Tinta Media - “Bukan hanya ilmu dan teknologi, peradaban Islam juga perintis berbagai resep makanan enak dan bergizi di dunia,” tutur Narator Histori Insight: India, Nasi Briyani dan Tentara Muslim, melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Rabu (18/5/2022).
Narator menjelaskan bahwa seni kuliner juga mendapat perhatian yang begitu besar dari para ilmuwan muslim. “Tak heran jika beragam aneka resep makanan dan hidangan berkembang pada masa keemasan Khilafah Islam,” tukasnya.
“Pengembangan seni kuliner di era keemasan Islam tak dilakukan secara serampangan. Setiap hidangan dan resep yang diciptakan, merupakan hasil dari penelitian dan didasarkan pertimbangan penata diet,” tambahnya.
“Sebelum sebuah hidangan diperkenalkan kepada publik, para ahli kuliner Muslim meracik resep masakannya dengan penuh pertimbangan, sehingga hidangan yang diciptakan tak hanya lezat disantap namun juga mengandung unsur-unsur pengobatan,”tegasnya.
Maka lanjutnya, para dokter muslim pun berlomba untuk mencari dan meneliti rempah-rempah yang dapat dijadikan bumbu masak sekaligus berguna bagi kesehatan. Hasil penelitian para dokter muslim itu lalu diterapkan para koki terkemuka muslim dalam meracik makanan dan hidangan.
Ia menuturkan, beberapa buku kuliner yang dihasilkan para koki Muslim itu antara lain Kanz al-faha’id fi tanwi’ al-maw’id yang ditulis seorang koki tak dikenal dari Mesir. Fadhalat al-ikhwan fi athayyibat at-tha’am wa-‘l-‘alwan yang ditulis Ibnu Razin Attujibi pada abad ke-12 di Spanyol.
Sebagai contoh, Narator mengisahkan bagaimana menu nasi briyani itu tercipta. Dikisahkan bahwa Mumtaz Mahal yang bernama asli Arjumand Banu Begum adalah permaisuri kesayangan Sultan Mughal yang bergelar Shah Jahan di India. “Permaisuri cantik yang cerdas dan baik hati inilah yang menjadi inspirasi atas dibangunnya Taj Mahal nan megah di Agra India,” kisah Narator.
“Suatu ketika Mumtaz Mahal memasuki barak pasukan Kesultanan Mughal India. Ia ingin melihat bagaimana kondisi prajurit yang memiliki tugas berjihad. Namun betapa terkejutnya ketika ia melihat kondisi pasukan yang kurus dan kepayahan layaknya kekurangan gizi. Bagaimana mungkin para pasukan harus mengemban tugas yang sangat menguras tenaga sedangkan kondisi fisik mereka lemah,” lanjutnya.
Mumtaz Mahal, kata Narator, berinisiatif untuk menciptakan sebuah hidangan yang padat gizi terutama karbohidrat dan protein untuk para tentara jihad. Mumtaz Mahal menugaskan 12 dapur istana yang terdiri dari ratusan koki untuk menyelesaikan masalah ini.
Sesuai permintaan sang permaisuri, para koki istana kemudian berdiskusi dan selalu mencoba resep-resep baru. “Setelah melakukan berbagai percobaan akhirnya terciptalah menu berupa nasi briyani. Nasi briyani adalah sajian berupa nasi yang diolah bersama daging dan beragam rempah yang kuat. Setidaknya ada 15 jenis rempah yang digunakan dalam memasak nasi briyani ini,” jelasnya.
“Berkat penemuan ini akhirnya para prajurit Islam di Mughal bisa merasakan makanan yang kaya cita rasa dan tentunya bergizi,” tukasnya.
Betapa menakjubkannya peradaban Islam di bawah naungan Daulah Khilafah, kata Narator melanjutkan, gizi dan kesehatan prajurit Islam dan masyarakat tidak hanya diperhatikan melalui pengobatan dan pengembangan dunia kesehatan, namun juga dari apa yang dikonsumsi oleh masyarakat.
“Negara khilafah tidak hanya memikirkan dan memastikan pasokan makanan tersedia bagi masyarakat, namun juga memikirkan bagaimana mengolahnya hingga menjadi sajian yang lezat dan bergizi tinggi,” tandasnya.
Narator lalu membandingkan dengan kondisi saat ini, “Namun sungguh miris kehidupan kaum muslimin tanpa khilafah seperti saat ini. Jangankan pemastian makanan yang dikonsumsi masyarakat bergizi dan menyehatkan, jaminan tersedianya stok pangan saja tidak ada,” sesalnya.
“Harga-harga bahan pangan tinggi, hanya keluarga berada yang mampu membeli makanan bergizi. Banyak keluarga miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, apalagi makanan yang bergizi tinggi,” imbuhnya.
Menurut Narator, hal ini terjadi karena negara kapitalis menyerahkan semua pengurusan rakyat pada swasta yang selalu mencari untung, tidak ada tanggung jawab untuk mengurus rakyat. “Tak heran jika makanan yang beredar di masyarakat minim gizi dan tak aman untuk kesehatan. Makanan yang banyak beredar justru mendatangkan penyakit seperti kanker, obesitas, diabetes dan sebagainya," ungkapnya.
“Hanya dalam khilafah makanan bergizi akan benar-benar dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Narator menjelaskan bahwa seni kuliner juga mendapat perhatian yang begitu besar dari para ilmuwan muslim. “Tak heran jika beragam aneka resep makanan dan hidangan berkembang pada masa keemasan Khilafah Islam,” tukasnya.
“Pengembangan seni kuliner di era keemasan Islam tak dilakukan secara serampangan. Setiap hidangan dan resep yang diciptakan, merupakan hasil dari penelitian dan didasarkan pertimbangan penata diet,” tambahnya.
“Sebelum sebuah hidangan diperkenalkan kepada publik, para ahli kuliner Muslim meracik resep masakannya dengan penuh pertimbangan, sehingga hidangan yang diciptakan tak hanya lezat disantap namun juga mengandung unsur-unsur pengobatan,”tegasnya.
Maka lanjutnya, para dokter muslim pun berlomba untuk mencari dan meneliti rempah-rempah yang dapat dijadikan bumbu masak sekaligus berguna bagi kesehatan. Hasil penelitian para dokter muslim itu lalu diterapkan para koki terkemuka muslim dalam meracik makanan dan hidangan.
Ia menuturkan, beberapa buku kuliner yang dihasilkan para koki Muslim itu antara lain Kanz al-faha’id fi tanwi’ al-maw’id yang ditulis seorang koki tak dikenal dari Mesir. Fadhalat al-ikhwan fi athayyibat at-tha’am wa-‘l-‘alwan yang ditulis Ibnu Razin Attujibi pada abad ke-12 di Spanyol.
Sebagai contoh, Narator mengisahkan bagaimana menu nasi briyani itu tercipta. Dikisahkan bahwa Mumtaz Mahal yang bernama asli Arjumand Banu Begum adalah permaisuri kesayangan Sultan Mughal yang bergelar Shah Jahan di India. “Permaisuri cantik yang cerdas dan baik hati inilah yang menjadi inspirasi atas dibangunnya Taj Mahal nan megah di Agra India,” kisah Narator.
“Suatu ketika Mumtaz Mahal memasuki barak pasukan Kesultanan Mughal India. Ia ingin melihat bagaimana kondisi prajurit yang memiliki tugas berjihad. Namun betapa terkejutnya ketika ia melihat kondisi pasukan yang kurus dan kepayahan layaknya kekurangan gizi. Bagaimana mungkin para pasukan harus mengemban tugas yang sangat menguras tenaga sedangkan kondisi fisik mereka lemah,” lanjutnya.
Mumtaz Mahal, kata Narator, berinisiatif untuk menciptakan sebuah hidangan yang padat gizi terutama karbohidrat dan protein untuk para tentara jihad. Mumtaz Mahal menugaskan 12 dapur istana yang terdiri dari ratusan koki untuk menyelesaikan masalah ini.
Sesuai permintaan sang permaisuri, para koki istana kemudian berdiskusi dan selalu mencoba resep-resep baru. “Setelah melakukan berbagai percobaan akhirnya terciptalah menu berupa nasi briyani. Nasi briyani adalah sajian berupa nasi yang diolah bersama daging dan beragam rempah yang kuat. Setidaknya ada 15 jenis rempah yang digunakan dalam memasak nasi briyani ini,” jelasnya.
“Berkat penemuan ini akhirnya para prajurit Islam di Mughal bisa merasakan makanan yang kaya cita rasa dan tentunya bergizi,” tukasnya.
Betapa menakjubkannya peradaban Islam di bawah naungan Daulah Khilafah, kata Narator melanjutkan, gizi dan kesehatan prajurit Islam dan masyarakat tidak hanya diperhatikan melalui pengobatan dan pengembangan dunia kesehatan, namun juga dari apa yang dikonsumsi oleh masyarakat.
“Negara khilafah tidak hanya memikirkan dan memastikan pasokan makanan tersedia bagi masyarakat, namun juga memikirkan bagaimana mengolahnya hingga menjadi sajian yang lezat dan bergizi tinggi,” tandasnya.
Narator lalu membandingkan dengan kondisi saat ini, “Namun sungguh miris kehidupan kaum muslimin tanpa khilafah seperti saat ini. Jangankan pemastian makanan yang dikonsumsi masyarakat bergizi dan menyehatkan, jaminan tersedianya stok pangan saja tidak ada,” sesalnya.
“Harga-harga bahan pangan tinggi, hanya keluarga berada yang mampu membeli makanan bergizi. Banyak keluarga miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, apalagi makanan yang bergizi tinggi,” imbuhnya.
Menurut Narator, hal ini terjadi karena negara kapitalis menyerahkan semua pengurusan rakyat pada swasta yang selalu mencari untung, tidak ada tanggung jawab untuk mengurus rakyat. “Tak heran jika makanan yang beredar di masyarakat minim gizi dan tak aman untuk kesehatan. Makanan yang banyak beredar justru mendatangkan penyakit seperti kanker, obesitas, diabetes dan sebagainya," ungkapnya.
“Hanya dalam khilafah makanan bergizi akan benar-benar dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun