Aktualisasi Ideologi Islam Menyongsong Fajar Kebangkitan Hakiki - Tinta Media

Rabu, 01 Juni 2022

Aktualisasi Ideologi Islam Menyongsong Fajar Kebangkitan Hakiki


Tinta Media - Makna kebangkitan identik dengan rasa dan semangat persatuan, kesatuan, dan kesadaran sebuah bangsa yang memiliki tujuan satu melalui gerakan organisasi. Inilah yang tersirat pada perwujudan perjuangan sebelum kemerdekaan Indonesia, pertama kali dipelopori oleh pendiri organisasi Budi Utomo yaitu dr. Wahidin Soedirohoesodo pada tanggal 20 Mei 1908 silam.
 
Adapun maksud dan tujuan organisasi tersebut adalah tercapainya kemajuan bangsa di bidang pendidikan. Tidak berhenti di situ, melainkan sebagai tonggak pergerakan untuk mewujudkan kebangkitan di bidang pertanian, peternakan, perniagaan, industri, hingga kesenian. Dengan kata lain, rakyat harus bangkit dari keterpurukan dan menyongsong masa depan dengan mengaktualisasikan sebuah nilai, moral, dan prestasi yang gemilang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dilakukan agar tercipta sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia yang hakiki, adil, makmur, dan sejahtera. 
 
Seperti agenda yang diselenggarakan tahun 2022 ini, yaitu dengan mengangkat tema "Ayo Bangkit Bersama". Presiden Jokowi berpesan untuk saling bekerja sama dan bangkit untuk memajukan bangsa dari Sabang sampai Merauke, dengan semangat berkobar, penuh damai. Tidak boleh ada yang tertinggal dan tersisihkan (Kompas.com, 20/05/2022).
 
Adanya perayaan Harkitnas ini diharapkan menjadi pendorong bagi kemajuan seluruh elemen bangsa Indonesia, agar cita-cita bangsa dapat tercapai, sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Namun, terhitung 114 tahun peringatan kebangkitan nasional, apakah kita sudah benar-benar bangkit dari keterpurukan?
 
Berbagai negara di dunia memberi label bangkit ketika berhasil mengadakan pembangunan infrastruktur, pemanfaatan teknologi canggih, pengelolaan SDM dan SDA yang melimpah. Namun, apakah semua manusia yang tinggal di dalamnya sudah sepenuhnya merasakan kebangkitan yang dimaksud? 

Tengoklah negara Indonesia. Dengan segala kekayaan yang dimiliki, nampak negeri ini sangat menjanjikan rakyatnya lebih maju dibanding negara lain. Namun, kenyataan justru sebaliknya, tidak memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.
 
Sama saja kebangkitan yang tercipta hanya semu karena cukup dirasakan bagi segelintir orang. Bagi sebagian yang lain, terutama rakyat tidak meraih kebahagiaan secara merata. Keadaan ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum justru kian memburuk. Wajar saja muncul berbagai permasalahan seperti kriminalitas tinggi, pengangguran, permusuhan antar golongan, dan lain-lain. Belum lagi sumber daya alam dikuasai asing dan aseng. Lagi-lagi rakyat tidak menikmati hasilnya, yang ada rakyat terbebani utang yang membengkak. 
 
Jika melihat kondisi umat saat ini, pada umumnya mereka sudah mulai sadar terhadap buruknya kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Kekecewaan, marah, dan rasa tidak puas masyarakat terhadap penguasa diluapkan dalam bentuk sindiran maupun berbagai aksi. Namun, umat belum memahami bahwa berbagai kerusakan yang ada merupakan buah dari sistem yang diterapkan di negeri ini. Di sisi lain, umat kebingungan menentukan jalan mana yang harus ditempuh untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan.
 
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa kebangkitan hakiki bukan dinilai dari taraf ekonomi maupun kemajuan teknologi. Namun, kebangkitan sebenarnya adalah meningkatnya taraf berpikir masyarakat di atas landasan akidah yang sahih, yaitu akidah islamiyah. Akidah sendiri merupakan pemikiran menyeluruh tentang alam, manusia, dan kehidupan, baik sebelum dunia maupun sesudahnya, serta hubungan antara keduanya. 
 
Maka potensi untuk bangkit berasal dari kejeniusan manusia untuk meraihnya. Namun, bukan berarti umat harus meraih pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan berlomba-lomba mendirikan banyak institusi pendidikan agar tercipta generasi yang pintar dan cerdas, melainkan adanya perubahan keadaan dari rendah (terpuruk) menjadi tinggi (berjaya).

Hal ini dijelaskan dalam TQS. Ar-Ra'du ayat 11, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
 
Sungguh hanya ideologi Islamlah yang mampu mendorong ke arah kebangkitan hakiki dengan mengubah pemikiran mendasar (akidah), sehingga memuaskan akal, sesuai fitrah, dan menentramkan hati. Ini karena hanya ideologi Islam satu-satunya yang bersumber dari Sang Pencipta yang dapat menyelesaikan permasalahan kehidupan, bukan dari manusia yang serba terbatas. Apalagi jika terus berpijak pada ideologi kapitalis-sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, tak akan mampu menyatukan pemikiran dan perasaan untuk bangkit.
 
Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw. ketika membangun negara di Madinah. Rasul telah menyampaikan risalah Islam sebagai jalan hidup, menghantarkan manusia dari kejahiliyaan menuju cahaya keimanan. Tak jauh berbeda dengan kondisi sekarang, sangat jelas butuh perubahan untuk bangkit dari kebobrokan sistem kapitalis maupun sosialis, serta ragam turunan pemikiran lain yang rusak, kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat. Tentu bukan sekadar perubahan kepemimpinan, tetapi perubahan dan kebangkitan menuju Islam kaffah.
 
Dalam artian, sebuah negara yang hendak bangkit dan maju harus mampu mengubah pola pikir masyarakatnya, memiliki tujuan hidup berdimensi ruhiyah, dan berdaulat dalam mengelola negara sesuai syariah Islam. Dengan begitu, negara tersebut akan benar-benar memberikan kebaikan pada masyarakat dan kehidupan alam semesta.
 
Wallahu’alam.

Oleh: Yeni Purnamasari, S.T
Muslimah Peduli Generasi
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :