Banjir TKA Cina, Bukti Rezim Tidak Pro-Rakyat - Tinta Media

Jumat, 03 Juni 2022

Banjir TKA Cina, Bukti Rezim Tidak Pro-Rakyat



Tinta Media - Pernyataan Mantan Kepala Badan Intelegen Negara (BIN), Sutiyoso atau akrab disapa Bang Yos menuai kontroversi. Dalam sambutannya di acara Silaturahmi Tokoh dan Ulama DKI di Jakarta Islamic Center (IJC), Rabu (18/5/2022) ia mengaku khawatir dengan tenaga kerja asing (TKA) asal China yang terus berdatangan ke Indonesia. Menurutnya TKA China berpotensi semakin banyak bekerja dan tinggal hingga akan menjadi mayoritas di Indonesia. Sebagai mantan intel, tentu pernyataan Bang Yos bukan hal yang tanpa dasar. 

Memang tak dapat dimungkiri, bahwa semenjak rezim ini berkuasa, hubungan dengan pemerintah China semakin mesra. Cengkraman investasi China sangat nyata dalam berbagai proyek pembangunan  infrastruktur. Adanya perjanjian Belt Road Initiative (BRI) yang mengikat Indonesia-China, membuat pemerintah kita tak berdaya untuk mengikuti berbagai program kerja sama dengan China, bahkan untuk menolak TKA China.

Terlebih dengan adanya Omnibuslaw UU Ciptakerja Nomer 11 Tahun 2020, para TKA dipermudah datang ke negeri ini. Sejak UU ini diberlakukan, TKA tidak perlu lagi mengantongi surat izin tertulis dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) untuk bisa bekerja di Indonesia.

Sungguh sangat memprihatinkan nasib rakyat Indonesia. Pasalnya, ini terjadi di tengah kegoncangan ekonomi negara, seperti banyaknya pengangguran, baik akibat PHK ataupun sempitnya lapangan pekerjaan. Hal ini menjadikan rakyat sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup yang harganya terus merangkak naik, serta beragam kesulitan lainnya.

Alih-alih memperbaiki perekonomian dan mengurusi rakyat, pemerintah malah terus mendatangkan TKA China. Kebijakan tersebut sangat tidak pantas. Di tengah sulitnya rakyat mencari pekerjaan, para TKA China malah dengan mudah diberikan pekerjaan.

Inilah potret suram kepemimpinan khas demokrasi japitalis yang membuat rakyat sendiri dianaktirikan dengan kebijakan-kebijakan yang proasing. 

Pemimpin dalam kapitalis lahir dari rahim para korporat, sehingga tidak memiliki kedaulatan sendiri. Akhirnya, mereka akan tunduk pada kepentingan para kapital atau pemilik modal. Mereka merancang dan membuat UU yang memuluskan bisnis korporat, meski harus mendzalimi rakyatnya sendiri.

Bukannya diberi pekerjaan, rakyat terus didorong untuk berkarya mandiri melalui UMKM -UMKM karena sempitnya dan kompetitifnya lapangan pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa negara berperan sebagai regulator saja, bukan pengurus rakyat.

Hal tersebut sangat kontras dengan kepemimpinan dalam Islam, yakni khilafah yang berlandaskan akidah Islam. Dalam Islam, konsekuensi kepemimpinan adalah menerapkan syariat Islam untuk mengatur urusan rakyat. Syariat memerintahkan bahwa jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar dan sekunder, serta hak seluruh rakyat merupakan kewajiban negara. Mekanisme jaminan kebutuhan diwujudkan dengan ketersediaan lapangan kerja bagi rakyat.

Di dalam Islam, bekerja merupakan kewajiban bagi setiap lelaki yang telah akil balig. Kewajiban ini berkaitan dengan tanggung jawab syariat yang dibebankan padanya untuk menanggung nafkah orang yang ada dalam tanggung jawabnya.

Karena itu, negara memiliki kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan yang cukup dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyat, menyediakan keterampilan yang dibutuhkan, serta bantuan modal. Sementara, yang tidak memiliki kemampuan karena sakit, cacat,  janda yang tidak memiliki kerabat yang menanggung nafkahnya, negaralah yang akan menanggung kebutuhan mereka. Selain itu, negara memiliki kewajiban menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi seluruh rakyat secara gratis, baik miskin maupun kaya.

Jaminan pembukaan lapangan pekerjaan yang luas bagi seluruh rakyat dapat terwujud karena negara akan mengelola sumber daya alam secara mandiri dan berdaulat, tanpa intervensi dari asing maupun aseng, yaitu dengan memberdayakan potensi SDM dalam negeri sebagai pekerjanya.

Jika memang memerlukan tenaga ahli karena keahliannya, mereka hanya akan disewa karena kemampuannya tersebut untuk akad ijarah dan mengajarkannya kepada kaum muslimin. Jika umat Islam telah menguasai kemampuan tersebut, negara bisa dengan mudah menghentikan kontrak kerja. Oleh karena itu, hanya kepemimpinan Islam yang mampu menjamin kebutuhan rakyat secara berdaulat. 

Wallahu'alam bishawab

Oleh: Thaqiyunna Dewi S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :