Tinta Media - Tanya :
Banyak instansi pemerintah / BUMN dalam bangunan gedung yang mereka miliki memang menyediakan masjid secara khusus, atau memfungsikan salah satu bagian bangunannya sebagai masjid hingga dibentuk takmirnya. Hanya saja, dalam konteks manajemen aset kekinian, bangunan masjid / yang difungsikan masjid tersebut diadministrasikan sebagai aset milik pemerintah / BUMN. Sumber biaya pembangunannya dan pemeliharaan/operasi setelah selesai konstruksi bersumber dari keuangan daerah. Contohnya, di Bandung ada Pusdai/Islamic Center Jawa Barat, merupakan masjid milik Pemprov Jabar. Apakah bangunan-bangunan masjid seperti ini syar'iy disebut sebagai masjid dalam perspektif syariah? Terutama kaitannya dengan hukum terkait masjid secara syar'iy adalah milik umum, bukan institusi. Juga apakah i'tikaf di masjid seperti ini sah hukumnya? Jazaakallaahu khayran. (Iman, Bandung).
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, perlu diketahui lebih dulu pengertian masjid menurut fiqih Islam.
Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah terdapat penjelasan mengenai definisi masjid sebagai berikut :
المسجد هو المكان المهيأ للصلوات الخمس دائما ، والموقوف لذلك . والمكان يصير مسجدا : بالإذن العام للناس بالصلاة فيه ، سواء صرح بأنه وقف لله أو لم يصرح بذلك ، عند جمهور العلماء خلافا للشافعية . الموسوعة الفقهية (37/ 220).
"Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat lima waktu (berjamaah) secara permanen dan diwakafkan untuk keperluan itu. Sebuah tempat menjadi masjid, dengan adanya izin umum kepada masyarakat untuk sholat di tempat tersebut, baik dengan pernyataan eksplisit bahwa tempat itu adalah wakaf lillahi ta'ala maupun dengan pernyaraan implisit. Demikian menurut jumhur ulama, berbeda dengan ulama mazhab Syafi'i (yang mensyaratkan pernyataan eksplisit). (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 37/220).
Dari penjelasan definisi masjid tersebut, sebuah tempat menjadi masjid menurut hukum Islam jika memenuhi 3 (tiga) kriteria;
Pertama, tempat itu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Kedua, masyarakat umum sudah diizinkan untuk menggunakan tempat tersebut untuk sholat lima waktu.
Ketiga, tempat tersebut berstatus tanah wakaf, yaitu bukan lagi milik individu atau perorangan, melainkan menjadi milik umum (milkiyyah 'ammah).
Dengan demikian, jika suatu tempat telah memenuhi tiga syarat tersebut, maka tempat itu sudah dapat disebut masjid menurut fiqih Islam, dan konsekuensinya pada tempat itu diberlakukan hukum-hukum syarak yang terkait masjid.
Di antara hukum-hukum syarak itu, bahwa sah hukumnya tempat itu menjadi tempat i'tikaf, sah dilakukan sholat tahiyyatul masjid di dalamnya, haram hukumnya berdiam di dalamnya bagi orang junub atau wanita yang haid dan nifas, ada larangan berjual beli dan mengumumkan barang hilang di dalamnya, disyariatkan memakmurkan masjid untuk tempat itu, dan sebagainya.
Sebaliknya, jika suatu tempat tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga kriteria tersebut, maka tempat itu berarti tidak memenuhi masjid dalam fiqih Islam.
Misalnya, suatu tempat di sekolah yang digunakan untuk sholat jamaah tetapi tidak sholat lima waktu. Misalnya hanya digunakan untuk sholat jamaah Zhuhur dan Ashar saja, ketika ada murid-murid yang bersekolah. Tempat seperti ini bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria pertama masjid, yaitu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Contoh lain, suatu tempat yang khusus digunakan untuk sholat lima waktu berjamaah, tapi tempat itu merupakan tempat milik pribadi seseorang, yang menjadi bagian dari rumah pribadi dia. Tempat seperti ini juga bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria kedua masjid, yaitu masyarakat umum diizinkan untuk sholat lima waktu di tempat tersebut.
Contoh lain, suatu tempat di perkantoran, baik kantor pemerintah maupun kantor swasta, atau tempat tertentu di mall atau super market, biasanya di basement, yang khusus digunakan sholat lima waktu, tetapi tempat ini tidak diwakafkan dan statusnya masih menjadi hak milik kantor atau mall tersebut.
Tempat-tempat seperti ini juga tidak memenuhi kriteria ketiga masjid menurut fiqih Islam, karena tidak memenuhi kriteria ketiga masjid, yaitu tempat tersebut tidak berstatus tanah wakaf, atau dengan kata lain, tempat itu masih menjadi milik pribadi atau milik negara, belum menjadi milik umum (milkiyah 'aammah) yang dipersyaratkan untuk masjid.
Contoh-contoh tempat yang kami berikan di atas, tidak memenuhi definisi masjid dalam fiqih Islam. Konsekuensi hukum syaraknya, antara lain, tidak sah i'tikaf di tempat-tempat tersebut, karena i'tikaf itu disyariatkan di masjid, yang memenuhi kriteria-kriteria syariahnya dalam fiqih Islam. Firman Allah SWT :
وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ
"Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kamu), sedangkan kamu tengah beri'tikaf dalam masjid." (QS Al-Baqarah : 187).
Sebaliknya, bisa jadi suatu tempat tidak disebut masjid oleh masyarakat, dan hanya disebut *musholla*, tetapi jika memenuhi tiga kriteria masjid secara syariah seperti dijelaskan di atas, maka tempat itu dihukumi masjid menurut fiqih Islam.
Perlu kami tambahkan, bahwa tidak disyaratkan sholat Jumat agar suatu tempat menjadi masjid. Yang disyaratkan hanyalah sholat lima waktu secara berjamaah dan permanen.
Sholat Jumat itu sendiri, juga tidak disyaratkan wajib dilakukan di masjid, menurut jumhur ulama selain mazhab Maliki, tetapi dapat dilakukan di tempat terbuka atau tanah kosong (al fadha'), misalnya pelataran kantor atau basement mall. Boleh juga sholat Jumat dilakukan di tempat-tempat sewaan (berarti bukan tempat yang diwakafkan), misalnya di lapangan futsal dan yang semisalnya.
Sholat Jumat di tempat-tempat yang bukan masjid itu, hukumnya sah dan boleh, dikarenakan tidak disyaratkan sholat Jumat harus dilakukan di masjid.
Penulis kitab Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al Manhaj, Syekh Jamal Al-Ujaili menjelaskan :
لأن إقامتها في المسجد ليست بشرط" "حاشية الجمل على شرح المنهج" (2/ 238)
"Melaksanakan sholat Jumat di masjid bukanlah syarat sah (untuk sholat Jumat)." (Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al-Manhaj, 2/238).
Wallahu a'lam.
Jogjakarta, 15 Syawal 1443 / 15 Mei 2022
Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer
Banyak instansi pemerintah / BUMN dalam bangunan gedung yang mereka miliki memang menyediakan masjid secara khusus, atau memfungsikan salah satu bagian bangunannya sebagai masjid hingga dibentuk takmirnya. Hanya saja, dalam konteks manajemen aset kekinian, bangunan masjid / yang difungsikan masjid tersebut diadministrasikan sebagai aset milik pemerintah / BUMN. Sumber biaya pembangunannya dan pemeliharaan/operasi setelah selesai konstruksi bersumber dari keuangan daerah. Contohnya, di Bandung ada Pusdai/Islamic Center Jawa Barat, merupakan masjid milik Pemprov Jabar. Apakah bangunan-bangunan masjid seperti ini syar'iy disebut sebagai masjid dalam perspektif syariah? Terutama kaitannya dengan hukum terkait masjid secara syar'iy adalah milik umum, bukan institusi. Juga apakah i'tikaf di masjid seperti ini sah hukumnya? Jazaakallaahu khayran. (Iman, Bandung).
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, perlu diketahui lebih dulu pengertian masjid menurut fiqih Islam.
Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah terdapat penjelasan mengenai definisi masjid sebagai berikut :
المسجد هو المكان المهيأ للصلوات الخمس دائما ، والموقوف لذلك . والمكان يصير مسجدا : بالإذن العام للناس بالصلاة فيه ، سواء صرح بأنه وقف لله أو لم يصرح بذلك ، عند جمهور العلماء خلافا للشافعية . الموسوعة الفقهية (37/ 220).
"Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat lima waktu (berjamaah) secara permanen dan diwakafkan untuk keperluan itu. Sebuah tempat menjadi masjid, dengan adanya izin umum kepada masyarakat untuk sholat di tempat tersebut, baik dengan pernyataan eksplisit bahwa tempat itu adalah wakaf lillahi ta'ala maupun dengan pernyaraan implisit. Demikian menurut jumhur ulama, berbeda dengan ulama mazhab Syafi'i (yang mensyaratkan pernyataan eksplisit). (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 37/220).
Dari penjelasan definisi masjid tersebut, sebuah tempat menjadi masjid menurut hukum Islam jika memenuhi 3 (tiga) kriteria;
Pertama, tempat itu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Kedua, masyarakat umum sudah diizinkan untuk menggunakan tempat tersebut untuk sholat lima waktu.
Ketiga, tempat tersebut berstatus tanah wakaf, yaitu bukan lagi milik individu atau perorangan, melainkan menjadi milik umum (milkiyyah 'ammah).
Dengan demikian, jika suatu tempat telah memenuhi tiga syarat tersebut, maka tempat itu sudah dapat disebut masjid menurut fiqih Islam, dan konsekuensinya pada tempat itu diberlakukan hukum-hukum syarak yang terkait masjid.
Di antara hukum-hukum syarak itu, bahwa sah hukumnya tempat itu menjadi tempat i'tikaf, sah dilakukan sholat tahiyyatul masjid di dalamnya, haram hukumnya berdiam di dalamnya bagi orang junub atau wanita yang haid dan nifas, ada larangan berjual beli dan mengumumkan barang hilang di dalamnya, disyariatkan memakmurkan masjid untuk tempat itu, dan sebagainya.
Sebaliknya, jika suatu tempat tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga kriteria tersebut, maka tempat itu berarti tidak memenuhi masjid dalam fiqih Islam.
Misalnya, suatu tempat di sekolah yang digunakan untuk sholat jamaah tetapi tidak sholat lima waktu. Misalnya hanya digunakan untuk sholat jamaah Zhuhur dan Ashar saja, ketika ada murid-murid yang bersekolah. Tempat seperti ini bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria pertama masjid, yaitu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Contoh lain, suatu tempat yang khusus digunakan untuk sholat lima waktu berjamaah, tapi tempat itu merupakan tempat milik pribadi seseorang, yang menjadi bagian dari rumah pribadi dia. Tempat seperti ini juga bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria kedua masjid, yaitu masyarakat umum diizinkan untuk sholat lima waktu di tempat tersebut.
Contoh lain, suatu tempat di perkantoran, baik kantor pemerintah maupun kantor swasta, atau tempat tertentu di mall atau super market, biasanya di basement, yang khusus digunakan sholat lima waktu, tetapi tempat ini tidak diwakafkan dan statusnya masih menjadi hak milik kantor atau mall tersebut.
Tempat-tempat seperti ini juga tidak memenuhi kriteria ketiga masjid menurut fiqih Islam, karena tidak memenuhi kriteria ketiga masjid, yaitu tempat tersebut tidak berstatus tanah wakaf, atau dengan kata lain, tempat itu masih menjadi milik pribadi atau milik negara, belum menjadi milik umum (milkiyah 'aammah) yang dipersyaratkan untuk masjid.
Contoh-contoh tempat yang kami berikan di atas, tidak memenuhi definisi masjid dalam fiqih Islam. Konsekuensi hukum syaraknya, antara lain, tidak sah i'tikaf di tempat-tempat tersebut, karena i'tikaf itu disyariatkan di masjid, yang memenuhi kriteria-kriteria syariahnya dalam fiqih Islam. Firman Allah SWT :
وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ
"Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kamu), sedangkan kamu tengah beri'tikaf dalam masjid." (QS Al-Baqarah : 187).
Sebaliknya, bisa jadi suatu tempat tidak disebut masjid oleh masyarakat, dan hanya disebut *musholla*, tetapi jika memenuhi tiga kriteria masjid secara syariah seperti dijelaskan di atas, maka tempat itu dihukumi masjid menurut fiqih Islam.
Perlu kami tambahkan, bahwa tidak disyaratkan sholat Jumat agar suatu tempat menjadi masjid. Yang disyaratkan hanyalah sholat lima waktu secara berjamaah dan permanen.
Sholat Jumat itu sendiri, juga tidak disyaratkan wajib dilakukan di masjid, menurut jumhur ulama selain mazhab Maliki, tetapi dapat dilakukan di tempat terbuka atau tanah kosong (al fadha'), misalnya pelataran kantor atau basement mall. Boleh juga sholat Jumat dilakukan di tempat-tempat sewaan (berarti bukan tempat yang diwakafkan), misalnya di lapangan futsal dan yang semisalnya.
Sholat Jumat di tempat-tempat yang bukan masjid itu, hukumnya sah dan boleh, dikarenakan tidak disyaratkan sholat Jumat harus dilakukan di masjid.
Penulis kitab Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al Manhaj, Syekh Jamal Al-Ujaili menjelaskan :
لأن إقامتها في المسجد ليست بشرط" "حاشية الجمل على شرح المنهج" (2/ 238)
"Melaksanakan sholat Jumat di masjid bukanlah syarat sah (untuk sholat Jumat)." (Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al-Manhaj, 2/238).
Wallahu a'lam.
Jogjakarta, 15 Syawal 1443 / 15 Mei 2022
Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer