Tinta Media - Sebagaimana dikabarkan oleh beberapa media massa, Ustaz Abdul Somad atau UAS meminta penjelasan kepada pemerintah Singapura, termasuk Duta Besar Singapura di Indonesia terkait insiden dirinya bersama keluarga dan sahabatnya ditolak masuk ke Singapura melalui Pelabuhan Tanah Merah, Singapura pada Senin, 16 Mei 2022.
Sebelumnya, UAS mengaku pihak imigrasi Singapura tidak memberikan penjelasan apapun kenapa dia ditolak masuk Singapura. Hingga akhirnya UAS bersama istri-anak, sahabat berserta keluarganya dideportasi dari Singapura pada Senin sore. Sementara itu Tempo mengeluarkan berita : "Dubes RI di Singapura: Ustad Abdul Somad Tak Dideportasi". UAS tidak dideportasi tetapi tidak mendapatkan izin masuk Ke Singapura sehingga diminta untuk kembali.
Mengenai definisi deportasi, kalau saya cek KBBI: deportasi/de·por·ta·si/ /déportasi/ n yakni pembuangan, pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman, atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ.
Mendeportasi/men·de·por·ta·si/ v memulangkan ke negara asal; mengusir: Direktorat Jenderal Imigrasi baru-baru ini telah ~ sejumlah warga negara asing yang memasuki wilayah RI secara tidak sah;
Bagaimana definisi deportasi menurut hukum?
Dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN Pasal 1 angka 36 disebutkan bahwa Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 75 UU Keimigrasian ada banyak jenis tindakan administratif keimigrasian.
Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat dapat berupa:
a. pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;
b. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;
c. larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
d. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
e. pengenaan biaya beban; dan/atau
f. Deportasi dari Wilayah Indonesia.
ICA (Immigration Check Authority) Singapura ternyata menetapkan Not To Land (NTL) kepada UAS karena tidak memenuhi kriteria untuk eligible berkunjung ke Singapura. Rinciannya apa? Sampai saat ini Duta Besar RI di Singapura pun tdk dapat menjelaskan bahkan menyatakan bahwa UAS bukan dideportasi melainkan DILARANG MASUK MENDARAT (NOT TO LAND (NTL)).
Saya kira pihak Imigrasi Singapura harus memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum tentang mengapa UAS dicegah masuk ke Singapura.
Sesuai dengan UU Keimigrasian, harus jelas alasan mencegah seseorang masuk. Kalau di Indonesia ketentuannya ada di Pasal 75 ayat (1). Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
Kini alasan "cekal" terhadap UAS sudah terang bahwa sebagaimana Dikutip dari Sindonews.com 17 Mei 2022, MHA (Kemendagri Singapura) dengan tegas menyatakan, “Somad dikenal menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi, yang tidak dapat diterima di masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura. Misalnya, Somad telah mengkhotbahkan bahwa bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina, dan dianggap sebagai operasi ‘syahid.” Apakah pernyataan ini fair? Bagaimana sikap Singapura terhadap kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina?
Saya prihatin juga karena sesama negara ASEAN terkesan Singapura tidak familiar dengan seorang ustadz yang telah dikenal baik di Indonesia maupun di ASEAN, khususnya di Malaysia dan Brunei Darussalam. Terkesan Singapura justru tertinggal dengan perkembangan dunia yang sudah memiliki program anti islamophobia, baik oleh AS dedengkot islamopobhia maupun PBB. Hal ini sungguh ironis.
Fadil Dzon berkomentar: "Kejadian ini penghinaan. Sangat tak pantas pihak Singapura memperlakukan UAS seperti itu, termasuk 'deportasi' tanpa penjelasan,". Hal itu yang juga saya herankan, karena sampai sekarang belum jelas alasan pihak Imigrasi Singapura mencegah UAS masuk ke negara Singapura. Sementara itu di Indonesia kejelasan alasan cekal atau deportasi diatur dalam Pasal 76 yang menyebutkan bahwa Keputusan mengenai Tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara tertulis dan harus disertai dengan alasan.
Sekarang era keterbukaan informasi, HAM, Demokrasi, juga era perang terhadap islmophobia sebagaimana ditetapkan PBB tanggal 15 Maret 2022 sebagai hari Anti Islamophobia, kenapa justru Singapura MEMBUTAKAN DIRI terhadap fakta dunia yang sudah berubah. Jelas tindakan Singapora adalah unfairness, tidak adil dan bisa diskriminatif. Dan tindakan pihak imigrasi Singapura dapat disebut sebagai Islamophobia.
Sebenarnya, seorang warga negara yang dikenai hukuman administratif keimigrasian dapat mengajukan keberatan. Di Indonesia hal ini diatur dalam Pasal 77 UU Keimigrasian. Pasal 77 menyatakan bahwa:
(1) Orang Asing yang dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian dapat mengajukan keberatan kepada
Menteri.
(2) Menteri dapat mengabulkan atau menolak keberatan yang diajukan Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Menteri.
(3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final.
(4) Pengajuan keberatan yang diajukan oleh Orang Asing tidak menunda pelaksanaan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap yang bersangkutan.
Apakah ada motif lain dibalik pelarangan masuk Singapura dari UAS ini? Saya prihatin dengan nasib UAS karena sungguh malang. Ia sempat ditahan di ruangan mirip penjara di Imigrasi Singapura pada 16 Mei. Sempat menunggu, UAS akhirnya harus CEGAH MASUK bukan dideportasi dari Singapura tanpa penjelasan resmi terkait alasan pencegahan masuk.Mereka pegawai imigrasi tak bisa menjelaskan alasannya.
Jadi yang bisa menjelaskan itu mungkin Duta Besar Singapura di Jakarta. Dia harus menjelaskan pada komunitas kita, kenapa pemerintah Singapura menolak kita, apakah karena teroris? Apakah karena ISIS? Apakah bawa narkoba? Apakah kurang berkasnya? Dan ternyata, pernyataan resmi MHA Singapura menunjukkan cekal disebabkan oleh karena UAS dinilai sebagai seorang radikal, pemecahbelah, ekstremis, anti-multikultural, segregatif dan lain-lain.
Soal motive, saya hanya bisa meraba ada kemungkinan invisible hand yang memengaruhi kebijakan petugas keimigrasian Singapura mencegah masuknya UAS.
Yang menarik, ini bukan kali pertama UAS ditolak masuk di suatu negara. Dulu TAHUN 2018, UAS juga tak boleh memasuki wilayah Timor Leste karena sebuah isu TERORISME miring yang menimpa dirinya. Ada berita yang menyatakan bahwa Ada Fax dari Jakarta ke IMigrasi Timut Leste. Apakah kejadian serupa juga menimpa kasus pencegahan masuk ke Singapura saat ini?
Dugaan yang kedua terkait dengan dendam lama. Di mana UAS sebagai ulama radikal berseberangan dengan pemerintahan sekarang, sebagai "oposisi". Jadi wajar jika pihak Indonesia diduga berkirim surat ke pihak imigrasi Singapura untuk mencegah masuknya UAS. Komentar UAS terkait dengan cuitan rasis Rektor ITK Bikin Heboh, UAS: "Hanya Keturunan PKI yang Benci Islam". Apakah hal ini menjadi salah satu pernyataan UAS yang membuat para pembenci Islam kesal dan boleh jadi hal ini mendorong dikeluarkan catatan/permintaan cekal/not cekal dll.
Dalam konteks ASEAN Community yang hubungan erat antarwarga, penolakan terhadap kehadiran UAS dapat menimbulkan tanda tanya dalam hubungan baik antar-etnik Melayu dan Islam di Asia Tenggara. Ada apa sebenarnya, sesama anggota ASEAN namun tidak ramah terhadap warganya bahkan mencegah masuk negara dengan alasan yang dapat dikategorikan sebagai Islamofobia sementara dunia telah berubah menyikapi stigma-stigma negatif terhadap Islam.
Namun, mengapa Singapura justru bertindak terhadap seorang muslim dengan sikap Islamofobia, bukan hanya terhadap UAS tetapi terhadap anggota keluarga dan teman UAS lainnya. Unfair! Kontraproduktif! Apa yang bisa Anda, kita lakukan? Jika umat Islam memboikot Singapura, saya kira cukup untuk dijadikan pelajaran bagi negeri "sakuprit", kecil itu. Maukah?
Tabik...!!!
Parigi Moutong Palu, Rabu: 18 Mei 2022
Oleh: Prof. Pierre Suteki
Pakar Hukum dan Masyarakat