Tinta Media - Sejak awal masuknya penjajah di tanah Jawa pada abad ke 16 M, perjuangan rakyat Jawa beserta penguasanya untuk melawan kezhaliman dan kesewenang-wenangan selalu ada. Bahkan, kobaran api perlawanan di Jawa memotivasi daerah lain, bahkan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Misalnya perngiriman armada perang Kesultanan Demak ke selat Malaka, penyerangan ke Batavia oleh Kesultanan Mataram, kobaran perang Sabil yang dinyalakan oleh Pangeran Diponegoro terhadap Belanda memberikan kengerian yang mendalam bagi penjajah tersebut atas perlawanan yang diberikan umat Islam terhadap kezaliman mereka.
Meskipun fasilitas maupun persenjataan yang dimiliki kesultanan Islam di tanah Jawa tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh Penjajah Belanda, tetapi keberanian dan rasa tanggung jawab rakyat Jawa terhadap agama dan negerinya sangatlah besar. Hal itulah yang membuat Belanda merasa ngeri menghadapi rakyat Jawa. Contohnya adalah ratusan kapal Jung Jawa yang pada awalnya adalah kapal dagang, oleh Ratu Kalinyamat diubah menjadi kapal perang dan dikirim ke Malaka dan Kalimantan untuk membantu saudara muslim yang sedang mempertahankan negerinya dari penjajahan. Bagi mereka, keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak berjuang.
Perlawan mengusir penjajah senantiasa dikobarkan oleh orang yang telah memiliki konsep hidup yang tercerahkan dengan akidah Islam, sehingga mereka tidak rela kebenaran dikalahkan oleh kebatilan. Pemahaman yang mengkristal terkait hakekat manusia, yaitu dari mana mereka berasal, untuk apa mereka hidup, dan akan ke
mana setelah kematian, itulah yang senantiasa membara dan menjadi bahan bakar perlawanan kepada para penjajah.
Sejak pertengahan abad ke 19 M, perjuangan melawan penjajah sejak dahulu senantiasa didukung oleh rakyat Jawa, namun malah justru dimusuhi oleh para penguasa. Mengapa? Jawabannya adalah karena Belanda melakukan politik lanjutan dari Devide et impera atau politik adu domba yang diperkuat dengan kajian mendalam agar kekalahan besar mereka pada Perang Sabil atau Perang Jawa tidak terulang lagi. Ini setelah menemukan bahwa motivasi bersatunya rakyat Jawa melawan mereka adalah agama.
Oleh karena itu, politik belah bambu kemudian diarahkan untuk menghalangi umat Islam bersatu. Salah satu caranya adalah menjauhkan ulama dari pemerintahan dan menjadikan para penguasa di tanah Jawa dari kalangan antek yang loyal terhadap mereka. Hasilnya adalah hilangnya nilai-nilai Islam dari kekuasaan. Para priyayi yang sebelumnya pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda dicopot gelar kebangsawanannya. Bahkan, anak cucu dan keturunan mereka terpaksa harus menyembunyikan identitas keulamaan dan kebangsawanannya dan menjauh dari kekuasaan dan hidup sederhana di daerah pedalaman.
Belanda juga memberikan reward kepada para penguasa boneka sehingga mereka semakin loyal kepada tuannya. Rakyat biasa yang pernah membantu perjuangan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda diganjar dengan hukuman keras maupun kerja paksa.
Adat-istiadat jahiliah yang sebelumnya digeser dan didigantikan dengan adat yang sesuai Islam secara elegan, digalakkan kembali sebagai upaya nativisasi oleh Belanda. Sehingga, yang tersisa adalah para priyayi yang loyal terhadap penjajahan, serta rakyat yang takut untuk memperjuangkan kebenaran. Hal inilah yang menyebabkan setelah berakhirnya perang Diponegoro, penjajahan dan kezaliman Pemerintah pendudukan Hindia Belanda seolah-olah diterima oleh rakyat tanah Jawa. Wallahu a'lam bishshawwab.
Oleh: Trisyuono Donapaste
Sahabat Tinta Media