Tidak Ada yang Gratis dalam Sistem Kapitalis - Tinta Media

Sabtu, 28 Mei 2022

Tidak Ada yang Gratis dalam Sistem Kapitalis


Tinta Media - Rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif listrik pelanggan 3000 VA ke atas, semakin menunjukkan bahwa tidak ada yang gratis dalam sistem kapitalis.

“Harus diakui bahwa tidak ada yang gratis dalam kehidupan yang diatur di bawah sistem kapitalisme,”  tutur Narator Muslimah Media Center (MMC) dalam Serba-Serbi: Kenaikan TDL 3000 VA  ke Atas Rakyat Kecil tetap Terbebani, Sabtu (28/5/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.
 
Untuk sekedar menikmati aliran listrik saja harus berbayar, lanjutnya, kebijakan menaikkan listrik sepertinya sudah menjadi tabiat yang tidak bisa hilang. Padahal baik listrik pada golongan subsidi maupun non- subsidi semuanya membebani masyarakat.
 
Sebab jika pelanggan non subsidi adalah industri, hal ini akan berpengaruh pada kenaikan harga barang-barang yang diproduksi. Jika tarif listrik naik, biaya operasional untuk produksi juga pasti ikut naik. Dan pada akhirnya turut mempengaruhi harga produk yang masyarakat konsumsi.

“Meski pemerintah menerapkan listrik bersubsidi, tetapi dari tahun ke tahun nilai subsidi berkurang. Padahal dengan pemangkasan subsidi, PLN harus menaikkan tarif listrik untuk mengurangi biaya yang besar. Dengan kata lain negara tidak ubahnya pedagang yang sedang menjual dagangannya yakni listrik kepada rakyatnya sendiri,” ungkapnya.

Narator menilai, rakyat  diperlakukan seperti pengemis subsidi dan pelayanan listrik. Tidak ada layanan listrik jika tidak ada bayaran. Begitulah watak penguasa kapitalis.  Padahal listrik adalah salah satu sumber energi yang harusnya bisa dinikmati oleh rakyat dengan murah bahkan gratis.

Negara masih berhitung dalam memberikan pelayanan kepada rakyat lanjutnya,  dan tidak mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat.  Sementara diketahui bahwa negeri ini adalah negeri dengan keberlimpahan batubara.
 
“Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Jamaludin pernah mengemukakan cadangan batubara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton.  Dengan rata-rata produksi batubara sebesar 600 juta ton per tahun umur cadangan batubara masih 65 tahun,” paparnya.

Dengan keberlimpahan  bahan bakar pembangkit listrik ini nilainya,  sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga.  “Kecukupan ini akan terwujud manakala  kekayaan alam yang menguasai hajat publik ini dikelola dengan pandangan syariat Islam bukan dengan liberalisasi energi sebagaimana dalam kapitalisme,” tegasnya.

Menurutnya, konsep liberalisasi energi telah menghilangkan peran negara sebagai penanggung jawab utama dan membiarkan pihak swasta mengelola dan menguasai kekayaan alam milik rakyat. Padahal Rasulullah SAW  bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam 3 perkara yakni padang rumput Air dan Api.” (H.R. Ahmad dan Abu Daud).
 
“Listrik menghasilkan energi panas yang dapat menyalakan barang elektronik.  Dalam hal ini listrik termasuk kategori api yang disebutkan dalam hadis tersebut.  Selain itu batubara yang merupakan bahan pembangkit listrik termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat besar . Dengan demikian haram hukumnya dikuasakan pada individu atau swasta,” jelasnya dengan melanjutkan,

“Maka pengelolaan sumber pembangkit listrik yaitu batubara serta layanan publik berada di tangan negara.  Individu atau swasta tidak boleh mengelolanya dengan alasan apa pun.”

Narator menjelaskan kebijakan  khilafah dalam memenuhi kebutuhan listrik. “Untuk memenuhi kebutuhan listrik khilafah bisa menempuh beberapa kebijakan berikut:  pertama,  membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai.  Kedua, melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri.  Ketiga, mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah. Keempat,  mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan kesehatan keamanan sandang pangan dan papan.

“Seluruh pembiayaan pembangunan pembangkit listrik hingga distribusi aliran listrik menggunakan dana dari Baitul Maal  Khilafah pos Kepemilikan Umum,” imbuhnya.

Kemudian ia memberikan contoh bahwa  peradaban Islam pada masa Khilafah Bani Umayyah menjadi bukti terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat.

“Cordoba menjadi ibukota  Andalusia yang pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang 10 mil tanpa terputus,” contohnya.

Ada sebuah masjid lanjutnya,  dengan 4700 buah lampu yang menerangi yang setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak.

“Dengan pengelolaan listrik berdasar syariat Islam rakyat dapat memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari-harinya dengan biaya yang murah bahkan gratis,” jelasnya menyudahi penuturan. [] Irianti Aminatun
 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :