Larangan Ekspor CPO: Kebijakan Setengah Hati, Bagaimana Nasib Petani Sawit Kecil? - Tinta Media

Senin, 09 Mei 2022

Larangan Ekspor CPO: Kebijakan Setengah Hati, Bagaimana Nasib Petani Sawit Kecil?



Tinta Media  - Pemerintah resmi melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan sejumlah produk turunannya mulai Kamis (28/4/2022). 

Kebijakan ini akan berlaku sampai kebutuhan minyak goreng di dalam negeri tercukupi dan harga minyak goreng di masyarakat  mencapai HET, yaitu Rp14.000 per liter. Munculnya kebijakan ini merupakan imbas dari krisis minyak goreng di dalam negeri yang tidak kunjung selesai.

Di satu sisi, kebijakan yang diambil oleh pemerintah memperlihatkan dukungan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Namun, Alih-alih ingin mengatasi persoalan minyak goreng dalam negeri, kebijakan setengah hati ini justru menuai kritik.

Board Member Center for Indonesia Policy studies (CIPS) Arianto Patunru mengatakan bahwa kebijakan pelarangan ekspor CPO akan mengakibatkan banjirnya stok sawit domestik. Akibatnya, harga buah tandan segar akan terjun bebas dan merugikan petani sawit (Republika, 29/4/22).

Tidak dapat dimungkiri, kebijakan ini hanya akan menguntungkan pengusaha yang memiliki modal besar dan merugikan petani sawit kecil yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO. Kebijakan yang diharapkan bisa menurunkan harga minyak goreng di tingkat konsumen justru merugikan masyarakat di tingkat produsen.

Penyebab melonjaknya harga minyak goreng adalah ditemukannya mafia-mafia minyak goreng, sementara pemerintah tidak menindak tegas pelaku. Selain itu, paradigma sekuler kapitalistik yang digunakan dalam pengaturan produksi hingga distribusi telah membuka peluang besar munculnya mafia minyak goreng.

Penguasa menggunakan kepentingan rakyat sebagai alibi untuk menerbitkan kebijakan ini. Padahal, yang menuai keuntungan dari kebijakan ini adalah pengusaha yang berkepentingan. Lagi-lagi rakyat yang terdampak kerugian.

Melihat situasi seperti ini kita harus sadar bahwa negara sedang melakukan kezaliman besar-besaran kepada rakyat. Bagaimana bisa penguasa di negeri muslim terbesar di dunia ini,  tidak takut kepada Allah Swt.? Apakah mereka yakin bahwa ketika di akhirat tidak akan dimintai pertanggungjawaban karena tidak mengurus urusan rakyat?

Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang penguasa yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka.” (HR al-Bukhari).

Pengaturan hajat hidup rakyat menjadi kewajiban penguasa. Sebab, pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus. Begitu juga dengan hubungan yang terbentuk antara penguasa dan rakyat. Hubungan tersebut merupakan pelayanan, bukan bisnis.

Islam mengatur bagaimana peran negara dalam bidang ekonomi untuk menyejahterakan rakyat. Lahan yang digunakan untuk kelapa sawit merupakan lahan milik umum yang harusnya dikelola oleh negara, bukan individu atau swasta dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Penguasa akan memetakan kebutuhan pangan seluruh warga negara, dalam hal ini termasuk minyak goreng. Negara menjamin agar kebutuhan minyak tersebut terpenuhi dan tidak terjadi kelangkaan. Sistem Islam akan mendorong perdagangan berjalan sesuai syariat dan mencegah terjadi liberalisasi perdagangan.

Islam melarang penimbunan yang dapat menyebabkan harga barang melonjak naik. Aktivitas penimbunan minyak goreng akan mendapatkan sanksi yang tegas. Selain itu, Islam juga melarang negara mematok harga untuk umum dan memaksa mereka melakukan jual beli sesuai harga patokan tersebut, dengan memastikan bahwa tidak terjadi penyimpangan sehingga harga melonjak. Di sisi lain, rakyat diberi kesempatan melakukan kontrol atau amar makruf nahi munkar sehingga potensi penyelewengan akan mudah terdeteksi.

Inilah syariat Islam yang harus kita yakini kebenarannya. Bila Islam diterapkan di negeri ini, rakyat tidak akan sampai kesusahan karena harga minyak goreng yang melambung tinggi. Sejatinya, fakta ini terjadi akibat negara kita meninggalkan aturan Allah. Kita sedang bermaksiat terhadap perintah Allah. Karena itu, situasi ini makin sulit. Sudah seharusnya sebagai orang yang beriman kepada kebenaran Allah dan dan semua aturan-Nya, kita segera menyadari kesalahan, insaf, lalu kembali pada aturan Allah yang sempurna.
Wallahua'lam bishawab.

Oleh: Elda Widya I. K.
Komunitas Menulis Setajam Pena
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :