Tinta Media - Pelaku L68T yang mendapat panggung dalam podcast Deddy Corbuzier, Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. mengatakan leitstern hukum di Indonesia adalah sila pertama Pancasila.
“Kita memang punya Pancasila dan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai ini, dalam kehidupan biasa ataukah dalam kehidupan hukum, menjadi kaidah penuntun. Dalam hal apa? Dalam hal pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Kita kan mengenal ini negara hukum. Sebenarnya, leitstern atau bintang pemandunya, sila pertama ini,” tuturnya dalam segmen Tanya Profesor: Bahaya Video Tutorial H0M-0 Podcast Deddy, Haram dan AntiPancasila! di kanal Youtube Prof. Suteki, Selasa (10/5/2022).
Ia menjelaskan, maksud dari leitstern atau bintang pemandu adalah sebagai pedoman atau center dalam pembentukan dan penegakan hukum. “Kita mau mengarah kemanapun, center-nya sila satu itu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain juga sila-sila lainnya,” terangnya.
Dengan demikian, menurutnya, menjadikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan pelarangan terhadap L68T adalah sah. “Itu bukan tindakan yang diskriminatif terhadap orang yang sudah berketuhanan dan bukan perbuatan yang bertentangan dengan HAM,” tegasnya.
Prof. Suteki mengatakan, masalah moral seharusnya diposisikan sebagai suatu ajaran yang tidak boleh ditawar-tawar. “Posisi moral memang harus kita tetapkan sebagai precept. Precept itu, suatu ajaran yang tidak boleh ditawar. Dalam bahasa filsafat sering disebut sebagai imperatif kategoris, perintah yang tidak boleh ditawar,” imbuhnya.
Ia menambahkan, memisahkan masalah L68T dengan agama sama artinya meniadakan fungsi Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia. Padahal, menurutnya, tidak ada satu agamapun yang membolehkan L68T.
“Ketuhanan Yang Maha Esa kalau diterjemahkan lebih kongkrit adalah agama-agama di Indonesia. Sekarang saya tanya, apakah agama-agama di Indonesia membolehkan L68T atau seorang laki-laki menyukai laki-laki? Apalagi sampai melakukan pernikahan antar sesama jenis,” tambahnya.
Ia kembali menambahkan, seharusnya kita paham betul bahwa Pancasila itu menjadi letstern atau bintang pemandu. Jika mau konsisten berpedoman pada Pancasila, maka menurutnya, harus berani mengatakan L68T bertentangan dengan Pancasila. Namun sebaliknya, menurutnya, ada kelompok yang menjadikan Pancasila justru sebagai tameng untuk melindungi kaum L68T.
“Anehnya, ada kelompok-kelompok yang pro L68T justru menggunakan landasan kemanusian dan hikmah kebijaksanaan sebagai tameng untuk berlindung. Tamengnya di sila ke dua dan sila ke empat. Menurut saya, hal ini sesuatu yang jelas tidak benar. Karena kalau kita naikkan ke sila pertama, dari sisi agama manapun, L68T bertentangan dengan sila pertama. Jadi, ini jelas bertentangan dengan Pancasila,” pungkasnya. [] Ikhty
“Kita memang punya Pancasila dan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai ini, dalam kehidupan biasa ataukah dalam kehidupan hukum, menjadi kaidah penuntun. Dalam hal apa? Dalam hal pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Kita kan mengenal ini negara hukum. Sebenarnya, leitstern atau bintang pemandunya, sila pertama ini,” tuturnya dalam segmen Tanya Profesor: Bahaya Video Tutorial H0M-0 Podcast Deddy, Haram dan AntiPancasila! di kanal Youtube Prof. Suteki, Selasa (10/5/2022).
Ia menjelaskan, maksud dari leitstern atau bintang pemandu adalah sebagai pedoman atau center dalam pembentukan dan penegakan hukum. “Kita mau mengarah kemanapun, center-nya sila satu itu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain juga sila-sila lainnya,” terangnya.
Dengan demikian, menurutnya, menjadikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan pelarangan terhadap L68T adalah sah. “Itu bukan tindakan yang diskriminatif terhadap orang yang sudah berketuhanan dan bukan perbuatan yang bertentangan dengan HAM,” tegasnya.
Prof. Suteki mengatakan, masalah moral seharusnya diposisikan sebagai suatu ajaran yang tidak boleh ditawar-tawar. “Posisi moral memang harus kita tetapkan sebagai precept. Precept itu, suatu ajaran yang tidak boleh ditawar. Dalam bahasa filsafat sering disebut sebagai imperatif kategoris, perintah yang tidak boleh ditawar,” imbuhnya.
Ia menambahkan, memisahkan masalah L68T dengan agama sama artinya meniadakan fungsi Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia. Padahal, menurutnya, tidak ada satu agamapun yang membolehkan L68T.
“Ketuhanan Yang Maha Esa kalau diterjemahkan lebih kongkrit adalah agama-agama di Indonesia. Sekarang saya tanya, apakah agama-agama di Indonesia membolehkan L68T atau seorang laki-laki menyukai laki-laki? Apalagi sampai melakukan pernikahan antar sesama jenis,” tambahnya.
Ia kembali menambahkan, seharusnya kita paham betul bahwa Pancasila itu menjadi letstern atau bintang pemandu. Jika mau konsisten berpedoman pada Pancasila, maka menurutnya, harus berani mengatakan L68T bertentangan dengan Pancasila. Namun sebaliknya, menurutnya, ada kelompok yang menjadikan Pancasila justru sebagai tameng untuk melindungi kaum L68T.
“Anehnya, ada kelompok-kelompok yang pro L68T justru menggunakan landasan kemanusian dan hikmah kebijaksanaan sebagai tameng untuk berlindung. Tamengnya di sila ke dua dan sila ke empat. Menurut saya, hal ini sesuatu yang jelas tidak benar. Karena kalau kita naikkan ke sila pertama, dari sisi agama manapun, L68T bertentangan dengan sila pertama. Jadi, ini jelas bertentangan dengan Pancasila,” pungkasnya. [] Ikhty