Tinta Media - Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana M.Si ungkap nilai strategis Taiwan Bagi Amerika, hingga Amerika ancam China untuk turun tangan secara militer jika China mencoba ambil Taiwan dengan paksa.
“Nilai strategis Taiwan bagi Amerika adalah Taiwan bisa jadi rantai negara penghubung dari sekutu Amerika yang mengelilingi China dari arah Pasifik” tuturnya di Kabar Petang: AS VS China di Ambang perang? Sabtu (28/5/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Budi membeberkan bahwa di sebelah utara Amerika sudah punya sekutu Jepang dan Korea. Geser ke Selatan, Amerika punya pangkalan militer di Okinawa. “Dulu itu punya Jepang, tapi pada saat Perang Dunia ll dikuasai oleh Amerika sampai sekarang,” ungkapnya menjelaskan status pangkalan militer di Okinawa.
“Nah ke Selatannya lagi itu ada Taiwan. Baru ke arah Selatan ada juga mantan jajahan Amerika yaitu Filipina. Walaupun Amerika sudah tidak punya pangkalan militer di sana tapi Filipina masih menjadi sekutu kuat Amerika,” jelasnya.
Artinya lanjut Budi, dari arah Timur, Cina itu dia sudah dikelilingi. Ada batas penghalang (barier) ke arah Pasifik sehingga Amerika setidaknya meminimalisir ancaman dari China ke arah Timur.
Secara global Budi menggambarkan posisi Benua Amerika. “Benua Amerika itu sebelah timurnya sudah punya pakta pertahanan di NATO. Sebelah Barat, meski Amerika sudah ada beberapa sekutu tapi belum diikat dalam satu kekuatan aliansi militer yang cukup kuat,” tuturnya.
“Secara historis justru Amerika itu pernah diserang dari arah Barat ketika Perang Dunia ll oleh Jepang. Apalagi sekarang ada kekuatan baru yang emerging dan terus meningkat yaitu China,” tambahnya.
Akhirnya negara-negara yang menjadi buffer (penyangga) bagi Amerika dari arah Barat itu menjadi penting. “Makanya kenapa Amerika mendukung penuh keberadaan Taiwan bahkan memberikan bantuan militer. Amerika juga merespon secara reaktif terhadap upaya China untuk memanfaatkan situasi kemungkinan menginvasi Taiwan pasca krisis ukraina yang dikhawatirkan akan menginspirasi China,” bebernya.
Reunifikasi
Terkait sikap China Budi menjelaskan bahwa China mengupayakan reunifikasi wilayah-wilayah yang disitu masih ada kekuatan asing. Mengambil Macao dari Portugis, Hongkong dari Inggris, berikutnya Taiwan.
“Idealisme Satu China menjadi harga mati bagi China. Sehingga upaya pihak asing yang memanfaatkan Taiwan dijadikan sebagai basis memperlemah China tentu mendapatkan reaksi yang yang kuat dari China,” jelas Budi.
Menurutnya, secara hitungan matematis mudah bagi China untuk melakukan invasi ke Taiwan karena China jauh lebih unggul secara militer dibanding Taiwan.
Namun dalam hitungan konstelasi politik global tentu ada hitungan-hitungan lain. “Karena di balik Taiwan ada Amerika dan sekutu Amerika yang siap mem-backup apapun dengan alasan kesamaan kepentingan dan ideologi Amerika,” imbuhnya.
Ini hal yang diperhitungkan oleh China terhadap Taiwan. “Sehingga pilihan melakukan intervensi secara militer masih jauh,” prediksinya.
Terlebih peperangan di zaman modern ini sudah berubah. “Tidak sekedar melihat kekuatan personil dan alutsista tapi juga kekuatan teknologi,” jelasnya.
“Mungkin kekuatan personil dan alutsista Taiwan lemah, tapi kekuatan teknologinya luar biasa. Bahkan Taiwan menjadi salah satu pusat pembuatan chipe data di level global. Ini menjadi hitungan berikutnya bagi China. Jadi peluang China menginvasi Taiwan sangat kecil,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
“Nilai strategis Taiwan bagi Amerika adalah Taiwan bisa jadi rantai negara penghubung dari sekutu Amerika yang mengelilingi China dari arah Pasifik” tuturnya di Kabar Petang: AS VS China di Ambang perang? Sabtu (28/5/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
Budi membeberkan bahwa di sebelah utara Amerika sudah punya sekutu Jepang dan Korea. Geser ke Selatan, Amerika punya pangkalan militer di Okinawa. “Dulu itu punya Jepang, tapi pada saat Perang Dunia ll dikuasai oleh Amerika sampai sekarang,” ungkapnya menjelaskan status pangkalan militer di Okinawa.
“Nah ke Selatannya lagi itu ada Taiwan. Baru ke arah Selatan ada juga mantan jajahan Amerika yaitu Filipina. Walaupun Amerika sudah tidak punya pangkalan militer di sana tapi Filipina masih menjadi sekutu kuat Amerika,” jelasnya.
Artinya lanjut Budi, dari arah Timur, Cina itu dia sudah dikelilingi. Ada batas penghalang (barier) ke arah Pasifik sehingga Amerika setidaknya meminimalisir ancaman dari China ke arah Timur.
Secara global Budi menggambarkan posisi Benua Amerika. “Benua Amerika itu sebelah timurnya sudah punya pakta pertahanan di NATO. Sebelah Barat, meski Amerika sudah ada beberapa sekutu tapi belum diikat dalam satu kekuatan aliansi militer yang cukup kuat,” tuturnya.
“Secara historis justru Amerika itu pernah diserang dari arah Barat ketika Perang Dunia ll oleh Jepang. Apalagi sekarang ada kekuatan baru yang emerging dan terus meningkat yaitu China,” tambahnya.
Akhirnya negara-negara yang menjadi buffer (penyangga) bagi Amerika dari arah Barat itu menjadi penting. “Makanya kenapa Amerika mendukung penuh keberadaan Taiwan bahkan memberikan bantuan militer. Amerika juga merespon secara reaktif terhadap upaya China untuk memanfaatkan situasi kemungkinan menginvasi Taiwan pasca krisis ukraina yang dikhawatirkan akan menginspirasi China,” bebernya.
Reunifikasi
Terkait sikap China Budi menjelaskan bahwa China mengupayakan reunifikasi wilayah-wilayah yang disitu masih ada kekuatan asing. Mengambil Macao dari Portugis, Hongkong dari Inggris, berikutnya Taiwan.
“Idealisme Satu China menjadi harga mati bagi China. Sehingga upaya pihak asing yang memanfaatkan Taiwan dijadikan sebagai basis memperlemah China tentu mendapatkan reaksi yang yang kuat dari China,” jelas Budi.
Menurutnya, secara hitungan matematis mudah bagi China untuk melakukan invasi ke Taiwan karena China jauh lebih unggul secara militer dibanding Taiwan.
Namun dalam hitungan konstelasi politik global tentu ada hitungan-hitungan lain. “Karena di balik Taiwan ada Amerika dan sekutu Amerika yang siap mem-backup apapun dengan alasan kesamaan kepentingan dan ideologi Amerika,” imbuhnya.
Ini hal yang diperhitungkan oleh China terhadap Taiwan. “Sehingga pilihan melakukan intervensi secara militer masih jauh,” prediksinya.
Terlebih peperangan di zaman modern ini sudah berubah. “Tidak sekedar melihat kekuatan personil dan alutsista tapi juga kekuatan teknologi,” jelasnya.
“Mungkin kekuatan personil dan alutsista Taiwan lemah, tapi kekuatan teknologinya luar biasa. Bahkan Taiwan menjadi salah satu pusat pembuatan chipe data di level global. Ini menjadi hitungan berikutnya bagi China. Jadi peluang China menginvasi Taiwan sangat kecil,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.