"The Wrong Man on The Wrong Place" Lumrah dalam Demokrasi - Tinta Media

Sabtu, 21 Mei 2022

"The Wrong Man on The Wrong Place" Lumrah dalam Demokrasi


Tinta Media  - Dunia pendidikan kembali mendapat rapot merah. Selain terjadi loss-learning efek dari pandemi, ternyata dalam pelayanan pun terjadi  kemerosotan, khususnya di Kabupaten Bandung. Sang Bupati membuat keputusan untuk mengangkat beberapa guru agar menempati jabatan struktural di Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung tanpa melalui asesmen atau uji kompetensi. Hal ini sontak menuai cibiran dari berbagai kalangan.

Bahkan, salah seorang mantan inohong pendidikan mengkhawatirkan kondisi saat ini. Ia menilai bahwa pelayanan manajemen sumber daya manusia dalam bidang ini begitu amburadul alias tidak proporsional mulai dari level bawah.

Beberapa jabatan struktur diberikan kepada guru. Mereka dilantik untuk mengurusi administrasi kepegawaian se-Kabupaten Bandung tanpa uji kelayakan, apakah mereka memiliki keahlian untuk melaksanakan tugas. Jika hanya bermodal koneksi tanpa memiliki kompetensi, hal ini justru akan menimbulkan masalah dan mencoreng dunia pendidikan.

Pengangkatan aparat yang tidak kompeten seperti ini kerap kali terjadi di Indonesia. Banyak posisi jabatan yang diserahkan kepada orang tanpa keahlian di bidangnya alias "The Wrong Man on the Wrong Place". Namun, masalah inkompetensi menjadi hal yang lumrah dalam sistem demokrasi sekuler yang dianut negeri ini. Seolah hal tersebut sudah biasa, padahal jelas berdampak pada kinerja dan efektivitas pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak. Hal ini juga berdampak pada kemajuan atau kemerosotan suatu negara.

Dalam sistem demokrasi, praktik kolusi dan nepotisme jabatan seperti ini mendapatkan celah, bahkan tumbuh subur. Para pejabat publik yang memiliki kekuasaan acap kali mengajak keluarga ataupun para kroninya untuk ikut menikmati kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan. Apalagi, hukum di negeri ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sanksi untuk mengatur tindakan tersebut sangat lemah bagi para pemilik kekuasaan sehingga aksi-aksi tersebut terus terjadi.

Kita tahu bahwa kolusi adalah persekongkolan antara dua pihak ataupun lebih untuk melakukan tindakan yang seolah-olah wajar, padahal bertujuan mendapatkan keuntungan alias kerja sama rekayasa untuk maksud yang tidak terpuji. Sedangkan nepotisme merupakan kegiatan seseorang dalam memanfaatkan posisi ataupun kedudukannya untuk lebih mengutamakan keluarga ataupun kerabat di atas kepentingan umum, bahkan atas dasar kompetensi.

Sistem demokrasi sekuler yang selalu diagungkan saat ini merupakan sumber masalah tersebut. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan membuat manusia bebas berperilaku sesuai keinginannya guna mencapai kenikmatan dunia tanpa peduli halal maupun haram. Tindakan kolusi dan nepotisme adalah hal biasa. Jika ada kesempatan, kenapa tidak dilakukan? Padahal, sejatinya itu merupakan perbuatan haram dan berdosa.

Berbeda dengan sistem Islam. Setiap celah kolusi dan nepotisme tertutup rapat. Sistem ini menjadikan syariat atau hukum Allah sebagai aturan dan diterapkan oleh kholifah. Para pemangku jabatan tidak memiliki hak untuk membuat undang-undang, kebijakan, anggaran, proyek dan pengisian jabatan. Mereka dipilih oleh Khalifah. Masyarakat dan melalui Majelis Umat hanya fokus pada fungsi kontrol dan koreksi saja. Jika pemangku jabatan tidak amanah, maka akan diberhentikan dan diganti oleh Khalifah.

Kolusi, nepotisme, dan  suap adalah haram dalam Islam dan merupakan tindakan pengkhianatan. Suap (risywah) yakni memberikan harta kepada pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil atau membatalkan hak orang lain agar haknya didahulukan dari orang lain.

Rasulullah saw bersabda: 

"Allah melaknat para pelaku suap baik penerima maupun pemberi suap suap". (HR. At-Tirmidzi dan abu Dawud)

Islam akan memberikan hukuman yang tegas bagi para pelaku suap, kolusi, dan nepotisme dari mulai hukuman ringan hingga berat. Mulai dari teguran dan nasihat, hukuman cambuk, bahkan hukuman mati sekalipun, tergantung seberapa berat kasus yang terjadi.

Islam adalah sistem untuk kemaslahatan umat. Khalifah bertugas sebagai pengurus rakyat. Ia akan bersungguh-sungguh menjalankan amanah riayah (mengurus) sesuai dengan ketentuan syariat Allah dan tidak akan menzalimi rakyat.

Terlebih dalam mengangkat aparat negara yang bersentuhan langsung dengan kemaslahatan rakyat, yakni pendidikan. Hal ini karena pendidikan dalam Islam mendapatkan perhatian yang besar. Karena itu, pengangkatan aparat negara yang bersentuhan langsung dengan kemaslahatan rakyat seperti pendidikan, pastinya akan mengedepankan profesionalitas efektivitas dan efesiensi dalam pelayanan.

Meskipun ranah pekerjaannya bukan hal yang strategis, tetapi standar kelayakan seseorang mesti mampu menjalankan tugas, lebih diprioritaskan untuk menduduki amanah tersebut.

Wallahu'alam bishawab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :