Sidang Konstituante. Oh iya, Anda teriak Allahu Akbar enggak ketika menyaksikan Buya Hamka berpidato demikian?[]
Depok, 29 Dzulqa’dah 1443 H | 28 Juni 2022 M
Joko Prasetyo
Jurnalis