MEMPERSOALKAN DOGMA 'KESEPAKATAN BERBANGSA' - Tinta Media

Selasa, 03 Mei 2022

MEMPERSOALKAN DOGMA 'KESEPAKATAN BERBANGSA'


Tinta Media - Saat Putera Puteri Islam, yang lahir dan dibesarkan di negeri ini, berusaha mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT dengan memperjuangkan syariat Islam, menegakkan daulah Islam atau daulah Khilafah, muncul stigma negatif dengan tuduhan menyelisihi kesepakatan berbangsa. Sementara penjajahan kapitalisme, yang menguasai kekayaan negeri ini, atau para politisi culas dan korup, tidak pernah dituding menyelisihi kesepakatan para pendiri bangsa (Founding Fathers).


Padahal, sebelum negeri ini merdeka, para ulama dan mujahid berjuang melawan penjajah atas dorongan akidah Islam dan motifasi ingin menegakkan syariat Islam. Karena itulah, pada tanggal 22 Juni 1945 para pendiri bangsa menyepakati dasar negara yang memiliki visi untuk menerapkan syariat Islam. Inilah kesepakatan berbangsa yang disepakati, menerapkan syariat Islam.

Lalu, secara sepihak kesepakatan syariat Islam ini dibuang, dikhianati. Sejak saat itulah, umat Islam di negeri ini telah membangun asas bernegara diatas pilar pengkhianatan.

Jadi, hari ini ada putera puteri Islam yang ingin menerapkan syariat Islam hakekatnya adalah terikat dengan kesepakatan para pendiri bangsa yang sejak awal menghendaki syariat Islam. Sehingga, yang berkhianat sebenarnya adalah yang melanggengkan sekulerisme, melanggengkan hukum warisan penjajah Belanda, membuat hukum yang mengadopsi sistem penjajah kapitalisme.

Yang menyelisihi kesepakatan, adalah mereka yang mengubah NKRI dengan melepaskan Timor Timur, Sipadan dan Ligitan. Yang berkhianat, adalah mereka yang korupsi Bank Century, Korupsi BLBI, Korupsi E KTP, korupsi di Kemenpora, Korupsi di Kemenag, Korupsi Jiwasraya dan gembong maling Harun Masiku.

Namun, gerombolan pengkhianat bangsa ini berlindung dibalik jampi-jampi 'NKRI harga mati' dan 'Aku Pancasila'. Mereka terus merusak bangsa sambil berteriak-teriak taati kesepakatan berbangsa.

Sejatinya, perjuangan syariat Islam di Indonesia bukanlah a historis. Sejak dahulu, para pendiri bangsa menghendaki penerapan syariat Islam.

Kesepakatan berbangsa di cekokkan menjadi dogma yang tak boleh dibantah, walaupun realitasnya hanyalah klaim semata. Kakek moyang pejuang Indonesia, tidak pernah sepakat dengan kapitalisme liberalisme. Nyatanya, ideologi kapitalisme lah yang berkuasa di negeri ini.

Islam dipinggirkan, syariatnya di telantarkan. Penjajahan kian merajalela, menggunakan aktor para penguasa sebagai pelayan oligarki kapitalis.

Kami mencintai negeri ini, kami menginginkan kebaikan bagi negeri ini, karena itu kami memperjuangkan Islam untuk mengatur negeri ini. Kami umat Islam, menolak kapitalisme liberal mengatur negeri ini.

Kami ingin mengembalikan kesepakatan berbangsa, pada penerapan syariat Islam. Bukan syariat selainnya. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :