Tinta Media - Umumnya para sejarawan menyebut penjajahan Belanda dengan istilah akademis: kolonial, kolonialisasi, kolonialisme Belanda atau pemerintah kolonial. Istilah-istilah itu tentu tidak salah tapi "kurang memberikan pesan" bahwa pada era konialisme Eropa, Belanda adalah penjajah.
Walaupun sama artinya tapi berbeda bobotnya penyebutan 'kolonial' dengan 'penjajah.' Sebagai istilah akademik, kolonial itu cenderung netral, datar, tak ada emosinya dan penekanan bahwa mereka adalah penjajah, walaupun 'to colonize' artinya menjajah dan 'colonizer' adalah penjajah. Itu soal psikologis istilah asing dan bahasa sendiri.
Dalam menyebut 'Belanda' juga, para sejarawan hanya menyandingkan dengan kata bangsa, negeri atau pemerintah: Bangsa Belanda, Negeri Belanda, Pemerintah Kolonial Belanda. Lebih dari itu, para sejarawan sangat jarang sekali yang menyebut Belanda dengan agamanya: Kristen Protestan.
Dari hampir semua sejarawan atau akademisi, kalau kita amati, adalah sejarawan senior Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) yang ketika menyebut Belanda selalu dengan kata PENJAJAH, IMPERIALIS bahkan lengkap dengan agamanya KERAJAAN KRISTEN PROTESTAN BELANDA. Dan lagi yang menarik, selalu dengan huruf besar seperti pada statusnya di bawah ini.
Walaupun sama artinya tapi berbeda bobotnya penyebutan 'kolonial' dengan 'penjajah.' Sebagai istilah akademik, kolonial itu cenderung netral, datar, tak ada emosinya dan penekanan bahwa mereka adalah penjajah, walaupun 'to colonize' artinya menjajah dan 'colonizer' adalah penjajah. Itu soal psikologis istilah asing dan bahasa sendiri.
Dalam menyebut 'Belanda' juga, para sejarawan hanya menyandingkan dengan kata bangsa, negeri atau pemerintah: Bangsa Belanda, Negeri Belanda, Pemerintah Kolonial Belanda. Lebih dari itu, para sejarawan sangat jarang sekali yang menyebut Belanda dengan agamanya: Kristen Protestan.
Dari hampir semua sejarawan atau akademisi, kalau kita amati, adalah sejarawan senior Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) yang ketika menyebut Belanda selalu dengan kata PENJAJAH, IMPERIALIS bahkan lengkap dengan agamanya KERAJAAN KRISTEN PROTESTAN BELANDA. Dan lagi yang menarik, selalu dengan huruf besar seperti pada statusnya di bawah ini.
PANGERAN DIPONEGORO sesudah IDUL FITRI memenuhi ajakan Jenderal de COCK dari imperialis KERAJAAN PROTESTAN BELANDA untuk berunding di Benteng Kompeni di MAGELANG. Membicarakan PERANG JAWA atau PERANG DIPONEGORO yang berlangsung Lima Tahun 1825 - 1830. Tapi imperialis tidak pernah jujur.
Ajakan Perundingan diakhiri dengan PENANGKAPAN dan PEMBUANGAN.
FAKTA SEJARAH membuktikan ULAMA selalu tampil sbg GARDA TERDEPAN, Jihad Fi Sabilillah membebaskan INDONESIA dari PENJAJAHAN KERAJAAN PROTESTAN BELANDA:
PANGERAN DIPONEGORO
KIAI MODJO
SENTOT ALIBASAH PRAWIRO SOEDIRDJO
Di tengah bangsa Indonesia yang mau melupakan Jasa Pahlawan,
PRESIDEN SOEKARNO mengingatkan HANYA BANGSA YANG BESAR YANG MAU MENGHORMATI JASA PAHLAWANNYA.
Lihatlah, hampir di semua tulisannya tentang sejarah Islam Nusantara yang sekarang terepresentasikan dalam buku best-seller master piece-nya, Api Sejarah, 2 jilid tebal. AMS sangat jarang menulis 'kolonial' atau menyebut 'Pemerintah Belanda' saja tapi selalu memilih kata 'penjajah' bahkan lengkap 'Kerajaan Kristen Protestan Belanda.'
Apa arti dan maknanya? Psikologinya menarik untuk dijelaskan.
Pertama, AMS paling greget diantara para sejarawan dalam menyadari dan memberikan informasi bahwa Belanda itu penjajah, imperalis dan Kristen. Menyebut kolonial itu netral, hambar, tak ada energinya dan kurang menekankan pesan bahwa Belanda adalah penjajah.
Kedua, bila 'kolonial' adalah bahasa akademik, 'penjajah' adalah bahasa emosi. Kedua kata itu tensinya berbeda. Seperti kita membaca kata 'tahanan,' 'sel' atau 'lembaga pemasyarakatan' beda dengan kata 'penjara.' Atau, kata 'korupsi' beda dengan 'maling' atau 'bangsat.' Para koruptor tampak kurang malu dengan kata koruptor, banyak yang disorot kamera malah tersenyum melambaikan tangan, padahal dia bangsat. Makanya, ada yang mengusulkan diganti saja dengan 'maling' supaya lebih tak enak kedengarannya.
Bahasa itu akan terasa pengaruhnya bila ada tekanan emosi. Tulisan atau pemikiran yang menarik dan memiliki daya pengaruh bila ada muatan emosinya dan semangat yang ditanamkan. Sama juga dengan bahasa oral atau lisan. Itulah, kata 'kolonial' beda tekanan maknanya dengan 'penjajah.'
Ketiga, AMS memesankan bahwa konflik dan pertengkaran antar manusia dalam sejarah pada dasarnya adalah konflik dan pertengkaran yang juga didasari agama. Aspek primordial tidak hilang atau tidak bisa disembunyikan bahwa misi agama turut berperan atau mempengaruhi. Perang agama, kepentingan agama atau atas nama agama terjadi sepanjang sejarah dan dimana pun. Menyembunyikannya hanya kepura-puraan dan perdamaian antar agama hanyalah kamuflase. Bukan harus selalu berperang tapi konflik antar agama akan selalu ada dan sudah berjalan sepanjang sejarah.
Karen Amstrong menulis buku-buku tebal tentang perang agama: Holy War: The Crusades and Its Impact to Todays World (1991), Field of Blood: Religion and the History of Violence (2014) dan The Battle For God (Perang atas Nama Tuhan). Buku-buku lain tentang perang agama sangat banyak.
John Lennon dalam lagunya 'Imagine' boleh berharap: "Imagine there's no countries/ It isn't hard to do/ Nothing to kill or die for/ And no religion too/ Imagine all the people/ Living life in peace." Tapi dia sendiri dan semua tahu, itu hanya imagine alias bayangan saja.
Atas penjelasan itu, artinya AMS ingin menegaskan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun di Nusantara, selain faktor ekonomi, didasari dan disemangati juga oleh faktor agama dalam slogan "glory, gold, gospel" yang terkenal itu. Kristen Eropa ingin menjajah negeri-negeri Muslim sebagai warisan dari Perang Salib dengan melalui penguasaan ekonomi. Perang agama adalah real alias nyata, baik alasan efek penyebaran agama (Islam) atau penjajahan (Kristen).
Atas ketiga alasan itulah, ASM ingin memesankan untuk tidak melupakan unsur agama dalam melihat proses penjajahan Belanda, walaupun asalnya ekonomi, tapi semangat agama telah menjadi motivasi penting sehingga penjajahan Belanda sesungguhnya adalah penjajahan agama dan peperangan melawan kolonial hakikatnya adalah perang antar agama. Landasan dan motivasi agama ini masih akan terus terjadi di masa depan.
Bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad, membela tanah air dan bangsa adalah pemaknaan sekuler. Tanah air hanya benda mati dan tak akan berubah. Kesadaran bangsa saat itu belum ada dan tak akan sekuat kesadaran agama.
Tujuan para ulama melawan penjajah bukan hanya merdeka tapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah agama. Kalau sudah dikaitkan dengan kesadaran agama, spirit menjadi hidup, motivasi menjadi kuat, energi menjadi berlipat dan hidup menjadi bermakna. Itulah rahasia kemenangan perlawanan para ulama dalam mengusir penjajah Belanda yang Kristen Protestan.
Begitulah kira-kira pembongkaran psikologi sejarah dan pesan spiritual dibalik makna kata 'penjajah' dan 'Kerajaan Kristen Protestan' yang selalu konsisten dituliskan sejarawan AMS dalam menyebut dan menulis kata Belanda dalam sejarah Islam Indonesia. Wallāhu a'lam.
Oleh: Moeflich H. Hart
Sejarawan
Lihatlah, hampir di semua tulisannya tentang sejarah Islam Nusantara yang sekarang terepresentasikan dalam buku best-seller master piece-nya, Api Sejarah, 2 jilid tebal. AMS sangat jarang menulis 'kolonial' atau menyebut 'Pemerintah Belanda' saja tapi selalu memilih kata 'penjajah' bahkan lengkap 'Kerajaan Kristen Protestan Belanda.'
Apa arti dan maknanya? Psikologinya menarik untuk dijelaskan.
Pertama, AMS paling greget diantara para sejarawan dalam menyadari dan memberikan informasi bahwa Belanda itu penjajah, imperalis dan Kristen. Menyebut kolonial itu netral, hambar, tak ada energinya dan kurang menekankan pesan bahwa Belanda adalah penjajah.
Kedua, bila 'kolonial' adalah bahasa akademik, 'penjajah' adalah bahasa emosi. Kedua kata itu tensinya berbeda. Seperti kita membaca kata 'tahanan,' 'sel' atau 'lembaga pemasyarakatan' beda dengan kata 'penjara.' Atau, kata 'korupsi' beda dengan 'maling' atau 'bangsat.' Para koruptor tampak kurang malu dengan kata koruptor, banyak yang disorot kamera malah tersenyum melambaikan tangan, padahal dia bangsat. Makanya, ada yang mengusulkan diganti saja dengan 'maling' supaya lebih tak enak kedengarannya.
Bahasa itu akan terasa pengaruhnya bila ada tekanan emosi. Tulisan atau pemikiran yang menarik dan memiliki daya pengaruh bila ada muatan emosinya dan semangat yang ditanamkan. Sama juga dengan bahasa oral atau lisan. Itulah, kata 'kolonial' beda tekanan maknanya dengan 'penjajah.'
Ketiga, AMS memesankan bahwa konflik dan pertengkaran antar manusia dalam sejarah pada dasarnya adalah konflik dan pertengkaran yang juga didasari agama. Aspek primordial tidak hilang atau tidak bisa disembunyikan bahwa misi agama turut berperan atau mempengaruhi. Perang agama, kepentingan agama atau atas nama agama terjadi sepanjang sejarah dan dimana pun. Menyembunyikannya hanya kepura-puraan dan perdamaian antar agama hanyalah kamuflase. Bukan harus selalu berperang tapi konflik antar agama akan selalu ada dan sudah berjalan sepanjang sejarah.
Karen Amstrong menulis buku-buku tebal tentang perang agama: Holy War: The Crusades and Its Impact to Todays World (1991), Field of Blood: Religion and the History of Violence (2014) dan The Battle For God (Perang atas Nama Tuhan). Buku-buku lain tentang perang agama sangat banyak.
John Lennon dalam lagunya 'Imagine' boleh berharap: "Imagine there's no countries/ It isn't hard to do/ Nothing to kill or die for/ And no religion too/ Imagine all the people/ Living life in peace." Tapi dia sendiri dan semua tahu, itu hanya imagine alias bayangan saja.
Atas penjelasan itu, artinya AMS ingin menegaskan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun di Nusantara, selain faktor ekonomi, didasari dan disemangati juga oleh faktor agama dalam slogan "glory, gold, gospel" yang terkenal itu. Kristen Eropa ingin menjajah negeri-negeri Muslim sebagai warisan dari Perang Salib dengan melalui penguasaan ekonomi. Perang agama adalah real alias nyata, baik alasan efek penyebaran agama (Islam) atau penjajahan (Kristen).
Atas ketiga alasan itulah, ASM ingin memesankan untuk tidak melupakan unsur agama dalam melihat proses penjajahan Belanda, walaupun asalnya ekonomi, tapi semangat agama telah menjadi motivasi penting sehingga penjajahan Belanda sesungguhnya adalah penjajahan agama dan peperangan melawan kolonial hakikatnya adalah perang antar agama. Landasan dan motivasi agama ini masih akan terus terjadi di masa depan.
Bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad, membela tanah air dan bangsa adalah pemaknaan sekuler. Tanah air hanya benda mati dan tak akan berubah. Kesadaran bangsa saat itu belum ada dan tak akan sekuat kesadaran agama.
Tujuan para ulama melawan penjajah bukan hanya merdeka tapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah agama. Kalau sudah dikaitkan dengan kesadaran agama, spirit menjadi hidup, motivasi menjadi kuat, energi menjadi berlipat dan hidup menjadi bermakna. Itulah rahasia kemenangan perlawanan para ulama dalam mengusir penjajah Belanda yang Kristen Protestan.
Begitulah kira-kira pembongkaran psikologi sejarah dan pesan spiritual dibalik makna kata 'penjajah' dan 'Kerajaan Kristen Protestan' yang selalu konsisten dituliskan sejarawan AMS dalam menyebut dan menulis kata Belanda dalam sejarah Islam Indonesia. Wallāhu a'lam.
Oleh: Moeflich H. Hart
Sejarawan