Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin mengungkapkan bahwa demokrasi hanya memberikan kedaulatan kepada kaum kapital.
"Demokrasi sejatinya tidak memberikan kedaulatan kepada rakyat, melainkan kepada kaum kapital," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/5/2022).
Ahmad melanjutkan, kata kunci penguasaan kekuasaan oleh oligarki ada pada kedaulatan kapital. Kedaulatan kapital inilah, yang menyebabkan hanya presiden yang didukung kapital yang bisa menang Pilpres. "Kalau tidak ada kapital, mimpi saja mau jadi presiden meskipun dia hebat, ilmunya sundul langit," sindirnya.
Ia pun mengungkapkan, kebutuhan untuk kampanye, uang saksi, uang koordinasi, uang sewa konsultan politik, sewa buzer, sewa iklan TV, sewa aktivis, hingga uang untuk membeli suara, semuanya itu tidak gratis. "Semua itu butuh duit, dan yang bisa mensuplai adalah kaum oligarki," jelasnya.
"Inilah realitas sistem politik demokrasi. Kapital pemilik daulat penuh, sementara politisi hanyalah hamba kapital, hamba oligarki. Rakyat hanya ditipu dengan jargon 'kedaulatan rakyat'," ungkapnya.
Diantara argumentasi orang yang masih ngeyel dan Istiqomah dengan demokrasi, lanjutnya, adalah bahwa pangkal masalah pemilu kita ada pada ambang batas pencapresan yang dipatok 20 % (Presidential Threshold/PT). Mereka berimajinasi, kalau ambang batasnya dibuat 0 % maka akan banyak capres-cawapres yang maju, banyak alternatif, sehingga pencapresan tidak dikendalikan oligarki dan partai politik.
"Kalaupun, katakanlah PT diubah menjadi 0% bukan berarti oligarki tidak berkuasa. Bukan berati tangan oligarki dipotong dengan PT 0 %. Sebaliknya, Oligarki makin digdaya. Sebab, untuk menguasai capres oligarki tidak perlu media partai politik. Oligarki bisa bertransaksi langsung dengan capres dengan harga yang jauh lebih murah, ketimbang melalui parpol dan tidak perlu membayar mahar politik kepada parpol," jelasnya.
"Kalaupun ada peran parpol harganya lebih murah, karena tidak perlu parpol dengan suara 20%. Parpol gurem pun bisa dibeli murah untuk kendaraan maju pilpres. Dan ingat, oligarki hanya ingin berbisnis politik bukan melayani rakyat. Mereka akan membiayai semua calon sebagai bentuk investasi, dengan tujuan siapapun pemenangnya semuanya akan melayani kepentingan oligarki," bebernya.
Ahmad pun menegaskan, bahwa rakyat hanya cukup dilayani saat kampanye pemilu. Rakyat menjadi raja hanya saat pemilu, selanjutnya menjadi budak selama lima tahun. Siklus ini terus berulang-ulang tanpa ada perubahan yang signifikan.
"Karena itu, jika serius ingin memotong tangan oligarki, tegakkan sistem Islam, buang demokrasi, tegakkan Khilafah. Masih ragu dengan kerusakan demokrasi?," pungkasnya.[] Willy Waliah
"Demokrasi sejatinya tidak memberikan kedaulatan kepada rakyat, melainkan kepada kaum kapital," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/5/2022).
Ahmad melanjutkan, kata kunci penguasaan kekuasaan oleh oligarki ada pada kedaulatan kapital. Kedaulatan kapital inilah, yang menyebabkan hanya presiden yang didukung kapital yang bisa menang Pilpres. "Kalau tidak ada kapital, mimpi saja mau jadi presiden meskipun dia hebat, ilmunya sundul langit," sindirnya.
Ia pun mengungkapkan, kebutuhan untuk kampanye, uang saksi, uang koordinasi, uang sewa konsultan politik, sewa buzer, sewa iklan TV, sewa aktivis, hingga uang untuk membeli suara, semuanya itu tidak gratis. "Semua itu butuh duit, dan yang bisa mensuplai adalah kaum oligarki," jelasnya.
"Inilah realitas sistem politik demokrasi. Kapital pemilik daulat penuh, sementara politisi hanyalah hamba kapital, hamba oligarki. Rakyat hanya ditipu dengan jargon 'kedaulatan rakyat'," ungkapnya.
Diantara argumentasi orang yang masih ngeyel dan Istiqomah dengan demokrasi, lanjutnya, adalah bahwa pangkal masalah pemilu kita ada pada ambang batas pencapresan yang dipatok 20 % (Presidential Threshold/PT). Mereka berimajinasi, kalau ambang batasnya dibuat 0 % maka akan banyak capres-cawapres yang maju, banyak alternatif, sehingga pencapresan tidak dikendalikan oligarki dan partai politik.
"Kalaupun, katakanlah PT diubah menjadi 0% bukan berarti oligarki tidak berkuasa. Bukan berati tangan oligarki dipotong dengan PT 0 %. Sebaliknya, Oligarki makin digdaya. Sebab, untuk menguasai capres oligarki tidak perlu media partai politik. Oligarki bisa bertransaksi langsung dengan capres dengan harga yang jauh lebih murah, ketimbang melalui parpol dan tidak perlu membayar mahar politik kepada parpol," jelasnya.
"Kalaupun ada peran parpol harganya lebih murah, karena tidak perlu parpol dengan suara 20%. Parpol gurem pun bisa dibeli murah untuk kendaraan maju pilpres. Dan ingat, oligarki hanya ingin berbisnis politik bukan melayani rakyat. Mereka akan membiayai semua calon sebagai bentuk investasi, dengan tujuan siapapun pemenangnya semuanya akan melayani kepentingan oligarki," bebernya.
Ahmad pun menegaskan, bahwa rakyat hanya cukup dilayani saat kampanye pemilu. Rakyat menjadi raja hanya saat pemilu, selanjutnya menjadi budak selama lima tahun. Siklus ini terus berulang-ulang tanpa ada perubahan yang signifikan.
"Karena itu, jika serius ingin memotong tangan oligarki, tegakkan sistem Islam, buang demokrasi, tegakkan Khilafah. Masih ragu dengan kerusakan demokrasi?," pungkasnya.[] Willy Waliah