Tinta Media - Berawal dari hilangnya frasa agama dalam rancangan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, yang menyebutkan bahwa visi pendidikan Indonesia 2035 adalah 'Membangun rakyat Indonesia menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila', maka timbul polemik di tengah masyarakat.
Bisa dilihat, di sana tidak tercantum mengenai kesinambungan antara akhlak mulia dengan agama, tetapi mencantumkan frasa budaya. Walaupun Kemendikbud memberikan klarifikasi mengenai hal tersebut, tetapi terlanjur menjadi polemik di kalangan ormas Islam dan beberapa kalangan masyarakat.
Sebenarnya, pada Februari 2022, isu RUU Sisdiknas muncul kembali, tetapi karena dianggap sudah tidak relevan dengan kemajuan Indonesia 4.0, maka diperlukan revisi UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Juga dalam rangka harmonisasi 3 undang-undang sekaligus, yaitu UU sisdiknas No. 20/2003 mengenai, UU mengenai profesi guru dan dosen No.14/2005, dan UU mengenai perguruan tinggi No. 12/2012. Akan tetapi, ketiga undang-undang ini dianggap saling tumpang tindih sehingga memerlukan revisi yang diharapkan menjadi payung hukum bagi sektor pendidikan. Bisa dikatakan bahwa undang-undang ini menjadi undang-undang mini Omnibus law.
Sekali lagi, draf revisi UU ini pun menuai kritik dan menjadi polemik, terutama penghapusan frasa ‘madrasah’ pada pasal 17 ayat 2 mengenai satuan dasar pendidikan.
Meski masih tercantum pada bagian penjelasan, tetapi ini tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam membuat peraturan, seperti tercantum dalam UU No. 12/2011 pada pasal 117 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Padahal, istilah madrasah sebagai sebuah bentuk pendidikan berbasis agama Islam telah dikenal masyarakat Indonesia sebelum negeri ini menjadi republik. Sejarah telah mencatat keberadaan madrasah telah melahirkan banyak tokoh penting di negeri ini.
Jelas sekali bahwa hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan pendidikan Islam di negeri ini. Aroma sekularisasi semakin menguat. Umat Islam semakin didorong untuk jauh dari agamanya sendiri. Bisa dikatakan, masa depan pendidikan Islam di negeri ini akan semakin suram.
Padahal, di negeri ini pendidikan formal pada jenjang SD 6 tahun, SMP 3 tahun, ditambah SMA 3 tahun, tidak menyediakan pendidikan agama dengan layak. Jam pelajaran agama pun hanya 2x45 menit seminggu, sungguh tidak mampu membentuk tsaqafah Islam generasi muda muslimin.
Maka wajar, berbagai permasalahan anak dan remaja bermunculan sejak negara ini terbentuk hingga sekarang. Isu-isu tawuran, pergaulan bebas, hingga narkoba tidak bisa terlepas. Wajar jika orang tua nuslim akhirnya mencoba mencari alternatif sekolah atau pendidikan formal. Madrasah dianggap sebagai salah satu jalan keluar keluarga muslim untuk mendapatkan pendidikan Islam lebih banyak dari sekolah negeri biasa.
Adapun keberadaan madrasah yang lahir sejak masa kolonialisme Belanda, digagas oleh Syekh Abdullah Ahmad pada 1909. Madrasah pertama di Indonesia yang muncul yaitu Madrasah Adabiyah di Kota Padang, Sumatera Barat. Kemudian setelahnya bermunculan madrasah-madrasah yang berbasis pengajaran agama Islam. Tidak bisa dimungkiri, keberadaan madrasah menjadi salah satu bagian penting dari keberlangsungan dakwah Islam di usantara.
Jika kemudian keberadaan madrasah yang memang sudah dianaktirikan oleh pemerintah sejak didirikannya republik ini terancam akan dihapuskan, apalah yang tersisa untuk umat Islam saat ini? Hal tersebut disinyalir karena adanya usaha keras penguasa untuk menjauhkan pendidikan dari segala hal yang berbau Islam.
Sebagaimana dikabarkan, draf RUU Sisdiknas yang disusun Kemendikbudristek hanya mengatur Pendidikan Keagamaan dalam pasal 32. Namun, pasal itu sama sekali tak menyebut kata madrasah.
Pasal 32 draf RUU Sisdiknas itu berbunyi, “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama.”
Terlihat jelas bahwa pasal tersebut telah memisahkan agama dari kegiatan kehidupan, hanya ditujukan untuk kepentingan tertentu. Padahal dalam Islam, pemahaman mengenai agama merupakan dasar dalam menjalani setiap sendi kehidupan, petunjuk pasti untuk memenuhi naluri-naluri yang dimiliki manusia dan kebutuhan jasmaninya.
Jelas, kita tidak bisa berharap sedikit pun pada kebijakan-kebijakan dari pemerintah saat ini, maupun nanti, selama sistem yang diterapkan bukanlah sistem yang akan mendukung umat Islam pada ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Padahal dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan dakwah Islam. Tsaqafah Islam yang dimiliki kaum muslimin, akan menjadi sumber kekuatan kaum muslimin, termasuk dalam menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 9 yang artinya, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
Untuk itulah diperlukan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, yang telah terbukti mampu membawa kegemilangan peradaban Islam selama lebih dari 13 abad. Inilah peradaban Islam yang melahirkan para ilmuwan yang luar biasa dan menjadi batu-batu pijakan dalam penemuan sains dan teknologinya bagi kemajuan negara-negara Barat.
Masyarakat hendaknya disadarkan bahwa mengambil sistem peradaban Barat yang baru berumur dua abad, hanya akan menjauhkan generasi muda Islam pada keterpurukan, terutama dalam masalah akidah Islam.
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan antara sains dan ilmu agama. Keduanya wajib dikuasai. Ilmu agama akan menjaga penggunaan ilmu sains hanya berdasarkan ketaatan kepada Sang Khalik, dijauhkan dari nafsu penguasaan materi belaka. Generasi muda Islam akan dipersiapkan menjadi pakar dalam ilmu agama dan sains secara bersamaan. Betapa banyak ilmuwan muslim yang terkenal menjadi pionir ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, dihasilkan dari abad kegemilangan Islam, yaitu masa kekhilafahan Islam.
Fungsi pendidikan dalam Islam tak sekadar mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih pada pengembangan keimanan sebagai dasar kehidupan sebuah masyarakat dan bangsa. Dari keimanan itu bisa mendorong melakukan amal saleh dan juga ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan.
Inilah kondisi yang akan menghasilkan generasi khairu ummah atau umat terbaik dalam pandangan Islam. Sesuai firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Ali-Imran ayat 110:
“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Maka, semua itu bisa terwujud dalam bingkai khilafah Islam, sistem sempurna yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta. Wallahu ‘alam bishshawwab.[]
Oleh: Eva Febriana
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Bisa dilihat, di sana tidak tercantum mengenai kesinambungan antara akhlak mulia dengan agama, tetapi mencantumkan frasa budaya. Walaupun Kemendikbud memberikan klarifikasi mengenai hal tersebut, tetapi terlanjur menjadi polemik di kalangan ormas Islam dan beberapa kalangan masyarakat.
Sebenarnya, pada Februari 2022, isu RUU Sisdiknas muncul kembali, tetapi karena dianggap sudah tidak relevan dengan kemajuan Indonesia 4.0, maka diperlukan revisi UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Juga dalam rangka harmonisasi 3 undang-undang sekaligus, yaitu UU sisdiknas No. 20/2003 mengenai, UU mengenai profesi guru dan dosen No.14/2005, dan UU mengenai perguruan tinggi No. 12/2012. Akan tetapi, ketiga undang-undang ini dianggap saling tumpang tindih sehingga memerlukan revisi yang diharapkan menjadi payung hukum bagi sektor pendidikan. Bisa dikatakan bahwa undang-undang ini menjadi undang-undang mini Omnibus law.
Sekali lagi, draf revisi UU ini pun menuai kritik dan menjadi polemik, terutama penghapusan frasa ‘madrasah’ pada pasal 17 ayat 2 mengenai satuan dasar pendidikan.
Meski masih tercantum pada bagian penjelasan, tetapi ini tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam membuat peraturan, seperti tercantum dalam UU No. 12/2011 pada pasal 117 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
Padahal, istilah madrasah sebagai sebuah bentuk pendidikan berbasis agama Islam telah dikenal masyarakat Indonesia sebelum negeri ini menjadi republik. Sejarah telah mencatat keberadaan madrasah telah melahirkan banyak tokoh penting di negeri ini.
Jelas sekali bahwa hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan pendidikan Islam di negeri ini. Aroma sekularisasi semakin menguat. Umat Islam semakin didorong untuk jauh dari agamanya sendiri. Bisa dikatakan, masa depan pendidikan Islam di negeri ini akan semakin suram.
Padahal, di negeri ini pendidikan formal pada jenjang SD 6 tahun, SMP 3 tahun, ditambah SMA 3 tahun, tidak menyediakan pendidikan agama dengan layak. Jam pelajaran agama pun hanya 2x45 menit seminggu, sungguh tidak mampu membentuk tsaqafah Islam generasi muda muslimin.
Maka wajar, berbagai permasalahan anak dan remaja bermunculan sejak negara ini terbentuk hingga sekarang. Isu-isu tawuran, pergaulan bebas, hingga narkoba tidak bisa terlepas. Wajar jika orang tua nuslim akhirnya mencoba mencari alternatif sekolah atau pendidikan formal. Madrasah dianggap sebagai salah satu jalan keluar keluarga muslim untuk mendapatkan pendidikan Islam lebih banyak dari sekolah negeri biasa.
Adapun keberadaan madrasah yang lahir sejak masa kolonialisme Belanda, digagas oleh Syekh Abdullah Ahmad pada 1909. Madrasah pertama di Indonesia yang muncul yaitu Madrasah Adabiyah di Kota Padang, Sumatera Barat. Kemudian setelahnya bermunculan madrasah-madrasah yang berbasis pengajaran agama Islam. Tidak bisa dimungkiri, keberadaan madrasah menjadi salah satu bagian penting dari keberlangsungan dakwah Islam di usantara.
Jika kemudian keberadaan madrasah yang memang sudah dianaktirikan oleh pemerintah sejak didirikannya republik ini terancam akan dihapuskan, apalah yang tersisa untuk umat Islam saat ini? Hal tersebut disinyalir karena adanya usaha keras penguasa untuk menjauhkan pendidikan dari segala hal yang berbau Islam.
Sebagaimana dikabarkan, draf RUU Sisdiknas yang disusun Kemendikbudristek hanya mengatur Pendidikan Keagamaan dalam pasal 32. Namun, pasal itu sama sekali tak menyebut kata madrasah.
Pasal 32 draf RUU Sisdiknas itu berbunyi, “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama.”
Terlihat jelas bahwa pasal tersebut telah memisahkan agama dari kegiatan kehidupan, hanya ditujukan untuk kepentingan tertentu. Padahal dalam Islam, pemahaman mengenai agama merupakan dasar dalam menjalani setiap sendi kehidupan, petunjuk pasti untuk memenuhi naluri-naluri yang dimiliki manusia dan kebutuhan jasmaninya.
Jelas, kita tidak bisa berharap sedikit pun pada kebijakan-kebijakan dari pemerintah saat ini, maupun nanti, selama sistem yang diterapkan bukanlah sistem yang akan mendukung umat Islam pada ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Padahal dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan salah satu kunci keberhasilan dakwah Islam. Tsaqafah Islam yang dimiliki kaum muslimin, akan menjadi sumber kekuatan kaum muslimin, termasuk dalam menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 9 yang artinya, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
Untuk itulah diperlukan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, yang telah terbukti mampu membawa kegemilangan peradaban Islam selama lebih dari 13 abad. Inilah peradaban Islam yang melahirkan para ilmuwan yang luar biasa dan menjadi batu-batu pijakan dalam penemuan sains dan teknologinya bagi kemajuan negara-negara Barat.
Masyarakat hendaknya disadarkan bahwa mengambil sistem peradaban Barat yang baru berumur dua abad, hanya akan menjauhkan generasi muda Islam pada keterpurukan, terutama dalam masalah akidah Islam.
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan antara sains dan ilmu agama. Keduanya wajib dikuasai. Ilmu agama akan menjaga penggunaan ilmu sains hanya berdasarkan ketaatan kepada Sang Khalik, dijauhkan dari nafsu penguasaan materi belaka. Generasi muda Islam akan dipersiapkan menjadi pakar dalam ilmu agama dan sains secara bersamaan. Betapa banyak ilmuwan muslim yang terkenal menjadi pionir ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, dihasilkan dari abad kegemilangan Islam, yaitu masa kekhilafahan Islam.
Fungsi pendidikan dalam Islam tak sekadar mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih pada pengembangan keimanan sebagai dasar kehidupan sebuah masyarakat dan bangsa. Dari keimanan itu bisa mendorong melakukan amal saleh dan juga ilmu yang bermanfaat untuk kehidupan.
Inilah kondisi yang akan menghasilkan generasi khairu ummah atau umat terbaik dalam pandangan Islam. Sesuai firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Ali-Imran ayat 110:
“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Maka, semua itu bisa terwujud dalam bingkai khilafah Islam, sistem sempurna yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta. Wallahu ‘alam bishshawwab.[]
Oleh: Eva Febriana
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok