SISI LAIN ORANG BERTAKWA - Tinta Media

Jumat, 06 Mei 2022

SISI LAIN ORANG BERTAKWA


Tinta Media - RAMADHAN memang telah berakhir. Puasanya juga telah lewat. Namun, sejatinya puasa Ramadhan membekas dalam jiwa setiap Muslim. Meninggalkan takwa dalam dirinya. Takwa yang sebenar-benarnya. Sebabnya, itulah hikmah dari pelaksanaan kewajiban puasa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Menurut Ibn Abi Dunya dalam Kitaab at-Taqwaa mengutip pernyataan Umar bin Abbdul Aziz ra., "Takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan."

Inilah hakikat takwa menurut para ulama. Para ulama pun banyak yang menjelaskan ciri-ciri takwa. Di antaranya dengan mengutip pernyataan Imam Ali ra. Kata Imam Ali ra.

التقوى هي الخوف من الجليل، والعمل بالتنزيل، والقناعة بالقليل، والإستعداد ليوم الرحيل

Takwa itu adalah: (1) Al-Khawf min al-Jaliil (Memiliki rasa takut kepada Zat Yang Mahaagung [Allah SWT]); (2) Al-‘Amal bi at-Tanzîil (Mengamalkan apa yang telah Allah turunkan [al-Quran]); (3) Al-Qanaa’ah bi al-Qalîil (Merasa cukup dengan [harta] yang sedikit); (4) Al-Isti’daad li Yawm ar-Rahiil (Mempersiapkan bekal [amal] untuk menghadapi Hari Penggiringan [Hari Kiamat]) (Muhammad Shaqr, Daliil al-Waa’izh ilaa Adillath al-Mawaa’izh, 1/546).

Sisi Lain Orang Bertakwa

Selain itu, orang bertakwa memiliki sisi lain. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: Makin zuhud terhadap dunia. Pertanyaannya: Apa itu zuhud? Imam Hanbali rahimahulLah berkata, “Zuhud itu ada tiga jenis. Pertama: Meninggalkan keharaman. Ini adalah zuhud orang awam. Kedua: Meninggalkan perkara mubah/halal yang tak bermanfaat. Ini adalah zuhud orang istimewa. Ketiga: Meninggalkan segala perkara yang menyibukkan dari upaya mengingat Allah SWT. Ini adalah zuhud orang arif (yang makrifat kepada Allah SWT, pen.).” (Ibnu al-Qayyim, Madârij as-Sâlikîn, II/14).

Kedua: Senantiasa bersemangat untuk bersaing dengan orang lain dalam perkara akhirat. Bukan dalam perkara dunia. Ini sebagaimana juga kata  Imam Hasan al-Bashri rahimahulLaah, “Jika engkau menyaksikan orang-orang berlomba/bersaing dalam urusan dunia, maka berlombalah/bersainglah dengan mereka dalam urusan akhirat. Sebabnya, dunia mereka itu bakal pergi, sementara akhirat itu kekal abadi.” (Imam Ahmad, Az-Zuhd, hlm. 1634).

Ketiga: Tetap istiqamah dalam beribadah kepada Allah SWT. Seorang yang bertakwa, misalnya, tak hanya rajin dan ber-mujahadah pada saat Ramadhan saja. Apalagi hanya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan karena berharap keutamaan Lailatul Qadar. Sebaliknya, ia akan terus istiqamah beribadah dan ber-mujahadah meski di luar Ramadhan, sepanjang tahun. Terkait ini, seorang ulama berkata, “Bagi seorang arif (orang yang mengenal Allah SWT), setiap malam kedudukannya sama dengan Lailatul Qadar.” (Abu Thalib al-Makki, Quut al-Quluub, 1/119).

Maknanya, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abu al-'Abbas rahimahulLaah, “Seluruh waktu kami adalah Lailatul Qadar. Artinya, ibadah kami setiap waktu senantiasa berlipat ganda.” (Abul Abbas, Iqazh al-Himam Syarh Matan al-Hikam, 1/62).

Keempat: Tidak menunda-nunda untuk melakukan amal shalih. Dalam hal ini Sufyan ats-Syauri rahimahulLaah pernah berkata, “Jika engkau berkeinginan untuk bersedekah, atau melakukan suatu kebajikan, atau beramal shalih maka segerakanlah untuk ditunaikan pada waktunya sebelum engkau dipisahkan dengan keinginan tersebut oleh setan." (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyaa', 7/62).

Kelima: Makin peduli terhadap urusan Islam dan kaum Muslim. Sebabnya, dia sangat memahami Hadis Nabi saw. yang menyatakan, _“Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, dia tidak termasuk golongan mereka.” (HR ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Awsaath, 7/270; Al-Mundziri, At-Targhiib wa at-Tarhiib, 3/35).

Generasi salafush-shaalih begitu tinggi kepeduliannya terhadap Islam dan kaum Muslim. Salah satunya Imam al-Muhasibi rahimahulLaah. Kepeduliannya yang tinggi terhadap Islam dan kaum Muslim tercermin antara lain dalam kata-katanya,

“Demi Allah. Andai waktu bisa dibeli dengan uang, aku akan membelanjakan semua hartaku—tanpa merasa rugi—untuk membeli waktu agar aku bisa lebih leluasa melayani Islam dan kaum Muslim." (Ali bin Nayf asy-Syuhud, Al-Waqt wa Ahammiayatuhu fi Hayaah al-Muslimiin, 1/160).

Semoga semua poin di atas ada pada diri kita sehingga kita layak menyandang gelar muttaqiin.

Wa ma tawfiiqii illaa bilLaah, 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

Hikmah Idul Fitri:

‏قال *الإمام الحافظ ابن رجب رحمه الله تعالى:
والإستغفار ختام الأعمال الصالحة كلها فيختم به الصلاة والحج وقيام الليل ويختم به المجالس...فكذلك ينبغي أن تختم صيام رمضان بالاستغفار

(إبن رجب، لطائف المعارف، ص ٢١٤)

Imam al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulLaah berkata: "Istighfar adalah penutup segala amal shalih. Shalat, ibadah haji, qiyamullail sejatinya ditutup dengan istighfar. Majelis ilmu juga selayaknya ditutup dengan istighfar...Demikian pula shaum Ramadhan hendaknya ditutup dengan istighfar." (Ibnu Rajab, Lathaa'if al-Ma'aarif, hlm. 214).

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :