Tinta Media - “Sering dikatakan bahwa kita ini telah meraih kemenangan. Kemenangan apa? Kemenangan itu hanya mungkin bisa dirasakan dan karenanya kemudian bisa diakui, itu jikalau kita merasakan apa yang menjadi tujuan utama dari puasa itu, Itulah takwa. Di situ sebenarnya poinnya, ” tutur Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) dalam acara Dialog Ramadhan di Bulan Syawal : Memaknai Kemenangan Idul Fitri, Ahad (1/5/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Chanel Reborn.
Menurutnya, kemenangan bukan sekedar selesai melaksanakan ibadah shaum Ramadhan selama satu bulan penuh. Karena shaum itu hanya sarana dari sesuatu. Jadi shaum adalah medium untuk meraih sesuatu. “Mediumnya sudah selesai.Tetapi apakah sesuatu itu teraih atau tidak Itu soal berikutnya. Karena medium itu bisa menghasilkan sesuatu, bisa tidak,” jelasnya.
“Karena itulah maka Allah mengatakan la’ala. La’ala itu berharap, mudah-mudahan. Artinya dia bukan sesuatu yang bersifat pasti. Ibarat kata seperti kalau orang bermain air pasti basah, tidak bisa dipastikan demkian,” terangnya.
Hal ini, jelas UIY, diperkuat dengan sabda Rasul, betapa banyak orang yang berpuasa dia tidak mendapatkan apa-apa. Itu menunjukkan bahwa puasa bukan sebuah kegiatan yang pasti menghasilkan sesuatu, menghasilkan takwa.
“Karena itu kita mesti hati-hati memperhatikan kualitas dari puasa itu. Kalau tidak maka kita akan masuk dalam kategori tadi berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga,” tegasnya.
Substansi Ibadah
Terkait dengan realitas bahwa bukan ketakwaan yang mewarnai masyarakat sesudah idul fitri, UIY menegaskan ketika substansi ibadah termasuk puasa Ramadhan tidak tertangkap maka seseorang hanya akan bergerak dari satu ritual ke ritual lainnya tanpa memberi efek yang semestinya pada orang yang melaksanakan ibadah itu.
UIY berikan contoh, seperti soal puasa ini ujungnya itu kan takwa. Takwa diartikan sebagai melaksanakan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Kalau puasanya memberikan efek mestinya keharaman tidak lagi dilakukan.
“Tapi ini hari kan faktanya sangat banyak keharaman yang tetap dilakukan atau dipertahankan. Sebagaimana juga masih sangat banyak kewajiban yang ditinggalkan,” sesal UIY.
Bahkan, lanjutnya, ada fenomena yang sangat mengkhawatirkan ini hari. Orang-orang yang berusaha untuk melaksanakan kewajiban malah dicap dan dikata-katai dengan aneka macam julukan. “Seperti yang sempat viral bagaimana Muslimah yang memakai kerudung di situ dikatakan tutup kepala ala manusia gurun,” UIY mencontohkan.
“Itu kan satu penghinaan luar biasa. Bagaimana bisa sebuah ketaatan seorang Nuslimah yang dia berusaha menutup auratnya dengan memakai khimar dikatakan dengan perkataan seperti itu oleh orang yang notabene dia seorang muslim,” herannya.
Menurut UIY, ini menunjukkan bahwa kacamata pandang orang itu tidak berlandaskan kepada takwa. Mungkin dia puasa dan ikut lebaran, tetapi puasanya tidak membimbing dia untuk menjadikan takwa itu sebagai cara pandang.
“Ini kan menunjukkan bahwa ibadah itu memang ada dimensi yang bersifat physical ada dimensi yang bersifat substansial. Secara lahiriyah ibadah itu seluruhnya physical. Puasa lapar, lalu sholat itu gerakan yang berdiri ruku sujud segala macam. Tapi itu semua ujungnya tauhid. Dan tauhid Itu non-physical dan substansinya di situ. Ketika orang lupa menghayati seluruh ibadah yang bersifat fisik untuk meraih sesuatu yg bersifat substansial, maka dia kehilangan pijakan di dalam memandang suatu masalah, berpikir, menilai, bersikap,” terangnya.
Akibatnya, lanjut UIY, dia menjadi seorang muslim tapi aneh. Menjadi begitu benci terhadap agamanya, terhadap simbol-simbol agamanya. Dia menjadi oposan terhadap agamanya, dia menjadi oposan terhadap sesama muslim yang berusaha mewujudkan takwa. Dan ini bukan sekedar dalam realitas kehidupan pribadi tapi juga dalam kehidupan masyarakat dan negara.
“Ketika ada yang berusaha mewujudkan takwa dalam kehidupan masyarakat, atau negara dikatakan macam-macam termasuk dengan sebutan radikal-radikul yang akhir-akhir ini semakin menjadi semacam model untuk memojokkan, menyudutkan orang. Ini mengerikan,” bebernya.
Menurutnya, dengan jutaan orang berpuasa, mestinya jutaan efek itu terjadi, terutama untuk yang punya kekuasaan. "Dengan kewenangan dan kekuasaan yang didorong takwa itu dahsyat sekali. Seperti orang sering bilang ada seribu seruan untuk menghilangkan kompleks pelacuran, misalnya. Itu menjadi tidak berarti dibanding dengan satu goresan tanda tangan seorang pejabat untuk menutup komplek lokalisasi itu. Nah itu tangan yang digerakkan oleh takwa tadi,” tukasnya.
“Tapi kalau tidak, penguasa juga sangat berbahaya, karena dengan kekuasaannya dia menghentikan semua hal yang bersifat takwa dengan alasan radikal, Ini yang sedang terjadi ini hari,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Menurutnya, kemenangan bukan sekedar selesai melaksanakan ibadah shaum Ramadhan selama satu bulan penuh. Karena shaum itu hanya sarana dari sesuatu. Jadi shaum adalah medium untuk meraih sesuatu. “Mediumnya sudah selesai.Tetapi apakah sesuatu itu teraih atau tidak Itu soal berikutnya. Karena medium itu bisa menghasilkan sesuatu, bisa tidak,” jelasnya.
“Karena itulah maka Allah mengatakan la’ala. La’ala itu berharap, mudah-mudahan. Artinya dia bukan sesuatu yang bersifat pasti. Ibarat kata seperti kalau orang bermain air pasti basah, tidak bisa dipastikan demkian,” terangnya.
Hal ini, jelas UIY, diperkuat dengan sabda Rasul, betapa banyak orang yang berpuasa dia tidak mendapatkan apa-apa. Itu menunjukkan bahwa puasa bukan sebuah kegiatan yang pasti menghasilkan sesuatu, menghasilkan takwa.
“Karena itu kita mesti hati-hati memperhatikan kualitas dari puasa itu. Kalau tidak maka kita akan masuk dalam kategori tadi berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga,” tegasnya.
Substansi Ibadah
Terkait dengan realitas bahwa bukan ketakwaan yang mewarnai masyarakat sesudah idul fitri, UIY menegaskan ketika substansi ibadah termasuk puasa Ramadhan tidak tertangkap maka seseorang hanya akan bergerak dari satu ritual ke ritual lainnya tanpa memberi efek yang semestinya pada orang yang melaksanakan ibadah itu.
UIY berikan contoh, seperti soal puasa ini ujungnya itu kan takwa. Takwa diartikan sebagai melaksanakan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Kalau puasanya memberikan efek mestinya keharaman tidak lagi dilakukan.
“Tapi ini hari kan faktanya sangat banyak keharaman yang tetap dilakukan atau dipertahankan. Sebagaimana juga masih sangat banyak kewajiban yang ditinggalkan,” sesal UIY.
Bahkan, lanjutnya, ada fenomena yang sangat mengkhawatirkan ini hari. Orang-orang yang berusaha untuk melaksanakan kewajiban malah dicap dan dikata-katai dengan aneka macam julukan. “Seperti yang sempat viral bagaimana Muslimah yang memakai kerudung di situ dikatakan tutup kepala ala manusia gurun,” UIY mencontohkan.
“Itu kan satu penghinaan luar biasa. Bagaimana bisa sebuah ketaatan seorang Nuslimah yang dia berusaha menutup auratnya dengan memakai khimar dikatakan dengan perkataan seperti itu oleh orang yang notabene dia seorang muslim,” herannya.
Menurut UIY, ini menunjukkan bahwa kacamata pandang orang itu tidak berlandaskan kepada takwa. Mungkin dia puasa dan ikut lebaran, tetapi puasanya tidak membimbing dia untuk menjadikan takwa itu sebagai cara pandang.
“Ini kan menunjukkan bahwa ibadah itu memang ada dimensi yang bersifat physical ada dimensi yang bersifat substansial. Secara lahiriyah ibadah itu seluruhnya physical. Puasa lapar, lalu sholat itu gerakan yang berdiri ruku sujud segala macam. Tapi itu semua ujungnya tauhid. Dan tauhid Itu non-physical dan substansinya di situ. Ketika orang lupa menghayati seluruh ibadah yang bersifat fisik untuk meraih sesuatu yg bersifat substansial, maka dia kehilangan pijakan di dalam memandang suatu masalah, berpikir, menilai, bersikap,” terangnya.
Akibatnya, lanjut UIY, dia menjadi seorang muslim tapi aneh. Menjadi begitu benci terhadap agamanya, terhadap simbol-simbol agamanya. Dia menjadi oposan terhadap agamanya, dia menjadi oposan terhadap sesama muslim yang berusaha mewujudkan takwa. Dan ini bukan sekedar dalam realitas kehidupan pribadi tapi juga dalam kehidupan masyarakat dan negara.
“Ketika ada yang berusaha mewujudkan takwa dalam kehidupan masyarakat, atau negara dikatakan macam-macam termasuk dengan sebutan radikal-radikul yang akhir-akhir ini semakin menjadi semacam model untuk memojokkan, menyudutkan orang. Ini mengerikan,” bebernya.
Menurutnya, dengan jutaan orang berpuasa, mestinya jutaan efek itu terjadi, terutama untuk yang punya kekuasaan. "Dengan kewenangan dan kekuasaan yang didorong takwa itu dahsyat sekali. Seperti orang sering bilang ada seribu seruan untuk menghilangkan kompleks pelacuran, misalnya. Itu menjadi tidak berarti dibanding dengan satu goresan tanda tangan seorang pejabat untuk menutup komplek lokalisasi itu. Nah itu tangan yang digerakkan oleh takwa tadi,” tukasnya.
“Tapi kalau tidak, penguasa juga sangat berbahaya, karena dengan kekuasaannya dia menghentikan semua hal yang bersifat takwa dengan alasan radikal, Ini yang sedang terjadi ini hari,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun