Tinta Media - Harga minyak goreng masih menjadi bulan-bulanan bagi rakyat Indonesia. Keberadaannya yang hingga kini masih tinggi membuat rakyat serba salah. Tidak dibeli mereka membutuhkan, hendak dibeli mereka tidak memiliki kemampuan.
Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah meniupkan angin segar dengan mengumumkan pelarangan ekspor CPO (crude palm oil) alias minyak goreng mentah ke luar negeri. Awalnya, kebijakan ini dimaksudkan agar pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah sehingga harga menjadi murah. Namun, kenyataan jauh dari harapan.
Pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa kebijakan tersebut belum tentu akan menurunkan harga minyak goreng dalam negeri. Dirinya menambahkan bahwa tingginya harga minyak goreng setidaknya dipengaruhi dua faktor. Pertama, pada HET minyak goreng yang ditetapkan pemerintah untuk rakyat. Kedua, penyebab kelangkaan pasokan minyak goreng domestik adalah karena lemahnya pengawasan terhadap para produsen dan distributor minyak.
Menilik pernyataan di atas, kita bisa melihat bahwa sejatinya kebijakan pelarangan ekspor CPO yang dikeluarkan oleh pemerintah tak ubahnya sekadar "lip service" penguasa di hadapan rakyat. Kebijakan tersebut nihil menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, jika tidak diiringi dengan regulasi untuk mengawasi para produsen dan distributor minyak goreng. Mereka akan tetap memilih untuk menjual minyak ke luar negeri jika dirasa lebih menguntungkan.
Lebih miris, pejabat eselon 1 (Dirjen) Kementrian Perdagangan (Kemendag) resni ditetapkan sebagai salah satu tersangka ekspor minyak goreng. Hal itu menjadi preseden buruk bagi pemerintah karena terbukti terlibat dalam ekspor minyak secara besar-besaran sehingga menyebabkan kelangkaan minyak domestik.
Bisa dibayangkan, pihak yang diamanahi untuk mengurusi kebutuhan rakyat memilih bergandengan tangan dengan pengusaha untuk meraup rupiah dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Perjalanan mafia minyak goreng yang melibatkan penguasa adalah fakta umum dalam sistem kapitalisme. Penguasa bekerjasama dengan pengusaha membuat lingkaran oligarki dan berhasil menguasai seluruh sektor ekonomi. Di sinilah negara berganti kostum dari pelayan rakyat menjadi "penghisap darah" rakyat.
Rakyat tak lagi diurusi, bahkan kini mereka diekploitasi melalui tingginya harga minyak goreng dan bahan kebutuhan pokok lainnya.
Jika demikian faktanya, masihkah kita percaya pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa? Lantas, bagaimana nasib negeri kita tercinta kelak?
Bagaimanapun, umat Islam wajib mengawal negeri ini agar tidak jatuh dalam lubang kehancuran. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan terus melakukan dakwah serta muhasabah terhadap penguasa.
Melakukan koreksi terhadap penguasa, serta menasihatinya agar berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari kemunkaran merupakan sesuatu yang penting. Bahkan, Rasulullah saw. menyebutnya sebagai sebaik-baik jihad.
Dari Umu ‘Atiyah dari Abi Sa’id yang menyatakan: Rasulullah saw. bersabda :
“Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang hak di depan penguasa yang zalim.”
Muhasabah terhadap penguasa dilakukan untuk menyeru mereka agar menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan, menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar. Hanya Islam yang mampu membebaskan negeri ini dari jeratan kehancuran dan mengembalikan seluruh potensi yang dimiliki agar menjadi negeri yang makmur berdikari. Wallahu alam bishshawab.
Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media