Tinta Media - Meski tokoh yang diceritakan sama orangnya, bahkan peristiwa yang diangkatnya juga sama tetapi mengapa bila penulisnya berbeda, pesan yang ditangkap jadi berbeda pula? Tokoh Soekarno, misalnya. Dalam banyak tulisan digambarkan sebagai orang yang luar biasa hebatnya, tetapi dengan mengambil peristiwa yang sama bisa pula digambarkan betapa liciknya, lho. Semuanya, baik yang mengesankan hebat maupun licik, benar-benar merupakan rekonsruksi kejadian (bukan khayalan/fiksi). Bila fiksi, sudah keluar dari koridor jurnalistik.
Perbedaan tersebut sebenarnya bukan karena beda penulisnya tetapi memang beda tema yang diambil si penulis. 𝑇𝑒𝑚𝑎 merupakan pokok pikiran yang menjiwai sebuah karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN), mulai dari judul (𝑡𝑖𝑡𝑙𝑒) hingga paragraf terakhir (𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔).
Rumusan tema itu merupakan unsur ekstringsik yang terbentuk dari ideologi, visi, misi tertentu yang sangat memengaruhi semua unsur instringsik yang disajikan dalam FN, mulai dari adegan apa saja dalam peristiwa tersebut ditulis, dan kalimat apa saja dalam peristiwa tersebut dikutip sehingga menjadi satu rekonstruksi kejadian yang menyampaikan pesan sesuai dengan unsur ekstringsiknya.
𝐁𝐚𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐓𝐞𝐦𝐚
Banyak tema yang bisa diangkat. Namun, sebagai Muslim yang terikat hukum Islam yang juga sekaligus sebagai pengemban dakwah tentu saja mesti membatasi tema kepada hal-hal yang tidak melanggar koridor Islam.
Walhasil, ketika merekonstruksi suatu peristiwa yang bertentangan dengan ajaran Islam, upayakan seoptimal mungkin temanya itu menggiring pembaca agar marah bahkan menginspirasi pembaca untuk melawan kezaliman. Begitu juga sebaliknya, bila peristiwanya itu sesuai dengan Islam, buatlah tema sedemikian rupa agar pembaca setuju bahkan menginspirasi pembaca untuk turut memperjuangkan Islam.
Mengapa harus demikian? Karena memang dalam ajaran Islam, kaum Muslim wajib marah/benci dengan kezaliman bahkan wajib nahi mungkar. Wajib senang dengan kebaikan bahkan wajib amar makruf. Diharamkan untuk melakukan kebalikan dari kewajiban itu semua.
Makanya, ketika menulis untuk dipublikasikan (meskipun bukan untuk dakwah) tetap diharamkan menyampaikan pesan yang berkebalikan dengan berbagai kewajiban di atas. Jadi, bila orang sekuler bisa nyaman membuat FN dengan tema yang kadang islami dan kadang bertentangan dengan Islam (tergantung manfaat yang didapat si penulis), maka Muslim bertakwa tentulah akan selalu konsisten membuat FN hanya dalam koridor Islam saja; apa pun risikonya yang ditimpakan oleh sesama makhluk (penguasa zalim, misalnya). Karena, dosa apalagi dosa jariah yang Allah SWT timpakan jauh lebih menakutkan dari kejahatan sesama makhluk.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengajak menuju hidayah maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tapi tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala-pahala mereka. Barangsiapa yang mengajak menuju kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tapi tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka” (HR Muslim).
Hadits tersebut sudah lebih dari cukup dijadikan koridor harga mati yang tak dapat ditawar lagi dalam menentukan tema dalam setiap tulisan yang dibuat, termasuk FN. Berdasarkan tema tersebut maka tokoh-tokoh sekuler yang selama ini dipandang hebat, bisa berubah 180 derajat bila faktanya digali ulang lalu ditulis kembali sesuai tema yang telah ditetapkan di atas. Salah satunya seperti tampak dalam FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Rasakan bedanya. Wallahu a'lam bish-shawab.[]
Depok, 21 Dzulqa’dah 1443 H | 20 Juni 2022 M
Joko Prasetyo
Jurnalis