SIAPA MENGHALANGI REVISI UU MIGAS? - Tinta Media

Sabtu, 28 Mei 2022

SIAPA MENGHALANGI REVISI UU MIGAS?


Menteri Jokowi atau SKK migas dan  DPR yang bermain?

Tinta Media - Mengapa UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi perlu segera di revisi? UU ini biang kerok jatuhnya produksi minyak, dan menurunnya pendapatan negara dari minyak. Bagaimana bisa demikian? 

1. Keberadaan UU tidak lagi kuat untuk mengatur migas. UU ini telah beberapa kali mengalami pengujian di MK, yang mengakibatkan perubahan mendasar dari isi dan struktur kelembagaan yang diatur dalam UU migas. Presiden SBY kala itu mensiasati putusan MK secara tidak tepat mengakibatkan konflik kelembagaan di migas parah dan berkepanjangan. 

2. UU migas menimbulkan aturan yang tidak pasti terkait kelembagaan, kontrak migas, dan konsep penguasaan negara atas migas. Misalnya UU ini dapat diterjemahkan dalam konsep cost recovery, atau Gross split atau bagi hasil lainnya yang meresahkan pelaku usaha migas. 

3. UU Migas gagal dalam mengatasi konflik antara pemerintahan sendiri, konflik antar lembaga dan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam sektor migas banyak sekali lembaga pemerintah atau entitas yang terkait pemerintah berebut otoritas dan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri. Meskipun semuanya tidak mampu bekerja mengangkat produksi migas. 

4. UU migas gagal menarik minat pelaku usaha dalam menanamkan modalnya dalam investasi mogas. Juga gagal dalam menarik minat lembaga keuangan melakukan pembiayaan. Gagal menekan resiko usaha di bidang hulu migas. 

Mengapa selama ini UU migas gagal direvisi sesuai aturan pembentukan peraturan perundangan yang berlaku? 

1) Ego sektoral dari stake holder migas khususnya lembaga legislasi (banyak fraksi).

2) Adanya politik transaksional dari oknum lembaga legislatif dan eksekutif. 

3) Sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah lemah. 

4) Pergantian aktor dibadan legislatif sesuai dengan periode menjabat ditambah dengan tahapan pembentukan RUU menjadI UU yang begitu panjang.

Pemerintah yang seharusnya pro aktif dalam mendorong revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas malah melempem. Bagaimana ceritanya?

1) Tidak adanya kesepakatan mengenai konsep perubahan UU antara anggota legislasi dan pemerintah. Pemerintah kurang inisiatif. 

2) Minat dan kepercayaan investor migas menurun dan muncul pandangan hukum di Indonesia mudah diintervensi. BUMN banyak dirugikan, namun BUMN kurang inisiatif. 

3) Implementasi antara UU dengan pelaksanaan tidak sesuai. Banyak pihak mengambil untung dari situasi tidak pasti. 

4) Keberlanjutan pembahasan RUU menjadi terhambat karena perbadaan pandangan dan kompetensi anggota badan legislatif yang terdahulu dengan yang sedang menjabat.

Gagalnya revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi  telah berakibat :

1) Kontrak-kontrak yang mengacu pada UU Migas seolah-olah memiliki kekebalan terhadap perubahan legislasi yang terjadi di Indonesia sehingga perubahan legislasi yang ada tidak bisa mempengaruhi kontrak-kontrak yang telah terjadi.

2) Nilai country risk menjadi tinggi dan mempengaruhi nilai investasi dan nilai pengembalian investasi atas resiko dan suku bunga bank.

3) Penyalahgunaan ijin wilayah kerja, pengembangan lapangan migas, dan kecurangan amdal dapat terjadi dengan mudah yang menimbulkan kerugian negara.

4) Masing-masing pemangku kepentingan memperjuangkan kepentingan institusi bahkan jabatan masing masing sehingga berpotensi mengorbankan kepentingan negara yang lebih besar. 

Apa yang seharusnya menteri ESDM selaku keading sektor dalam. Sektor migas? Berjuang atas nama pemerintahan Jokowi untuk :

1) Menyelesaikan revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang migas secara komprehensif. Sekarang momentum yang pas pada saat harga minyak naik. 

2) Memberikan jaminan kepastian berusaha kepada. BUMN migas  dan menjamin segala resiko kepada investor yang bekerja sama dengan BUMN agar mereka tidak takut dengan hukum Indonesia. 

3) Menyerahkan sektor hulu migas dibawah komando Pertamina dengan dukungan kebijakan, anggaran dan mengusahakan investor yang bonafit untuk bekerja sama dengan Pertamina. 

4) Meningkatkan sinergitas dan integritas  pemangku kepentingan, melepaskan bisnis pribadi berkaitan dengan jabatan, membantu negara dalam meningkatkan penerimaan negara dari migas membangun stabilitas agar tercipta kepastian hukum dan kenyamanan dalam berusaha.

Nah coba ini pak Jokowi bisa bicarakan dengan menteri ESDM, Menhumham, Menkeu, MenBUMN, barangkali mereka masih ada gunanya bagi ketahanan energi nasional ke depan. Mudah mudahan.

Oleh: Salamuddin Daeng 
Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :