Tinta Media - Berbicara tentang keadilan, tentu tidak dapat terlepas dari hukum positif yang diterapkan dalam satu negara. Hal ini termasuk pada sedikitnya 1070 kasus yang dihentikan dengan pendekatan restorative justice pada perkara pidana yang ringan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum ( Jampidum) Dr. Fadil Zumhana. (TV One News, 23/5/22)
Menurut Jampidum, restorative justice dapat dilaksanakan karena kejaksaan di Indonesia tidak harus menuntut suatu tindak pidana. Hal ini karena undang-undang di Indonesia tidak mengenal konsep bahwa menuntut merupakan suatu kewajiban (mandatory prosecution), tetapi menganut prinsip diskresi penuntutan, yaitu kejahatan akan dituntut, hanya jika penuntutan itu dianggap tepat dan lebih bermanfaat bagi kepentingan umum.
Cara pandang yang menjadikan manfaat dan kepentingan manusia sebagai pemberat timbangan hukum adalah sebuah warna khas yang dimiliki oleh demokrasi kapitalis. Di sini, sebuah kesejahteraan dalam keadilan hukum hanya dinilai dengan kacamata individu.
Tak jarang dampak dari restorative justice ini adalah disparitas antara korban dan pelaku kejahatan, yang membuat hukum tetap berpihak pada yang memiliki kekuasaan. (Willis R, 2018)
Kriminalitas, di mana pun berada memerlukan hukuman yang setimpal dan menjerakan sehingga tidak merajalela, baik pelaku maupun tindak kejahatan tersebut. Hal ini hanya terjadi jika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam sistem kepemimpinan, karena sistem sanksi dalam Islam tidak menghukum atas timbangan pendapat manusia. Hukuman yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan tidak semata-mata jatuh tanpa ada pencegahan kejahatan sebelumnya.
Kejahatan tidak akan terulang setiap jam bahkan detik, juga tidak membutuhkan biaya yang besar seperti hari ini.
Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga negara akan disandarkan pada aturan yang menyertai manusia akibat konsekuensi penciptaan. Peraturan yang datang dari Sang Khalik adalah aturan yang mencegah dan menghentikan kriminalitas, dan menyejahterakan korban.
Tidak ada ketimpangan yang terjadi dalam sistem sanksi ini, terbukti pada perkara hilangnya baju besi Ali bin Abi Thalib selalu Khalifah pada masa itu. Tidak ada saksi yang valid, membuat hukum tak berpihak pada Khalifah Ali, meski ia memegang jabatan tertinggi dalam negara.
Maka, keadilan hukum tidaklah tentang kebermanfaatan dan kepentingan manusia, tetapi justru keterikatan pada hukum yang bersandar pada aturan Allah Swt.[]
Oleh: Bilqis Inas Nur Hanifah
Sahabat Tinta Media