𝐁𝐔𝐀𝐈 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐀𝐋𝐔𝐑 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐊𝐈𝐒𝐀𝐇 𝐍𝐘𝐀𝐓𝐀(𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔) - Tinta Media

Rabu, 29 Juni 2022

𝐁𝐔𝐀𝐈 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐀𝐋𝐔𝐑 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐊𝐈𝐒𝐀𝐇 𝐍𝐘𝐀𝐓𝐀(𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)

Tinta Media - Ibarat pariwisata, alur cerita merupakan rute perjalanan wisata yang disusun sedemikan rupa agar wisatawan mendapatkan pengalaman perjalanan yang sangat berkesan ketika melihat beberapa objek wisata dan mendengar penjelasannya dari pemandu. 

Maka, bila Anda mendatangi objek wisata yang sama tetapi menggunakan jasa travel dan pemandu yang berbeda, tentu saja akan mendapatkan kesan dan informasi yang berbeda. Mengapa? Karena memang pola perjalanan wisatanya dan titik tekan informasi yang disampaikan pemandunya juga berbeda. 

Begitu juga ketika Anda membaca karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) akan mendapatkan efek tertentu yang berbeda pula ketika membaca naskah dari penulis berbeda dan alur cerita yang berbeda, padahal objek ceritanya sama. Karena, 𝑎𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 memang merupakan jalinan peristiwa dalam cerita untuk memperoleh efek tertentu. 

Efek dimaksud sangat tergantung kepada tema (silakan baca 𝑇𝑒𝑚𝑎, 𝐽𝑖𝑤𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑅𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐾𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 dengan mengklik https://bit.ly/3tUAbX1). Apakah Anda ingin membuat pembaca marah terhadap kezaliman? Ingin melawan kezaliman? Setuju dengan Islam? Ataupun ingin pembaca turut memperjuangkan Islam? Itu semua merupakan salah empat, eh, salah satu efek yang sebaiknya ditetapkan dalam merekonstruksi kejadian yang Anda ceritakan dalam bentuk cerita kepada para pembaca.

Coba Anda baca FN yang berjudul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Efek atau kesan apa yang Anda rasakan ketika membaca FN tersebut? Apa yang Anda rasakan pula usai membaca FN tersebut? Coba saya tebak, semua yang Anda rasakan tidak keluar dari empat efek di atas. Benar enggak? InsyaAllah, benar ya.

Sebagaimana rute dan panduan wisata yang tak boleh berjalan tanpa perencanaan ketika membuka jasa travel wisata, maka ketika menulis FN pun alur cerita merupakan salah satu unsur FN yang tak boleh dibuat asal-asalan apalagi diabaikan. Bagi Anda yang kesulitan membuat alurnya, semoga pembahasan enam adegan dan pola cerita di bawah ini dapat membantu.

𝐄𝐧𝐚𝐦 𝐀𝐝𝐞𝐠𝐚𝐧

Alur cerita yang ideal itu mengandung enam macam adegan. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑎𝑙𝑎𝑛. Seperti namanya dalam paragraf-paragraf awal FN yang dibuat berisi pengenalan. Umumnya berupa pengenalan terhadap tokoh cerita dan konteksnya. 

Contoh: Memperkenalkan tokoh-tokoh yang merumuskan dasar negara dalam sidang BPUPKI. Mereka berada dalam sidang yang diselenggaran penjajah Jepang dan disaksikan tujuh perwakilan penjajah Jepang tersebut untuk merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑒𝑚𝑖𝑐𝑢 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑜𝑛𝑓𝑙𝑖𝑘. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan peristiwa yang menjadi pemicu munculnya masalah yang menimpa tokoh/subjek cerita. 

Contoh: para tokoh dalam sidang BPUPKI terbagi menjadi dua kubu; satu kubu ingin Islam sebagai dasar negara (kubu Islam); kubu lainnya ingin bukan Islam sebagai dasar negara (kubu sekuler). 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑘𝑜𝑛𝑓𝑙𝑖𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑚𝑖𝑡. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan perkembangan cerita yang membuat masalah semakin rumit. 

Contoh: terjadi perdebatan antara tokoh yang beda kubu mempertahankan prinsipnya masing-masing.

Dalam paragraf-paragraf ini bisa saja diceritakan peristiwanya hendak antiklimaks tetapi ternyata muncul masalah baru yang lebih pelik (konflik tingkat 2). 

Contoh: Disepakatilah Piagam Jakarta. Salah satu tokoh kubu Islam protes. Lalu tokoh kubu sekuler meredam protes. Tapi usai proklamasi tokoh kubu sekuler mengkhianati Piagam Jakarta. Tokoh kubu Islam dibujuk untuk setuju dengan dalih enam bulan lagi diadakan pemilu Maret 1946 untuk memilih anggota Konstituante yang merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar.

Belum juga dapat diatasi, muncul lagi masalah yang lebih berat (konflik tingkat 3). 

Contoh: Enam bulan lewat, tapi janji tak dipenuhi. Bahkan sampai tahun 1953, sang tokoh kubu Islam yang menerima janji tokoh kubu sekuler meninggal dunia tapi pemilu belum juga terlaksana. Emosi kubu Islam naik kembali dan mendesak diadakannya pemilu. 

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑘𝑙𝑖𝑚𝑎𝑘𝑠. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan konflik/masalahnya sudah membuncah. Pembuncahan yang lebih mantap itu juga masih bersengkarut dengan konflik tingkat 2. 

