Tinta Media - Program dana bergulir tanpa bunga telah diluncurkan oleh Bupati Bandung. Program ini bekerja sama dengan bank BJB dan BPR yang disalurkan sesuai usulan RT dan RW (Jabarnews.id).
Tujuan program dana bergulir ini adalah membantu kalangan masyarakat, terutama untuk menghilangkan eksistensi bank emok (rentenir).
Program ini ternyata banyak menuai kritikan. Salah satunya dari Firman B. Somantri, anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bandung. Beliau mengkritik program tersebut karena dinilai banyak kekurangan. Di antaranya terkait dengan kemampuan nasabah dalam membayar pinjaman.
Meskipun tidak ada syarat jaminan/bunga, akan tetapi jika peminjam tidak mampu membayar, maka akan ada catatan di perbankan. Ini akan menjadi pangkal masalah nasabah tersebut apabila ada kepentingan lain di perbankan. Belum lagi berdasarkan survei, ternyata masyarakat lebih cenderung pinjam uang ke bank emok (rentenir) yang lebih mudah dan cepat. Mengapa bisa demikian?
Masyarakat saat ini cenderung tidak ingin disulitkan oleh kondisi birokrasi yang berbelit - belit. Betul, pinjaman bergulir tersebut tanpa ada jaminan bunga. Namun, urusan dengan dunia perbankan bisa berbuntut panjang apabila di tengah jalan masyarakat tidak mampu membayar cicilan.
Bantuan dalam bentuk pinjaman dianggap akan tetap membebani warga untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut. Artinya, solusi yang ditawarkan tidak menyelesaikan masalah.
Sesungguhnya, akar masalahnya bukan keberadaan bank emok, tapi kemiskinan akibat penerapan sistem kapitalisme yang memaksa masyarakat mencari pinjaman melalui bank emok.
Faktanya, masalah kemiskinan bukan masalah baru di negri ini. Sementara itu, negara kita masih terjerat dengan utang riba yang menyebabkan kas negara habis terkuras untuk membayar cicilan utang.
Belum lagi dalam sistem ekonomi kapitalis sumber daya alam diserahkan dan dikuasai oleh pihak asing, sehingga negara tidak ada dana untuk membiayai rakyat. Rakyat dipalak dengan berbagai pungutan pajak. Pelayanan publik dipangkas hingga subsidi pun menjadi nyaris hilang.
Jadi, sangat mustahil kemiskinan ekstrim ini bisa dientaskan. Sungguh tampak jelas, negara lalai dalam mengurusi rakyat. Menggantungkan harapan pada sistem demokrasi kapitalistik untuk mengentaskan kemiskinan hanyalah isapan jempol belaka.
Beda halnya dalam negara Islam, dengan segala aturannya yang paripurna dapat menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Ini semua dapat terjadi, karena negara Islam menyelesaikan dengan berbagai langkah yang sistematik. Mulai dari larangan aktivitas ribawi dalam segala kegiatan perekonomian, kebutuhan pokok massal dipenuhi oleh negara. Begitu juga dalam hal kesehatan, pendidikan, keamanan, semuanya diatur dan dijamin sepenuhnya oleh negara.
Pendapatan per keluarga teralokasikan untuk semua kebutuhan individu. Kaum perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Sejatinya kodrat perempuan sebagai “Ummu warobatul bait“, yang akan mencetak generasi handal dan unggul.
Pengelolaan sumber daya alam akan diatur oleh negara secara adil. Negara pun akan mengatur dengan baik kepemilikan umum, negara, dan individu dehingga tidak menimbulkan kemudaratan.
Sistem keuangan negara Islam menggunakan baitul mal dengan pos pendapatan tanpa pungutan pajak dan utang, dengan sistem ekonomi Islam yang memang tujuannya untuk menyejahterakan.
Lapangan usaha dibuka lebar, modal difasilitasi, skill diberikan, pemasaran diberikan prasarana, hingga pada akhirnya kemiskinan teratasi
Demikianlah langkah sistematik yang akan negara Islam lakukan untuk menuntaskan kemiskinan hingga ke akarnya. Rakyat akan merasakan manisnya kesejahteraan, keamanan yang hakiki dalam negara Islam.
Wallahu alam bi shawab.
Oleh: Erlyn Lisnawati
Sahabat Tinta Media