Tinta Media - Baru-baru ini presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang ditandatangani pada 9 Mei 2022. Pada tanggal yang sama, ditandatangani pula oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamongan Laoly. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Antonius Wibowo berharap, UU TPKS bisa segera diimplementasikan oleh para penegak hukum. (detik.com 12/05/2022)
Kasus kekerasan seksual di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sepanjang tahun 2021 saja menurut kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (PPPA), terdapat 10.247 kasus kekerasan. Sebanyak 15,2% adalah kekerasan seksual. Tak hanya itu, kasus kekerasan anak jauh lebih memprihatinkan. Sebanyak 45,1% dari 14.517 merupakan kasus kekerasan seksual. (Kompas.com 19/1/2022)
Jika kita lihat banyaknya kekerasan seksual yang terjadi, seperti guru mencabuli murid, anak memperkosa ibunya, kakek memperkosa cucu, dan banyak lagi kasus serupa. Bahkan, banyak anak di bawah umur yang menjadi korban.Tak sedikit pula pemerkosaan itu berujung pembunuhan. Namun, sejauh ini hukum yang ada seolah tak mampu memberikan efek jera. Pada akhirnya, banyak orang melakukan hal yang serupa.
Ada indikasi bahwa maraknya kasus-kasus serupa terjadi karena banyaknya konten pornografi yang secara bebas bisa diakses di internet. Nafsu yang tidak tersalurkan dengan cara yang benar mendorong pelaku berbuat kemaksiatan. Kondisi ini diperparah dengan gaya hidup serba bebas yang semakin menggurita di tengah-tengah masyarakat.
Seharusnya pemerintah memberikan hukuman yang tegas kepada para pelaku kekerasan maupun kejahatan seksual, agar kasus-kasus yang seperti ini tidak terulang kembali. Akan tetapi, nyatanya hukum hanya dijadikan sebagai peraturan formal saja, bukan diterapkan sebagaimana mestinya.
Selain itu, banyak pula ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum, seperti dalam UU TPKS. Di sana disebutkan bahwa yang terkena hukum ialah mereka yang melakukan hubungan suami istri dengan unsur pemaksaan ataupun kekerasan. Hal ini berarti mereka yang melakukan perbuatan tersebut tanpa paksaan (suka sama suka), tidak termasuk melanggar hukum.
Peraturan UU TPKS tersebut juga bisa menjadi legalisasi pemuda yang pacaran untuk melakukan zina, karena memang dalam UU TPKS ini, mereka yang melakukan hubungan suami istri tanpa ada paksaan atupun unsur kekerasan, tidak bisa dijerat atas UU tersebut.
Lalu bagaimanakah Islam menyelesaikan masalah seperti ini? Apakah di dalam sistem Islam tidak ada pelecehan yang terjadi?
Seperti yang kita ketahui, Islam sangat menjaga perempuan dari pelecehan dan kekerasan. Ini dapat dilihat dari rekam sejarah peradaban Islam. Pada tahun 837 M, Al-Mu’tashim Billah menyambut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah,
“Di mana kau Mutashim … tolonglah aku!”
Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki).
Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana Khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Begitu dimuliakan wanita dalam Islam. Sampai-sampai Khalifah pada saat itu menurunkan pasukan untuk membela kehormatan seorang wanita. Bahkan, untuk mencegah adanya kekerasan pada wanita. Allah berfirman dalam Q.S. An Nur ayat 33, yang artinya:
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.”
Begitulah Islam dalam menentukan hukum. Peraturan tersebut tidak merugikan atau menguntungkan sebagian pihak saja karena yang dijadikan sumber hukum adalah aturan dari Sang Khalik, yaitu Al-Qur'an dan Hadis.
Berbeda halnya dengan sistem kapitalis. Yang berkuasa adalah para pemodal. Jelas merekalah yang mengontrol semua kebijakan yang ada dan menetapkan peraturan hanya sesuai dengan kehendaknya saja. Wallahu Alam Bishawab.
Oleh: Akni Widiana
Pemerhati Pemuda dan Pengajar TPQ