Contoh: Kejadian pada sidang BPUPKI seakan terulang di sidang Konsituante. Dalam sidang hasil pemilu 1955 menghasilkan dua blok besar yakni kubu Islam yang tetap bernama Blok Islam versus kubu sekuler yang berganti nama menjadi Blok Pancasila. Perdebatan sengit kembali terjadi.  

Klimaks tingkat 3 juga bisa dimasukan, agar alur cerita semakin seru. 

Contoh: Pernyataan Buya Hamka dalam sidang Konstituante yang menyebut, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka…”  

𝐾𝑒𝑙𝑖𝑚𝑎, 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘𝑙𝑖𝑚𝑎𝑘𝑠. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan masalah tersebut sudah mulai teruari, terlepas terurai ke arah yang diinginkan tokoh/subjek cerita atau sebaliknya, tetapi yang jelas ketegangan berangsur mulai mereda. Begitu juga bila di poin ketiga menyajikan konflik tingkat lanjut maka di antiklimaks ini juga konflik tingkat lanjut itu juga mulai terurai.

Contoh: Pada akhir sidang tahun 1958, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun masih saja terjadi perdebatan sengit soal dasar negara. Lalu Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960. 

𝐾𝑒𝑒𝑛𝑎𝑚, 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑙𝑒𝑠𝑎𝑖𝑎𝑛. Pada paragraf ini cerita diakhiri. Isinya, bisa penyelesaian yang menyenangkan; menyedihkan; menegaskan kembali pesan di paragraf awal; atau menggantung. Tentu saja menggantung di sini bukan berarti ceritanya terpotong, melainkan si penulis sengaja tidak menyimpulkan ke salah satu dari tiga penyelesaian di atas. Alasannya bisa karena penulis ingin membiarkan pembaca memutuskan sendiri penyelesaiannya atau memang lantaran kejadiannya juga belum bisa diprediksi bakal berujung ke mana. 

Contoh:  penyelesaian yang menyedihkan/mengecewakan bagi blok Islam. Anehnya, meski 𝑑𝑒𝑎𝑑𝑙𝑖𝑛𝑒 masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin.


𝐏𝐨𝐥𝐚 𝐀𝐥𝐮𝐫 𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚

Berdasarkan keenam adegan di atas maka dapat dibuat beberapa pola alur ceritanya. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟/𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑘𝑟𝑜𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠. Dari paragraf-paragraf awal hingga paragraf terakhir secara berurutan polanya berupa: pengenalan --) pemicu munculnya konflik --) konflik semakin merumit --) klimaks --) antiklimaks --) penyelesaian. Pola ini yang paling umum digunakan dalam penulisan alur cerita FN.

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑘𝑖𝑙𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘 (𝑓𝑙𝑎𝑠ℎ𝑏𝑎𝑐𝑘). Untuk memberikan kesan yang dramatis di awal-awal paragraf maka pola kilas balik cocok digunakan karena pembaca langsung disuguhi konflik yang semakin merumit. Polanya: konflik semakin merumit --) pengenalan --) pemicu munculnya konflik --) klimaks --) antiklimaks --) penyelesaian.

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑎𝑐𝑎𝑘. Sesuai namanya. Polanya tidak seperti urutan pada kedua pola di atas. Polanya ya terserah si penulisnya. Mau mulai dari mana saja bebas. Bahkan mau mulai dari penyelesaian terlebih dahulu bisa lho. 

Sebaiknya pola ini hanya dilakukan bila Anda memang sudah bisa membuat FN dengan dua pola sebelumnya. Karena, bila tak dapat menyusunnya dengan landai dan presisi di setiap pergantian adaegannya, cerita yang disajikan terkesan melompat-lompat alias tidak menyambung dari satu adegan ke adegan lainnya.

Coba tebak, FN Janji Itu Dikhianati menggunakan pola yang mana?


𝐌𝐞𝐧𝐚𝐫𝐢𝐤

Apa pun pola yang diambil dalam penulisan alur cerita FN, yang paling menarik tentu saja mengandung konflik. Apalagi konfliknya sampai bertingkat. Nah, FN yang seperti itu pastilah lebih seru lagi dibacanya. Apalagi yang bertingkat-tingkat, jauh lebih seru lagi. Dijamin, insyaAllah. 

Tapi ingat, bila peristiwa yang diangkat menjadi karangan khasnya tidak mengandung konflik, ya jangan dipaksakan menjadi ada konflik, apalagi sampai dibuat konflik bertingkat. Kalau dipaksakan, berarti sudah bukan rekonstruksi peristiwa lagi melainkan sudah rekonstruksi khayalan. 

Kalau sudah khayalan, namanya bukan karangan khas lagi tetapi sudah masuk cerita fiktif (khayalan) yang hanya layak dimuat di cerpen/novel. Pembahasan cerpen/novel bukan lagi dibahas di disiplin ilmu jurnalistik tetapi di disiplin ilmu sastra. 

Ingat, Anda menulis FN itu untuk membuai pembaca dengan alur cerita kisah nyata, bukan khayalan. Kalau khayalan ini diklaim sebagai FN, jadi hoaks namanya. Jangan sekalipun mencoba untuk melakukannya ya.[]


Depok, 25 Dzulqa’dah 1443 H | 24 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :